Sekitar dua tahun lalu kami dihadiahi bibit kopi arabika, robusta, dan buah tin dari seorang kakak di Poso. Sayangnya, bibit buah tin mati diserang semut.
Di awal kedatangannya ke Desa Pelawa, bibit kopi arabika itu hanya memiliki lima daun dengan tinggi tak lebih dari tiga puluh sentimeter. Lebih parah lagi si robusta. Dengan batang kecilnya yang tampak rapuh, yang tak sampai dua puluh sentimeter, tiga helai daunnya berlomba menyerap energi dari sang surya, memproses makanan, hingga mencipta O2.
Waktu melesat membawa pandemi yang tak kunjung reda. Kesibukan kami membuat pohon Coffea canephora dan Coffea arabica jarang terjamah. Hingga pada suatu hari, kami sadar kalau rumah mereka, polibag kecil seharga 500 rupiah itu tak lagi menjadi tempat yang ideal untuk tumbuh kembangnya. Mereka menuntut agar dipindahkan ke rumah baru yang lebih luas dan nyaman.
Pilihan jatuh pada pot berwarna bata, bermotif anyaman, dengan diameter 40 sentimeter serta 6 lubang di dasarnya. Seorang kawan berkata pot itu masih tergolong kecil. Semestinya mereka dihijrahkan ke rumah yang lebih besar. Namun, kami tak punya pilihan lain. Pot seharga 25 ribu rupiah itu adalah yang paling besar dari semua pot yang kami temui di toko plastik dan peralatan rumah tangga di kabupaten ini - waktu itu.
Arabika seakan ingin membuktikan bahwa dia layak mendapat rumah yang luas. Di pot yang baru itu, cabangnya tumbuh lebih cepat. Pucuknya seakan berlomba untuk mekar duluan. Daunnya semakin rimbun. Berbeda dengan robusta yang tetap mempertahankan ritmenya. Bertumbuh dalam diam, perlahan, dan pasti.
Pembuktian ala arabika membuat kami kembali berpikir untuk memindahkannya lagi ke wadah yang lebih besar. Pot besar yang dimaksud masih saja tak ada di pasar dan toko-toko yang dapat kami jangkau. Lalu jawaban muncul dari ember tua berbentuk segi empat dengan warna hijau muda yang teronggok di sudut dapur. Ember yang dulu berfungsi sebagai penampung air itu sudah purna tugas sebab bagian bawahnya telah pecah.
Di ember besar itu, arabika semakin menggila. Daunnya makin lebar. Batangnya tambah besar dan tinggi. Tak lama kemudian ia pun berbunga. Kami begitu bahagia menyambut bunganya yang bermekaran indah. Warnanya putih. Cantik.
Berita tentang berbunganya si arabika disambut antusias. "Co liat kopi so babunga," kataku bangga. Aneka komentar datang dari orang-orang. "Oh, begini dan bunganya kopi." "Hamma pe gaga bunganya e." "Baru kalo so babunga begini, mo babuah ini?" Dan masih banyak pertanyaan maupun pernyataan lain.
Lagi-lagi waktu menjawab tanya. Harapan akan berbuahnya si arabika gugur bersamaan dengan bunganya. Berulang-ulang ia berbunga namun tak pernah berhasil menjadi buah. Kami sedikit kecewa.
Pagi hari, Sabtu 18 September 2021.
"Ka Eva, pohon kopi ini e. So babuah le."
"Haaaaa? Mana buahnya?"