Mohon tunggu...
Eva Sinaga
Eva Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Singgahlah dan Berbenah

Penulis Fiksi dan Non Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hari Ketiga Puluh Satu

31 Juli 2023   21:05 Diperbarui: 31 Juli 2023   21:09 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku lahir tujuh belas hari setelah kelahirannya, suara isak tangis terdengar nyaring di antara riuhnya menanti kehadiran. Semua berucap syukur saling memeluk atas kedatangan manusia baru ke bumi.

Tujuh belas hari sebelum kelahiranku, dia juga datang ke dunia disambut kebahagiaan meskipun ini bukan kali pertama penyambutan. Rasa yang sama dengan antusias yang berbeda.

Kami dua orang asing lahir di tahun yang sama, persis tidak ada beda dengan makhluk Tuhan lainnya. Dua puluh sembilan di tahun yang sama, di tempat asing semesta mempertemukan dengan keterasingan dan bersitegang satu sama lain hingga rasa enggan menyelinap.

Empat puluh delapan bulan setelah tahun berlalu, bongkahan es mulai mencair. Cairan yang bermuara pada kehangatan atau justru lelehan itu terjadi karena alam beserta isinya menginginkan begitu.

“Hai,” kata pertama pemecah ombak dibersamai sebuah senyuman tanpa ada kata dan sorot mata yang beradu dalam ketidaksengajaan. Hari yang sudah semakin jauh ketika kaki terdiam terpaku seolah terhenti ditengah teriknya mentari, tapi nyatanya itu terjadi.

Jari-jari ini seolah enggan menari di atas kotak-kotak alphabet, rasa gugup bahkan takut mendistraksi pikiran. Kami bertemu di hari ketiga puluh satu.

“Belum pulang? Mau bareng?” kutukan atau sebuah anugerah membuat tubuhku berformalin disaat senja menorehkan keindahannya lalu sekejap hilang. Meskipun banyak bisikan menyeruak Harus berkata apa? Harus bicara apa? riuh sekali hingga terperanjat lalu tersadar.

Pandanganku beredar pada isi didalam benda hitam bergerak menggunakan mesin. Anak Tuhan yang taat, Rosario bertengger sebagai pengingat Tuhannya.

Hari ketiga puluh satu bulan berikutnya, keterasingan mulai menepi semakin hilang dan berganti tawa. Kami seolah menyatu di tepian jurang. Salah satu dari kami mungkin bisa jatuh dan terjebak dalam lembah tanpa ditemukan atau justru kami berdua jatuh dipersatukan. Namun, saling menyakiti.

Entahlah, tetapi nyatanya kutukan itu terjadi, kami saling mendorong dan melukai satu sama lain. Aku sakit, mungkin dia juga lebih sakit. Kugenggam erat Tasbih ditanganku, begitupun dia menggenggam erat Rosario di tangannya.

Diri ini selalu berharap ada hari ketiga puluh satu lainnya menuju hari ketujuh belas. Aku bersyukur Alhamdulillah dan dia berujar Puji Tuhan hingga pada akhirnya tiga puluh satu di tahun terakhir kami meminta untuk kembali datang mengelabui rasa dan pikiran.

Sampai pada kami terasing layaknya hari ketiga puluh satu dengan tujuh belas hari setelah kelahirannya, kami kembali dalam semesta yang berbeda. Lalu kemudian tiga ratus enam puluh lima hari dan tepat pada hari ketiga puluh satu, aku lahir tujuh belas hari setelah kelahirannya dan kami kembali asing.

Selama ini aku salah mengartikan maksud di balik hatimu

Selama ini aku anggap engkau benar-benar cinta kepadaku

Dan akhirnya ku tahu kau tak mencintaiku

(Naif-Buta Hati)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun