Masyarakat di berbagai daerah mempunyai tempat khusus untuk mencari pakaian sisa pakai. Warga Jakarta misalnya, masih menjadikan Pasar Senen Blok III sebagai surga untuk berbelanja barang bekas. Disana tersedia beberapa kebutuhan fesyen mulai dari sepatu, celana, rok, gaun, baju, tas, pakaian anak, bahkan pakaian dalam bekas pun di jual.
Pengunjung di Pasar Senen tidak hanya berbelanja untuk kebutuhan sendiri, tapi banyak juga yang mencari barang untuk dipasarkan kembali. Selain karena stoknya yang lengkap, pasar ini juga terkenal dengan harga yang di bawah rata-rata. Segala jenis pakaian bekas bisa didapatkan dengan harga mulai dari Rp. 5000,- saja.
Lain halnya dengan warga Bandung, yang menggunakan istilah “cimol” untuk berburu pakaian bekas. Mereka memiliki pusat terlengkap di Pasar Gedebage, yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta, Kecamatan Rancasari. Pasar ini tersohor karena menyediakan barang bermerk dengan harga miring.
Berbeda lagi dengan masyarakat Yogyakarta, yang menyebut thrifting dengan istilah “awul-awul”. Biasanya, awul-awul identik dengan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) yang diadakan satu tahun sekali. Pada momen inilah, warga berebut barang bagus dengan harga murah.
Tren transaksi baju bekas tak sampai di situ saja. Akhir-akhir ini, banyak penjual yang sengaja membuka gerai khusus pakaian second hand di rumahnya. Ada juga yang sampai sewa ruko demi meraup untung dari bisnis ini. Baju di tempat-tempat tersebut biasanya di tata serapih mungkin layaknya pakaian baru.
Uniknya, pedagang di Indonesia lebih suka menggunakan istilah baju impor dibanding baju bekas. Tujuannya agar kesan kumuh tak tersemat di toko mereka. Selain itu, agar pembeli tak perlu malu jika berbelanja di sana.
Kini, kita sudah sampai pada titik di mana belanja pakaian bekas tak harus selalu terjun ke pasar. Toko baju tangan kedua kini sudah merambah ke Instagram, Facebook, dan media sosial lainnya. Bahkan, pakaian yang dijual di thrift shop biasanya sudah bersih, rapi dan wangi.
Faktor Eksistensi Pakaian Impor