Penulis: Eva Riana Rusdi
Di balik dinding-dinding pesantren yang sederhana, tersimpan kisah heroik yang mungkin tak banyak diketahui generasi muda Indonesia. Para santri, dengan kegigihan dan semangat juang yang membara, telah menulis sejarah cemerlang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pesantren: Basis Perlawanan yang Tak Terduga
Sepanjang masa penjajahan, pesantren berperan sebagai benteng strategis perjuangan yang luput dari kecurigaan penjajah. Di balik aktivitas pembelajaran Al-Quran dan kitab kuning, para santri diam-diam membangun jaringan perlawanan yang solid. Mereka memanfaatkan momentum pengajian dan haul untuk mengadakan pertemuan rahasia, mengatur strategi, dan mengoordinasikan gerakan anti-penjajah.
Kekuatan pesantren terletak pada sistem kekerabatan yang kuat antara kyai, santri, dan masyarakat sekitar. Para kyai menggunakan pengaruh spiritual dan sosial mereka untuk memobilisasi massa, sementara para santri yang tersebar di berbagai daerah bertindak sebagai agen informasi dan penggerak perlawanan di akar rumput. Jaringan pesantren yang luas, dari Sumatra hingga Jawa, menjadi saluran komunikasi efektif untuk menyebarkan semangat perjuangan dan mengkoordinasikan gerakan melawan penjajah secara terselubung.
Sistem mondok di pesantren memungkinkan para santri untuk mengasah tidak hanya ilmu agama, tetapi juga kemampuan bela diri dan strategi perang gerilya. Banyak pesantren yang secara rahasia mengajarkan ilmu kanuragan dan pencak silat sebagai persiapan menghadapi perlawanan fisik dengan penjajah. Kemandirian ekonomi pesantren melalui sistem wakaf dan donasi masyarakat juga menjadi tulang punggung pendanaan gerakan perlawanan.
Resolusi Jihad: Ketika Santri Memimpin dari Garis Depan
Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 menjadi momentum bersejarah yang menggetarkan semangat perlawanan santri. Fatwa ini bukan sekadar seruan perang, tetapi legitimasi religius yang menyatakan bahwa membela tanah air adalah kewajiban suci setara dengan membela agama. Dalam waktu singkat, ribuan santri dari berbagai pesantren di Jawa dan Madura bergerak ke Surabaya, bersenjatakan bambu runcing dan keyakinan kuat.
Puncaknya terjadi pada pertempuran 10 November 1945, ketika barisan santri di bawah komando Bung Tomo bahu-membahu dengan rakyat dan tentara menghadapi gempuran tentara Sekutu. Para santri dengan gagah berani memimpin serangan dari garis depan, meneriakkan takbir yang menggema di seluruh penjuru kota. Banyak di antara mereka yang syahid dalam pertempuran ini, menjadikan Surabaya sebagai "Kota Pahlawan" dengan kisah heroik yang tak terlupakan.
Dampak Resolusi Jihad melampaui pertempuran Surabaya, menjadi api yang menyulut semangat perlawanan di berbagai daerah. Para kyai dan santri menciptakan jaringan komunikasi yang efektif untuk menyebarkan semangat jihad fi sabilillah ke seluruh pelosok nusantara.