Mohon tunggu...
Eva Riana Rusdi
Eva Riana Rusdi Mohon Tunggu... Sejarawan - Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia - Pendiri Rafflesia Institute

Peneliti sejarah konsentrasi kajian sejarah perdagangan, jalur rempah, ekonomi maritim dan strategi pertahanan maritim. Saat ini sedang mengkaji Sejarah lokal Bengkulu dan Kolonialisasi British East India Company (EIC) di Kawasan Pantai Barat Sumatra dan Selat Sunda Abad ke 16-17. Pendiri Rafflesia Institute, lembaga yang bergerak di bidang riset, literasi dan edukasi sejarah. Aktivitas sebagai ibu enterpreneur dari PT Adhikari Indo Sinergi dan Praktisi Home Education Marching Ants Homeschooling. Wisata sejarah, menulis, membaca novel, desain grafis, art desain, memasak, karoke dan film adalah cara saya menjaga semangat dan menikmati waktu disela segala kesibukan dan rutinitas agar tetap waras.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi Hari Kesaktian Pancasila: Memaknai Ulang Ideologi Bangsa di Era Modern

5 Oktober 2024   05:28 Diperbarui: 5 Oktober 2024   07:02 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://wonosari.kendalkab.go.id/

Penulis: Eva Riana Rusdi

Hari Kesaktian Pancasila diperingati bangsa Indonesia setiap tanggal 1 Oktober. Momentum ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan kesempatan untuk merefleksikan kembali makna dan relevansi Pancasila dalam konteks kekinian. Di tengah arus globalisasi dan dinamika sosial-politik yang semakin kompleks, bagaimana Pancasila tetap menjadi landasan kokoh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?

Sejarah yang Tak Boleh Dilupakan

Penetapan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila tidak lepas dari peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa ancaman terhadap ideologi negara bisa datang dalam berbagai bentuk. Tujuh jenderal yang gugur dalam peristiwa tersebut menjadi simbol pengorbanan untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.

Dr. Soekarno, dalam pidatonya pasca peristiwa G30S, menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar rangkaian kata-kata, melainkan jiwa dan nafas bangsa Indonesia. "Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia," ujarnya kala itu.

Kini, 59 tahun sejak peristiwa tersebut, tantangan terhadap Pancasila hadir dalam wujud yang berbeda. Era digital membawa dinamika baru dalam kehidupan berbangsa. Terjadinya polarisasi sosial dimana media sosial kerap menjadi arena pertarungan ideologi yang memecah belah masyarakat. Paham-paham ekstrem dengan mudah disebarkan melalui internet yang memunculkan radikalisme online. Budaya digital yang cenderung personal berpotensi mengikis semangat gotong royong yang menyebabkan individualisme dalam masyarakat. Selain itu yang lebih signifikan, generasi muda menghadapi dilema antara lokalitas dan globalitas yang menyebabkan krisis identitas.

Prof. Dr. Yudi Latif, pemikir dan budayawan Indonesia, dalam bukunya "Negara Paripurna" mengingatkan, "Pancasila harus dimaknai secara dinamis, bukan sebagai dogma yang kaku, melainkan ideologi yang hidup dan berkembang sesuai tantangan zaman."

Memaknai Ulang Pancasila untuk Generasi Digital

Bagaimana menjadikan Pancasila tetap relevan di era digital? Beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh untuk menanamkan pemahaman dan merealisasikan nila-nilai Pancasila di era digital.

1. Kontekstualisasi Nilai-nilai Pancasila

Nilai-nilai Pancasila perlu diterjemahkan dalam konteks kekinian. Misalnya, sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" bisa dimaknai sebagai etika bermedia sosial dan penghargaan terhadap privasi digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun