Warung mbak Yem terletak di lantai dasar Rusun. Sebuah warung makan sederhana yang dikelola sendiri oleh mbak Yem dengan dibantu oleh suami dan adik-adiknya. Keberadaan warung mbak Yem di Rusun ini seumur dengan berdirinya Rusun, dan saya berlangganan makan di warung ini sudah sejak pertama kali mbak Yem membuka warung ini.
Hubungan saya dan mbak Yem sudah seperti keluarga, suami mbak Yem yang namanya Pak Jar adalah tukang yang merenovasi rumah saya. Dari sanalah saya mengenal masakan mbak Yem - saat dia mengantar masakan untuk suaminya -.
Bagi penghuni Rusun, warung mbak Yem adalah tempat kongkow yang paling disukai. Tempat interaksi diantara para penghuni. Kalau ingin bertemu dengan seseorang, duduk sajalah dan tunggu di warung mbak Yem, tanpa perlu menunggu lama kita akan bertemu dengan orang yang kita cari. Mbak Yem hampir hapal kapan para pelanggannya turun mencari makan. Bahkan lebih dari itu, mbak Yem bisa mencarikan informasi apapun yang kita inginkan. Gaya bicaranya yang lugas membuat orang betah berlama-lama duduk mendengarkan cerita yang lucu, sedih atau kadang-kadang mengejutkan.
--------------
Seperti biasa sebelum naik ke rumah - yang di lantai 6 - saya punya kebiasaan untuk makan di warung mbak Yem. Kehadiran saya disambut dengan senyuman dan sapaan mbak Yem yang ramah. Sambil menemani saya makan, mulailah mbak Yem mengajak saya ngobrol. Tiba-tiba lewat seorang perempuan - sesungguhnya saya sering bertegur sapa dengan dia, tapi tidak pernah tahu siapa dia -. Iseng-iseng saya bertanya kepada mbak Yem "Mbak Yem, dia siapa?" "istrinya Surya, yang ibu kasih duit dulu itu" jawab Mbak Yem.
Saya sedikit mengernyitkan dahi, mencoba mengingat kapan dan dimana berkenalan dengan orang yang bernama Surya, apalagi sampai menitipkan uang untuknya. Rupanya mbak Yem mengerti kebingungan saya, akhirnya mbak Yem menambahkan "Itu lho bu, tukang parkir di belakang". Jawabku "Lho bukannya Ken" "Iya Ken itu Surya" kata mbak Yem. Akhirnya saya mengerti.
Cerita mbak Yem tentang istrinya Surya berlanjut. Seperti biasa saya hanya mendengarkan, meluncur sebuah cerita yang miris. Dengan ringan mbak Yem bercerita bahwa istrinya Surya kalau malam "nyabul" dan anak-anaknya dibiarkan menangis dilobby lantai dasar depan lift. Tadinya saya bingung apa yang dimaksud dengan "nyabul", ternyata "nyabul" itu kata lain dari "nyari duit" alias menjadi "pelacur".
Saya terhenyak "Lho, bukannya ada suaminya, apa Ken tidak marah istrinya begitu?". "Kata si Ken sih bu, biarin saja gak bisa dibilangin, sudah dilarang pergi masih pergi juga" Mbak Yem menirukan jawaban Ken ketika ditanya oleh dirinya. "Padahal tiap hari dapat uang duapuluh ribu dari hasil parkir, aku kasihkan untuk beli susu, tapi bilangnya masih saja kurang" imbuh mbak Yem, menirukan jawaban Ken. Iyalah hari gini, dengan dua orang anak mana cukup uang duapuluh ribu kata saya dalam hati.
"Aku suka tanya, memang kalau gituan suka-sukanya dapat berapa?" mbak Yem melanjutkan cerita tentang istrinya Ken tanpa diminta. "Suka-suka dapat tigapuluh lima ribu, sepuluh ribu dipake buat sewa kamar, lima ribu buat pulang ngojek, masih bisa bawa pulang duapuluh ribu untuk sarapan pagi" mbak Yem menambahkan penjelasan istrinya Ken sambil menahan tawa.
Kemiskinan telah membawanya kejurang pelacuran, tanpa memperdulikan bahwa ia adalah seorang istri dan seorang ibu. Hatiku miris mendengar kisah perempuan yang tampak sangar. Masih dari cerita mbak Yem, istri Ken itu kalau keluar rumah berdandan rapi, pakai sepatu tinggi, tanktop dan jas. Mencari pelanggannya di Tanah Abang Bongkaran, dimana disepanjang rel banyak kamar-kamar yang disewakan dengan harga sepuluh ribu rupiah, dengan fasilitas seember air untuk bilas.
Oh...Jakarta...harga sebuah kehormatan lebih murah dari sepotong pizza.