Arthur Schopenhauer (1788-1860) adalah seorang filsuf dari Jerman yang unik. Ia memadukan gagasan Immanuel Kant dan filsafat Timur, khususnya India (baik Hindu dan Budha). Dua akrobat pemikiran tersebut yang melahirkan corak pemikiran khas Schopenhauer (Barat dan Timur) tentang kehendak dan pesimisme. Sepadan dengan pendapat Bertrand Russell dalam "Sejarah Filsafat Barat", terdapat dua gagasan yang penting secara historis dalam filsafat, pada gilirannya mempengaruhi filsuf modern seperti Nietzsche, Bergson, James, dan Dewey.
Dunia ini hanyalah sebuah gagasan, persepsi indrawi yang berupa fenomena. Sebaliknya, menurut Kant, noumena merupakan sesuatu  yang tidak mudah dikenali dengan sendirinya. Bagi Schopenhauer, sesuatu itu sendiri adalah sebuah kemauan. Ia kemudian menggunakan  intuisi untuk menjelaskan bagaimana kehendak menciptakan ilusi dalam bentuk fenomena. Pemahaman umum adalah bahwa kemauan terpisah dari gerakan tubuh. Kalau mau minum harus ada kemauan dulu untuk melakukan latihan ini. Artinya kemauan dan gerakan luar tampak sebagai hal yang berbeda. Namun secara intuitif, kemauan dan gerakan eksternal sebenarnya adalah satu dan sama. Dengan kata lain, segala perbuatan kita, kegiatan kita, gerak tubuh kita adalah pelaksanaan dari apa yang disebut ekspresi kemauan. Mengingat keberagaman masing-masing, kemunculan fenomena tersebut tidak lain hanyalah kehendak  metafisik. Ini berlaku untuk seluruh pergerakan alam semesta, baik hewani maupun nabati, yang semuanya merupakan manifestasi metafisik dari satu kehendak.
 Schopenhauer selanjutnya mengidentifikasi keinginan ini sebagai "keinginan untuk hidup", Seperti yang dijelaskan Hardiman, kehendak di sini tidak mengacu pada sesuatu seperti intuisi dengan dasar logis, melainkan pada  dorongan kehendak yang buta dan kuno. Keinginan untuk hidup mewakili seluruh manifestasi naluri binatang yang paling rendah dan akal budi manusia yang paling tinggi. Semuanya adalah usaha mengikuti kemauan untuk hidup. Naluri binatang selalu berusaha memuaskan kebutuhan fisik. Ibarat manusia, betapapun mulianya akhlakmu, pada akhirnya kamu bertindak untuk memuaskan nafsu jasmanimu.
 Perkembangan teknologi dan industrialisasi  pada hakikatnya adalah tercapainya hubungan yang memuaskan keinginan untuk hidup. Oleh karena itu, akal dan ilmu bagi manusia tidak ada bedanya dengan cakar  elang  sebagai alat pemenuhan hawa nafsu. Nalar dan semangat (menggunakan terminologi Hegel, yang banyak dikritik oleh Schopenhauer) hanyalah budak dari kehendak. Sebab, seperti dikatakan Russell, Schopenhauer lebih mengutamakan doktrin kehendak dibandingkan akal dan sains. Schopenhauer lebih lanjut mengkritik optimisme Hegel tentang pentingnya peran akal dalam perkembangan sejarah. Bagi Schopenhauer, tidak ada derajat pencapaian kualitas tertinggi dalam sejarah manusia melalui akal, yang ada hanyalah kemauan, yang terus menerus dan tiada henti menyiksa kehidupan manusia.
Belakangan, filsafat Timur (India) mulai berperan dalam pemikiran Schopenhauer. Sebagai penjelasannya, mungkin  kita bisa membayangkan sesuatu yang mirip dengan apa yang dilakukan Spinoza tentang kesatuan alam dan Tuhan ketika berbicara tentang kehendak kuno yang mendasari semua bentuk eksternal.
 Mungkin juga mirip dengan filosofi Stoa bahwa keunggulan manusia dapat dicapai bila kita selaras dengan alam dan kehendak  Tuhan. Menariknya, determinasi kosmik  positif hilang sama sekali dalam pemikiran Schopenhauer. Dia mengatakan  kehendak alam semesta itu jahat. Kehendak yang menuntut setiap gerak tubuh manusia dan setiap tujuan hidup, sepenuhnya bersifat negatif. Kehendak Adalah Sumber Penderitaan Tanpa Akhir Bagi Manusia. Penderitaan ini semakin bertambah karena penting bagi kehidupan manusia dan didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan pengetahuan dan teknologi manusia, yang terus-menerus mengejar hasrat akan kepuasan fisik, telah berkontribusi terhadap penderitaan dalam sejarah umat manusia.
 "Keinginan yang tidak terpuaskan mendatangkan penderitaan, dan pencapaian hanya mendatangkan kebosanan" (Schopenhauer). Ini adalah kutipan terkenal dari Schopenhauer Pada dasarnya, orang ingin  mencapai apa yang telah mereka pikirkan Dalam proses mendapatkan apa yang diinginkan, orang selalu menderita Namun, begitu hal yang diinginkan  tercapai, rasa bosan pun datang. Tidak ada  kebahagiaan sejati Dengan kata lain, dengan melemahkan kemauanmu, kamu bisa mengurangi rasa sakit dalam hidup. Pengaruh filsafat Timur menjadi semakin nyata bagi kita Schopenhauer menjelaskan secara lebih rinci perbedaan antara satu orang dan orang lain dalam cara memandang dunia fenomenal. Bagi orang baik, keseluruhan penampakan realitas atau fenomena hanyalah satu hal. Orang baik  selalu melihat segala sesuatu melalui kacamata cinta dan kasih sayang dan mampu merasakan penderitaan orang lain. Ketika akhirnya ia berhasil mengungkap tabir ilusi maya dunia ini, ia merasakan segala penderitaan umat manusia.
 Hal ini membawa pada pemahaman tentang etika Schopenhauer yang disebut dengan "etika welas asih". Kejahatan muncul dari keegoisan keinginan, dan kebaikan eksternal (alter ego) muncul dari kasih sayang. Saya melihat orang lain seperti saya melihat diri saya sendiri. Ini juga merupakan  cara untuk melepaskan penderitaan akibat belenggu keinginan.  Schopenhauer memandang praktik suci umat Buddha dan praktisi agama lainnya, termasuk ritual seperti puasa dan penyesalan, sebagai upaya untuk menumbangkan keinginan individu untuk meringankan penderitaan pribadi. kehidupan. Karena dunia dan segala manifestasinya adalah realitas kehendak, maka jika orang suci berusaha melepaskan kehendak, fenomena ini akan seketika lenyap dan kembali ke ketiadaan. "Tidak ada kemauan, tidak ada ide, tidak ada dunia. Tentu saja tidak ada apa pun selain kekosongan di hadapan kita. " Ada anekdot  menarik dari Russell: contoh mengharapkan kekosongan dalam upaya mendekatkan diri pada sesuatu yang tidak ada. bukankah Schopenhauer hanya menggunakan contoh orang mabuk?  Orang mabuk tidak berusaha mencapai kehampaan dengan menghilangkan pengetahuan atau kesadaran. Alasan Schopenhauer adalah baik orang yang biasanya mabuk maupun yang tidak biasanya mengalami penderitaan. Faktanya, mabuk merupakan kompensasi sementara atas apa yang dipahami sebagai kebahagiaan dari  sejarah panjang penderitaan dalam hidup. Selain keinginan untuk hidup, Schopenhauer juga menjelaskan jenis keinginan lainnya: "kehendak penganiayaan". Pada hewan, saling memangsa sama pentingnya dengan manusia dan serigala. Keseluruhan filosofi spiritualis ini mencerminkan gaya Schopenhauer bahwa kehidupan manusia adalah sebuah tragedi yang melankolis dan suram.
nama : eva rahamwatiÂ
nim : 1512300036
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H