Sekitar dua minggu lalu masyarakt dihebohkan dengan penolakan negara Singapura terhadap kedatangan Ustadz Abdul Somad (UAS) dan rombongan ke Singapura. Banyak yang mendramatisir penolakan itu sebagai pendeportasian ustadz itu dari negara terkaya di Asia Tenggara itu. Padahal UAS belum masuk wilayah Singapura dan masih berada si wilayah netral yaitu imigrasi Singapura.
Alasan utama Singapura menolak UAS setidaknya ada empat alasan yaitu dianggap menyebarkan ajaran ekstremis dan segregasi yang tidak bisa diterima masyarakat Singapura yang multiras dan multi agama. Meski tidak seberagam Indonesia, Singapura punya bermacam ras dalam masyarkatnya seperti Melayu, China, India, Eropa dan lain sebagainya. Alasan kedua adalah UAS tercatat pernah ceramah soal dibolehkan bom bunuh diri dalam konteks Israel --Palestina dan menganggap ini sebagai 'operasi syahid'. Ini memang ditentang Singapura terlebih beberapa saat lalu ada seorang pemuda yang akan melakukan tindakan berkatagori terorisme di Singapura karena terispirasi ceramah UAS.
Alasan ketiga adalah pernah menyebut Salib Kristen adalah Rumah Jin Kafir. Ini tentu saja tidak bisa diterima oleh Singapura dimana pemeluk Kristen dan Katholik lumayan banyak. Alasan terakhir adalah sering merendahkan agama lain dengan menyebut sebagai kafir.
Empat alasan menolak kedatangan UAS di Singapura semestinya dilihat dengan konteks kenegaraan dimana alasan itu merupakan otoritas atau hak sepenuhnya dari negara yang dituju UAS. Kita juga harus tahu bahwa tak lama sebelumnya Singapura juga menolak pendeta intoleran dari luar negeri yang akan berkunjung ke Singapura . Sehingga kita bisa katakan di sini, bahwa setiap negara punya standar sendiri dalam menerima atau menolak orang dari luar negaranya tentu saja untuk alasan keamanan warganya. Â
Tapi yang ada di media sosial adalah bantahan-bantahan dan beberapa malah merupakan pengingkaran bahwa UAS pernah memberikan ceramah bersifat intoleran dan radikal. Beberapa malah mengolok dan menantang Singapura untuk minta maaf kepada Ustadz tersebut.
Sebagai warga negara yang baik, ucapan kasar dan tantangan kepada pemerintah Singapura itu tidak selayaknya dilakukan warga Indonesia. Jika kita terus menerus melakukan itu sama saja kita tidak menghargai kebijakan negara lain. Jika kita tidak menghargai atau menghormati negara lain, maka pada suatu saat kita juga tidak akan dihormati negara lain.
Masing-masing negara punya standar masing-masing untuk mengelola kebijakan dalam negeri dan luar negerinya. Ini hal yang harus tetap kita ingat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H