Mohon tunggu...
Eva Nurmala
Eva Nurmala Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan swasta

Saya karyawan swasta yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menangkal Radikalisme dengan Budaya Lokal

23 Agustus 2016   10:25 Diperbarui: 23 Agustus 2016   10:54 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kearifan Lokal - www.lsisi.org

Indonesia merupakan negara yang mempunyai aneka ragam budaya dan adat istiadat. Keanekaragaman inilah yang telah membesarkan Indonesia, menjadi negara berkembang hingga saat ini. kekayaan budaya ini, juga terbukti mampu menjadi filter, atas masuknya berbagai macam pengaruh buruk. Adat istiadat telah merekatkan hubungan antar manusia. Adat istiadat juga dapat diandalkan, untuk menjaga keharmonisan masyarakat dan menjauhi konflik.

Dalam budaya Jawa, ada prinsip hormat dan rukun. Kepada seseorang yang lebih tua, kita diharuskan untuk hormat atau memposisikan diatas kita. Hidup rukun diartikan berperilaku baik antar sesama, bisa hidup berdampingan tanpa melihat latar belakangnya. Di Yogyakarta misalnya, meski dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, di kota ini masih memegang teguh budaya lokal, tapi juga bisa hidup berdampingan dengan budaya lain. Budaya seluruh suku di Yogyakarta bisa kita temukan. Belum lagi budaya mancanegara yang masuk, sebagai konsekwensi dari daerah tujuah wisata.

Masyarakat Buton, Sulawesi Tenggara, juga mempunyai falsafah bhinci-bhinciki kuli. Makna dari falsafah ini adalah, jika setiap orang mencubit kulit tubuhnya sendiri, pasti akan terasa sakit. Jika kita mempelajari falsafah ini, tentu kita tidak akan mencubit atau menyakiti orang lain. Karena dicubit atau disakiti itu rasanya sakit. Di Maluku, ada istilah ale rasa beta rasa (anda rasa saya raya). Artinya ketika anda merasakan dan mengalami sesuatu, baik senang ataupun susah, saya juga merasakannya.

Budaya lokal diatas hanyalah salah satu contoh saja, bahwa kearifan lokal bisa membuat negeri ini kuat dalam menghadapi segala pengaruh negatif. Paham radikalisme yang saat ini terus menggerogoti negeri ini, sebenarnya bisa diminimalisir, jika masyarakat kita masih menjalankan adat istiadatnya. Sayangnya, sebagian masyarakat sudah mulai meninggalkan adat istiadatnya. Gotong royong mulai luntur, sistem keamanan keliling (siskamling) yang bisa merekatkan tali silaturahmi juga mulai hilang. Kendurnya kearifan lokal itu, berdampak pada menurunnya rasa empati antar sesama.

Akibatnya, kita jadi tidak peduli dengan tetangga. Kita juga tidak peduli jika tidak diminta tolong. Pembiaran dalam jangka panjang, akan membuat masyarakat menjadi individualis. Dan hal inilah, yang dimanfaatkan kelompok radikal untuk terus menyebarluaskan ajarannya. Mereka begitu pandai mengemas ajaran kekerasan itu, agar bisa mendapatkan simpati publik. Mereka juga pandai memanfaatkan perkembangan teknologi, agar propaganda mereka bisa efektif dilakukan. Dakwah radikal tidak hanya dilakukan di masjid, pesantren atau kelompok pengajian, tapi juga secara vulgar ditampilkan di sosial media.

Belajar dari kasus pembakaran tempat ibadah di Tanjungbalai, Sumatera Utara, yang dipicu provokasi di sosial media, mari kita menjadi pribadi yang cerdas, dalam menyikapi segala bentuk informasi yang berkembang. Jangan mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak jelas. Sadarlah, kelompok radikal sengaja merusak budaya lokal negeri ini, yang terbukti mampu merukunkan berbagai macam budaya dan keyakinan yang ada. Sementara kelompok radikal, justru menginginkan tidak adanya keberagaman. Semua orang dipaksa mengikuti ajaran yang mereka yakini benar. Padahal, jika kita melihat faktanya, ajaran kelompok ini justru mendekatkan diri pada budaya kekerasan. Yuk, kita saling membantu antar sesama. Ramah kepada siapa saja, dan hindari rasa benci pada diri kita. Ingat, kita warga negara Indonesia, yang menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun