"Pesing" adalah kata yang diserap dari bahasa jawa, yang saya yakin kita semua paham akan maksudnya. "Berbau (maaf) air kencing", begitu arti kata yang terdaftar di Kamus Besar Bahasa Indonesia.Â
Bagi mereka (termasuk saya) yang sering pergi ke terminal, dan pernah menggunakan fasilitas umum kamar mandi, maka akan sering merasakan sensasi "pesing".Â
Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa fasilitas umum kamar mandi ataupun kamar kecil yang tersedia di terminal-terminal di Indonesia berbau pesing, entah itu karena tidak pernah dibersihkan, atau mungkin dibersihkan seadanya saja. Sangat sedikit dari banyak terminal yang memiliki fasilitas kamar mandi yang bersih dan steril, bahkan mungkin bisa dihitung jari.
Lalu bagaimana seandainya jika yang berbau pesing itu bukanlah fasilitas umum? Bagaimana jika tempat tinggal kita yang berbau pesing? Bisakah kita bayangkan bagaimana jadinya kehidupan kita sehari-hari di rumah itu? Niscaya banyak dari kita yang tidak betah untuk tinggal di tempat tersebut. Namun percaya atau tidak, hal itulah yang dialami oleh Pak Sukamto, seorang dhuafa kelahiran Agustus 1961.Â
Pak Kamto -begitu beliau biasa dipanggil- , tinggal di desa Bareng Kelurahan Jabung Kab. Malang, berasal dari kota kelahiran Presiden Soekarno, Blitar. Kurang lebih sekitar awal tahun 2000an, pak Kamto datang ke kota Malang dengan niat awal untuk memberikan penyuluhan tanaman bakau untuk petani, karena memang beliau memiliki kelebihan dalam hal tersebut. Seiring berjalannya waktu, Pak Kamto bertemu dengan jodohnya di kota Malang. Pak Kamto menikahi seorang janda yang memiliki 2 orang putra, dan dari pernikahan tersebut Keluarga Pak Kamto dikaruniai seorang anak perempuan.
Malang dinyana, ujian datang menimpa pak Kamto. Â Tepatnya di tahun 2016, pak Kamto menjadi korban dari Tabrak Lari tepat di depan Puskesmas Pakis, dan karena kurangnya biaya untuk menangani hal tersebut, maka penanganan pun hanya bisa dilakukan sesuai kapasitas puskesmas tersebut. Ujian pun belum berhenti sampai di situ.Â
Semenjak menjadi korban tabrak lari, pak Kamto mulai sakit-sakitan, seprti kolesterol, diabet, asam urat dan masih ada lagi yang menyebabkan pak Kamto menderita komplikasi. Dan lagi-lagi karena kurangnya biaya, perawatan pun hanya seadanya saja, tanpa adanya perawatan intensif dari rumah sakit.
Bahkan setiap seminggu sekali ada beberapa komunitas relawan yang datang untuk membantu membersihkan rumah pak Kamto, karena memang kondisinya sangat memprihatinkan. Tidak ada perhatian lebih untuk sekedar membersihkan rumah pak Kamto, karena putrinya pun masih berusia 13 tahun, belum lagi harus fokus untuk merawat sang Ayah, maka dari itu kondisi seperti kotor, berantakan bahkan bau amis seperti sudah menjadi hiasan di rumah pak Kamto. Sementara kedua putranya entah dimana keberadaanya.