Mohon tunggu...
Evan BelsarunHaloho
Evan BelsarunHaloho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki hobi mendengarkan musik Saya percaya bahwa diri saya memiliki empati lebih Saya tertarik pada isu-isu global, hukum, dan ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menelaah Kegagalan Perjanjian Perdagangan Anti-Pemalsuan (ACTA)

28 November 2024   01:57 Diperbarui: 28 November 2024   02:11 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Anti-Counterfeiting Trade Agreement (ACTA) adalah perjanjian anti pemalsuan dan pembajakan yang bertujuan untuk mengatasi pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI) seperti pembajakan dan pengunduhan film ilegal yang sangat marak terjadi. Dapat dicatat bahwa total pembajaan film meningkat dengan sangat drastis, hal ini dapat dibuktikan dengan laporan dari YouGov yang menunjukkan bahwa sekitar 63% penduduk indonesia pernah mengakses film bajakan. Survei ini diperkuat dengan laporan dari perusahaan anti pembajakan di Inggris yang menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 229 miliar kunjungan ke situs film bajakan pada tahun 2023. Tingginya angka pembajakan dan pengunduhan film ilegal inilah yang menjadi urgensi ratifikasi dari Perjanjian Perdagangan Anti-Pemalsuan (ACTA).

Dalam perjalanannya, perjanjian ini justru menghadapi permasalahan etika yang signifikan sehingga Parlemen Eropa melakukan penolakan terhadap perjanjian ini. Meskipun lebih dari 2,5 juta orang telah menandatangani petisi perjanjian ini, keputusan akhir Parlemen Eropa telah membatalkannya dengan total 478 anggota menolak, 39 anggota menyetujui, dan 165 anggota abstain. Perlu diketahui bahwa sebelumnya telah berlangsung negosiasi ACTA selama empat tahun dan telah ditandatangani oleh 22 negara anggota Uni Eropa.

Uni Eropa melihat bahwa dukungan terhadap ACTA dapat membawa beberapa dampak buruk seperti terjadinya tanggung jawab yang berlebihan dan salah sasaran karena cakupan ACTA yang sangat luas. Dampak kedua adalah terjadinya penurunan kebebasan berekspresi secara radikal dan pengurangan privasi informasi secara drastis akibat pembatasan yang sangat signifikan.

Apabila dilihat lebih dalam lagi, terdapat lima hal yang menjadi keberatan Uni Eropa dan beberapa negara lainnya dalam meratifikasi ACTA. Keberatan yang pertama adalah tentang negosiasi rahasia. Kita dapat membenarkan bahwa rahasia adalah sesuatu yang etis dan menyangkut moralitas, namun dapat perlu dipahami bahwa kerahasiaan juga berpotensi menimbulkan kecurigaan. Hal ini dapat menyebabkan dampak kurangnya transparansi yang terkesan tidak etis.

Keberatan yang kedua adalah mengenai kurangnya konsultasi dengan masyarakat umum, kelompok sipil, organisasi konsumen, dan negara-negara berkembang. Minimnya keterlibatan aktor lain dalam kerangka kerja ACTA dapat menyebabkan proses negosiasi yang tidak inklusif. Kita dapat menjustifikasi bahwa keterbukaan (poin negosiasi) akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang demokratis, sehingga akan mengurangi ketidakpercayaan apriori antara pendukung dan penentang ACTA.

Keberatan yang ketiga adalah tentang ketidakjelasan formulasi atau teknis yang membuat semua pihak sulit untuk meratifikasi perjanjian ini. ACTA sendiri tidak memiliki kerangka kerja yang jelas mengenai pencegahan pemalsuan dan pembajakan. Ketidakjelasan ini juga berkaitan tentang regulasi dan prosedur secara teknis. Banyak pihak yang kemudian mengalami kebingungan dalam mempertimbangkan ratifikasi kebijakan ini karena alasan ketidakjelasan formula.

Keberatan yang keempat adalah tentang negosisasi diluar badan internasional. Negosiasi ini dapat berupa kerjasama dan kolaborasi dengan lembaga non pemerintah (NGO) internasional. Negosiasi dan kerjasama menjadi sangat penting karena hal ini sangat berkaitan dengan etika karena menyangkut hubungan semua kelembagan. Perlu dipahami bahwa hubungan kelembagaan yang bagus tentunya akan memperkuat dukungan dan eksistensi dari ACTA sehingga memudahkan banyak negara unty mendukung kebijakan ini.

Keberatan terakhir adalah tentang pembentukan badan pemerintahan baru diluar forum yang sudah ada. Perlu diketahui bahwa sudah ada badan pemerintahan dan organisasi internasional seperti PBB dan WTO yang telah mengatur upaya pencegahan pembajakan dan pemalsuan. Hadirnya ACTA sebagai perjanjian baru menyelipkan kesan tumpang tindih dalam sistem internasional. Lagi dan lagi hal ini menyebabkan kebingungan bagi negara yang ingin mendukung perjanjian ini.

Terkikisnya standar moral dalam diskusi seputar ACTA mengenai rumusan masalah yang jelas juga berpotensi mengarah pada tindakan yang tidak adil dan represif. Beberapa kritikus juga berpendapat bahwa definisi ACTA yang luas adalah akar masalah dari kegagalan ACTA. Misalnya mengenai pelanggaran hak cipta yang berisiko melemahkan kebebasan sipil dan mendorong budaya informisme sehingga menghambat kebebasan individu. Tekanan etis yang ada pada ACTA juga memperburuk keadaan karena membuat para pelanggan tertekan pada standar moral yang tidak jelas.

Permasalahan ini juga menyoroti perlunya pertimbangan etis untuk diintegrasikan ke dalam perumusan perjanjian untuk mencegah pengutamaan penegakan HKI dengan mengorbankan hak-hak dasar. Hal ini dikarenakan hak-hak dasar seperti privasi dan kebebasan sipil adalah hak yang sangat fundamental dalam hal kekayaan intelektual. Artinya, selama ACTA masih mengorbankan dan mereduksi hak-hak ini, akan berpotensi menyebabkan kerugian lanjutan akibat adanya gesekan hak secara struktural dalam kerangka kerja perjanjian ini.

Beberapa hal yang mungkin dapat membentuk ACTA menjadi lebih baik lagi adalah dibutuhkannya kerangka kerja yang dapat mendorong pengambilan keputusan menjadi lebih baik lagi. Kerangka kerja yang lebih baik dapat termanifestasi dalam cakupan yang tidak luas, namun juga tidak sempit. Selanjutnya, hak kekayaan intelektual juga harus menjadi permasalahan lingkungan karena setiap informasi dan regulasi yang dibuat akan selalu berpengaruh terhadap kehidupan. Artinya, isu mengenai hak kekayaan intelektual dan isu lingkungan akan selalu berbanding lurus dan simetris dalam berbagai dimensi. Pada akhirnya, memang tidak ada undang-undang atau perjanjian yang sempurna, namun seberapa signifikan manfaat dibanding kerugian dari suatu produk hukum akan menjadi sesuatu yang sangat bernilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun