Suatu sore hari dalam perjalanan pulang menuju rumah, saya mendengarkan percakapan di radio antara pendengar radio dengan pihak kepolisian yang bertugas untuk memantau kondisi lalulintas di Jakarta. Dalam wawancara yang dilakukan dengan pihak kepolisian, sang penyiar memberikan kesempatan kepada pendengar untuk melaporkan kondisi jalan yang mereka lalui. Ada beberapa pendengar yang menceritakan mengenai kondisi jalan yang macet karena hujan lebat yang mendera sore itu. Namun perhatian saya tertuju pada satu pendengar yang menceritakan mengenai hal lain selain kemacetan.
Seorang bapak menelepon ke stasiun radio itu dan mengadukan kepada pak polisi yang sedang melayani keluhan warga. Bapak itu menjelaskan bahwa ia sedang melewati sebuah jalan di Jakarta yang macet dan melihat air di kali yang ternyata tidak bergerak sama sekali ketika hujan sedang turun lebat. Penyiar menanyakan ke bapak tersebut apakah jalan yang dilaluinya macet karena hujan. Namun bapak tersebut tetap fokus menceritakan mengenai kekhawatirannya bahwa air di kali tersebut tidak mengalir dan ia menegaskan bahwa hal tersebut akan menjadi masalah besar bila hujan turun terus menerus. Percakapan diakhiri oleh penyiar setelah pesan dari bapak tersebut kepada polisi untuk menangani masalah tersebut.
Seketika percakapan itu selesai, muncul pertanyaan di benak saya. Apa kira-kira respon dari polisi tersebut? Apakah ia akan berkata, “Ya, saya akan segera mengatasi masalah tersebut.” Atau minimal, “Ya saya akan memberikan informasi mengenai masalah ini kepada pihak yang terkait.” Sebaliknya polisi itu mungkin juga berkata, “Huh…siapa peduli itu kan bukan urusan saya. Ada pihak lain yang seharusnya menangani masalah tersebut.”
Kecenderungan untuk tidak peduli dan melemparkan tanggung jawab merupakan permasalahan serius dalam kehidupan kita saat ini. Seorang karyawan bisa tidak peduli terhadap permasalahan yang dialami oleh karyawan lainnya selama hal tersebut tidak tersangkut dirinya. Seorang pelayan publik tidak peduli terhadap keluhan masyarakat karena ia merasa itu bukan merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawabnya. Seorang penjual tidak peduli dengan permintaan dari pelanggan karena ia merasa bahwa hal tersebut hanyalah merupakan gangguan saja terhadap pekerjaannya.
Bahkan dalam kehidupan yang paling kecil di keluarga ketidakpedulian ini terjadi. Seorang anak bisa tidak peduli terhadap masalah yang dihadapi saudaranya karena ia merasa tidak bertanggungjawab terhadap diri saudaranya. Seorang suami atau isteri bisa saling tidak peduli karena mereka merasa justru diri mereka pribadi yang perlu mendapat perlakuan baik dan perhatian.
Jika ketidak pedulian ini terus menerus terjadi maka yang terjadi adalah masalah tidak akan terselesaikan dan malah akan bertambah parah. Masing-masing hanya mengurusi urusannya sendiri tanpa peduli apa yang terjadi dengan kesejahteraan diri orang lain.
Membantu sebenarnya adalah sebuah proses kehidupan yang umum. Mulai dari sejak kita lahir sampai kita mati tidak ada manusia yang hidup tanpa bantuan. Kita bisa hidup karena dukungan dan topangan dari orang lain. Kita membutuhkan orang lain dan bantuan mereka. No man is an island.
Namun mengapa kita bisa menjadi begitu tidak peduli?. Saya ingin menyoroti hal ini dari filosofi membantu.
Membantu seringkali dipahami sebagai relasi antara penolong dan yang ditolong. Hal itu berarti bahwa si penolong lebih tinggi dan yang ditolong lebih rendah. Perbedaan status ini membuat orang seringkali merasa tidak bisa membantu karena status mereka. Seorang yang merasa dirinya miskin berkata, “Tunggulah sampai aku kaya, baru aku akan menolong.”
Membantu seringkali juga dipahami sebagai usaha memberikan kebaikan kepada orang lain. Hal ini berarti bahwa diri kita yang memberikan kebaikan kepada orang yang dibantu. Seringkali ketika ada keluhan baik dari pelanggan, rekan kerja, teman, bahkan anggota keluarga maka kita merasa bahwa hal tersebut adalah gangguan terhadap diri kita. Kita merasa bahwa kita telah memberi kebaikan bagi mereka.
Saya mengingat sebuah kisah mengenai seorang janda miskin yang rela memberikan hampir segala yang dimilikinya untuk dijadikan persembahan. Pelajaran dari kisah janda miskin tersebut bahwa ia memberi dari kekurangannya dan bukan dari kelebihannya. Ada pengorbanan yang ditunjukkan oleh janda miskin itu. Hikmah dari kisah ini adalah syarat paling utama untuk membantu adalah kerelaan hati dan bukanlah keterpaksaan. Bayangkan bila mother Theresa menunggu dirinya kaya lebih dulu sebelum dia membantu orang-orang yang perlu dibantu maka hari ini pasti tidak akan ada misi untuk melayani orang yang miskin, mereka yang sakit, yatim-piatu, dan orang-orang yang menderita HVI/AIDS.
Kisah lain adalah mengenai seorang pelayan hotel yang melakukan kebaikan dengan membantu sepasang suami isteri yang sedang kebingungan karena tidak memiliki tempat untuk menginap. Semua kamar di hotel tersebut telah penuh terisi sementara waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari dan di luar hujan lebat. Pelayan hotel tersebut akhirnya menawarkan ruangan miliknya. Ia mengatakan, “Mungkin anda mau tidur di ruangan milik saya? Tidak terlalu bagus, tapi cukup untuk membuat anda tidur dengan nyaman mala mini.” Akhirnya pasangan tersebut tidur di kamar pelayan tersebut. Keesokan harinya si laki-laki tua berkata kepada pelayan hotel tersebut, “Anda seperti seorang manajer yang baik. Mungkin suatu hari saya akan membangun sebuah hotel untuk anda.”
Dua tahun berlalu sejak kejadian tersebut dan pada suatu hari sebuah surat datang kepada pelayan hotel tersebut disertai dengan tiket menuju New York untuk bertemu dengan pasangan yang pernah dibantu oleh pelayan tersebut. Ketika mereka bertemu si laki-laki tua itu menunjukkan sebuah gedung baru yang megah dengan menara yang menjulang tinggi. Laki-laki itu mengatakan, “Itu adalah hotel yang baru saja saya bangun untuk engkau kelola.” Nama laki-laki tua itu adalah William Waldorf Astori dan nama pelayan tersebut adalah George C. Boldt yang kemudian menjadi manajer pertama hotel Waldorf-Astoria.
Pelajaran penting dari kisah pelayan tersebut adalah bersikaplah baik dan bantulah orang lain dengan penuh kasih. Saat kita membantu orang lain sebenarnya bukan mereka yang kita bantu melainkan kita sedang membantu diri kita sendiri. Kita sedang membantu diri kita untuk memperlakukan semua orang dengan kasih. Kita sedang membantu diri kita untuk membangun kebaikan di dalam diri kita. Kita sedang membantu diri kita untuk memiliki kesenangan dan kenikmatan dalam membantu orang lain. Pada saat kita menolong orang lain, justru kita sedang menolong diri kita sendiri.
Seorang karyawan, pelayan, atau penjual yang melayani dan membantu pelanggannya dengan baik adalah orang-orang yang sebenarnya dibantu oleh pelanggan mereka. Seorang petugas yang membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan adalah petugas yang justru terbantu oleh pertolongan yang ia berikan. Seorang atasan yang membantu bawahannya justru akan terbantu akibat bantuan yang ia berikan. Seorang anak yang membantu saudaranya sebenarnya sedang dibantu oleh saudaranya tersebut. Seorang suami atau isteri yang menolong pasangannya adalah pasangan yang sangat bahagia karena justru diri mereka sendirilah yang sedang ditolong. Jadi apa yang bisa anda bantu? eg.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H