GGenerasi yang paling akrab dengan teknologi digital atau Generasi Alpha diklaim menjadi generasi paling cerdas dibandingkan generasi sebelumnya (Yusuf et al., 2024). Generasi Alpha merupakan manusia yang lahir direntang tahun 2011-2025, Mc-Crindle dalam Yusuf et al (2024) menyatakan bahwa Generasi Alpha lahir sebanyak 2,5 juta anak tiap minggunya di dunia.Â
Menurutnya juga dikarenakan Generasi Alpha akrab dengan teknologi maka mereka akan susah lepas dari gadget, antisocial, dan individualist. Oleh karena itu tidak heran jika Generasi Alpha dijuluki dengan generasi serba instan karena mereka dapat lebih cepat memehami teknologi sejak dini dan disediakan kemudahan akses informasi, artificial intellegence, dan teknologi serba instan lainnya (Devianti et al., 2023).
Generasi Alpha juga memiliki beberapa karakteristik sendiri yaitu pertama berkeinginan besar untuk mendapatkan validasi; kedua anak lebih praktis dalam menyelesaikan masalah (Santosa, 2015); ketiga sangat cinta kebebasan; keempat memiliki kepercayaan yang tinggi; kelima sangat jago menggunakan gadget (Anwar, 2022),
namun sayangnya dengan preferensi terhadap hal yang instan membuat Generasi Alpha menjadi kurang minat dalam membaca literatur cetak dan itulah yang mempengaruhi pola komunikasi Generasi Alpha saat ini (Muttaqin et al., 2024) .
Pada dasarnya Generasi Alpha menghabiskan waktu sekitar 91-120 menit per hari di Tiktok untuk mencari hiburan, sarana pembelajaran, budaya, dan pembentukan identitas seperti turtorial merias wajah, turtorial editing, turtorial resep makanan yang dimana semua itu menggabungkan unsur visual, audiotri dan kontekstual sehingga lebih mudah dicerna bagi Generasi Alpha (Septianti et al., 2024).Â
Dari screentime per hari tersebut juga mereka mulai memunculkan pola komunikasi baru secara linguistik atau terbit banyak istilah-istilah baru seperti "rizz", "brainrot", "sigma", "skibidi", "gasken", dan "gaskeun" yang dimana sangat asing bagi generasi terdahulu karena istilah-istilah ini memiliki definisi yang tidak absolute atau sangat kontekstual sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi, bahkan Generasi Alpha menggunakan istilah tersebut untuk berkomunikasi sehari-hari baik lisan maupun tulisan yang membuat banyak generasi terdahulu menganggap aneh ketika membaca atau mendengarnya (Meirisa et al., 2024).
Sebetulnya pola komunikasi linguistik memang akan terus berubah karena bahasa itu memiliki sifat manasuka artinya akan berubah seiring zaman (Cindana & Sutarini, 2022). Namun bukan hanya pola komunikasi secara linguistik saja tetapi Generasi Alpha juga memiliki pola komunikasi dalam aspek pengasuhan yang berbeda. Pola asuh berasal dari dua kata yakni pola dan asuh.Â
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pola di artikan patron, model, dan gambar yang dipakai sebagai contoh, Sedangkan asuh berkmakna membimbing, mendidik, memimpin. Jadi pola pengasuhan berarti model, cara mendidik, dan mengasuh anak (Poerwadarminta, 1984).
Menurut penelitian, anak Generasi Alpha membutuhkan pola asuh yang menjunjung tinggi keterbukaan pola pikir agar atau pola asuh demokratis di mana orang tua menjalin kedekatan interaksi dan komunikasi dengan putra dan putri mereka, memantau perkembangan anak khususnya selama menggunakan teknologi digital serta perlu penerapan disiplin yang tegas dalam penggunaan teknologi digital pada anak usia dini.Â
Sehingga penggunaaan teknologi digital dapat membawa manfaat positif pada anak usia dini generasi Alpha (Saman & Hidayati, 2023). Serta Generasi Alpha juga sangat senang dengan pola asuh interaktif, di mana orang tua aktif menanyakan kabar, pendapat, melakukan tukar pikiran supaya terjalinnya transparansi dari anak dan orang tua (Aisah et al., 2022).
Bukan hanya hal positif saja yang diciptakan dari kemudahan teknologi bagi Generasi Alpha tetapi mereka juga terpapar dengan masifnya informasi-informasi negatif yang sangat mudah diakses seperti  pornografi, pornoaksi, sadisme yang sangat jelas merusak moral anak bangsa (Hermawan, 2018).