Mohon tunggu...
Evan Prayudha
Evan Prayudha Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tukang Teriaaaaaaaaaaaakkkk...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pasangan Sendal Jepit

21 Agustus 2010   17:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:49 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam suatu “pertapaan” saya teringat pada kawan saya yang sebulan lalu diterpa rasa khawatir tentang hubungannya dengan seorang anak manusia yang selalu menjadi malaikat hidupnya, menunggunya selesai kuliah untuk pulang bersama sambil berkelakar menertawakan alam yang selalu cerah untuk mereka berdua.

Saya mencoba menelpon “bro, dmn lo???”; “lagi di base camp (t4 kami selalu berkumpul)... kesini donk...”. Saya tutup telepon lalu saya ke tempat yang dituju. Setelah Basa – basi sedikit kemudian saya mulai bertanya tentang hubungan mereka. “gw udh putus bro...” lalu melanjutkan ceritanya kepada saya, kesimpulannya dia sekarang seperti sendal jepit yang tanpa pasangan, tak berguna lagi sebagai sandal jepit.

Sayapun berfikir kenapa tega sekali wanita meninggalkan sahabatku ini, padahal dari karakternya dia manusia bertanggung jawab, tidak seperti laki-laki lain yang mengantarkan wanita ke pelaminan dengan rayuan maha dahsyat tapi setelah itu memukuli, mencaci maki, Menghina; pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat seperti sahabat perempuanku sering ungkapkan sebagai alasan menolak pernikahan. Wajahnya juga nggak jelek2 amat terhitung gantenglah, walaupun saya masih tetap lebih ganteng (dilarang protes, ini hak pembuat catatan). Saya yakin benar apa yang mereka berdua putuskan salah, tapi sudahlah itu keputusan mereka. Lalu saya bertanya apa langkah selanjutnya, dia tersenyum, lalu berkata sebuah kata yang paling bijak “barangkali saya akan mencoba merubah negara kita jadi lebih baik, bersama kenangan indah tentang dia dalam pikiran saya”.

Saya dan dia lantas tertawa mengingat tentang mimpi yang sering kami ucapkan dalam rasa lapar dan kehabisan batang pembunuh nomor 3 di dunia. Saya lantas bertanya kembali “bro seandainya ada d*** lain yang mirip dengan dia secara sifat dan karkternya gmn???”; “langsung gw lamar bro... tanpa tedeng aling2, cape’ gw pacaran, udahlah gw pengen punya anak aja langsung”; “cinta khan butuh proses bro, lo nggak takut klo nanti setelah nikah dia cerain lo???”; “ biarin bro, yang penting gw udh nikah, nikah ini salah satu ayat amanah ortu gw, jadi harus gw laksanakan”

Sambil menghembuskan karbonmonoksida dari mulut, menghabiskan sekangkir kopi hitam yang rasanya telah dihianati oleh susu dan gula pabrik, saya lalu berpikir “kenapa harus gitu yach???” bukankah ini yang namanya penghianat cinta??? tapi saya tetap membiarkan saja sahabatku ini, dia sudah cukup sakit hati oleh penghianat cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun