Kuda lumping atau orang awam sering menyebut dengan jaranan (untuk daerah jawa timur) dan jathilan (untuk daerah jawa tengah) merupakan salah satu seni tari dengan unsur magis yang berkembang dalam kebudayaan suku jawa. Berbagai jenis kuda lumping berkembang di beberapa daerah dengan ciri khas masing-masing. Jaranan Pegon, Jaranan Dor, Jaranan Thek, Jaranan Kidalan, dan lain-lain memiliki ciri khas tersendiri. Disbudpar Kota Malang menyadari potensi tersebut hingga akhirnya diselenggarakan Festival Kuda Lumping Kota Malang 2017 di Simpang Balapan, Jalan Ijen Kota Malang, Minggu (24/9/2017) pagi. Kawasan yang biasanya dijadikan panggung senam pada saat Car Free Day itu dikerumuni berbagai kalangan. Mulai dari warga yang sejak awal sudah tahu ada acara tersebut, hingga warga yang terkecoh ingin senam namun justru disuguhi acara itu sehingga tidak jadi senam.
Walikota Malang, M. Anton mengatakan, kegiatan tahunan itu merupakan salah satu bentuk upaya untuk melestarikan kesenian dan budaya asli bangsa Indonesia. Jaranan, atau Kuda Lumping memiliki nilai tradisi yang amat bagus dan selalu banyak menarik perhatian berbagai kalangan. Tanpa kecuali para turis mancanegara, yang memang selalu datang untuk melihat suguhan tradisi dari setiap daerah. Festival Kuda Lumping memang bukan hanya digelar di Kota Malang. Trenggalek, sebagai salah satu tempat perkembangan seni ini juga menggelar agenda serupa. Anjungan Jawa Timur di Taman Mini Indonesia Indah, juga menggelar acara tersebut secara tahunan. Jauh di Palembang, gelaran Festival Kuda Lumping juga diselenggarakan, serta mendapatkan perhatian oleh pemerintah.
"Festival ini, juga menjadi salah satu cara untuk mengajak anak-anak kita selalu cinta akan budayanya di tengah gempuran modernisasi," katanya ketika membuka acara.Kuda Lumping yang selama ini tidak pernah absen dari ritual magis dan kesurupan, dikemas dalam tampilan festival tanpa mengedepankan kesurupan, namun lebih mengedepankan nilai estetisnya. Seni tari ini harus memiliki tiga unsur yang bagus terdiri dari wirama(irama tari dan musik), wirasa(rasa tari dan musik), dan wiraga (gerakan tari). Dua puluh tujuh peserta dari berbagai daerah di Kota Malang, hadir berpartisipasi dalam kegiatan ini. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit untuk kawasan Kota Malang saja.
Acara ini dibuka oleh penampilan Seni Reyog Ponorogo oleh Sanggar Sardulo Djojo, binaan Disbudpar Kota Malang. Terlihat berbeda, namun kedua seni ini memiliki akar kisah yang sama. Reyog menceritakan kisah fiksi Prabu Klanasewandana (Klonosewandono) dari Kerajaan Bantarangin (Ponorogo) yang ingin menyunting Dewi Sanggalangit, putri Raja Kadiri. Dewi Sanggalangit meminta mahar berupa 144 ekor kuda putih, sebuah seni pertunjukkan yang belum pernah ada diiringi gamelan, serta hewan berkepala dua. Prabu Klanasewandana telah mengumpulkan semua mahar kecuali hewan berkepala dua. Di tempat lain, Raja Singobarong, raja Lodaya (Blitar) juga ingin menyunting Dewi Sanggalangit dan berencana untuk menyergap Klanasewandana di perjalanan. Raja Singobarong, sang siluman harimau memiliki hewan piaraan yaitu Burung Merak jantan yang bertengger di pundaknya. Mengetahui hal itu dari Patih Pujangga Anom, Klanasewandana berangkat menuju Lodaya untuk menghancurkan Lodaya. Klanasewandana membawa semua pasukan termasuk Warok, pasukan bela diri, dan kavaleri kuda putihnya. Pertempuran pun terjadi, dan Prabu Klanasewandana dengan Pecut Samandiman, menyatukan tubuh Raja Singobarong dengan merak kesayangannya sehingga mereka menjadi hewan berkepala dua.
Seni Reyog menceritakan detail pasukan Prabu Klanasewandono dan Singobarong, sedangkan Seni Kuda Lumping, menampilkan pasukan berkuda, barongan, dan pecut yang digunakan. Perbedaan lain adalah eblekatau kuda-kudaan yang digunakan oleh penari Kuda Lumping biasanya lebih indah dan beragam warna, daripada yang digunakan oleh penari Jathil (sebutan untuk pasukan berkuda pada Reyog Ponorogo) yang hanya berwarna putih. Di luar Ponorogo, biasanya seni Reyog yang tidak memiliki unsur kesurupan juga tampil dipadukan dengan Kuda Lumping yang memiliki unsur magis berupa kesurupan. Hal tersebut merupakan bukti paduan kesenian yang harmonis walaupun sedikit mengaburkan seni Kuda Lumping dan Reyog Ponorogo yang asli sebagai hasil dari akulturasi.
Penunjukkan Sanggar Sardulo Djojo sebagai pembuka acara juga karena sanggar yang beralamat di Jalan S. Supriyadi, Gang 2B, No. 38, Kampung Baru, Sukun ini pulang dari Festival Nasional Reyog Ponorogo XXIV dalam rangkaian acara Grebeg Suro 2017 yang digelar tahunan oleh Pemkab Ponorogo. Sanggar yang diketuai oleh Bambang Supriyadi ini berhasil meraih predikat Ranking 8 penyaji tari terbaik dalam skala nasional mengalahkan sekitar 26 peserta. Pada pembukaan acara Festival Kuda Lumping ini, dua penari jathil menyerahkan bouquet kepada Walikota Malang dan Sekretaris Daerah Kota Malang dengan didampingi oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni, dan beberapa Kepala Organisasi Perangkat Daerah. Sanggar Sardulo Djojo adalah satu dari dua kontingen Kota Malang yang membawa penghargaan sebagai penyaji terbaik. Satu kontingen lainnya adalah Reyog Brawijaya, dari Universitas Brawijaya Malang sebagai ranking pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H