"Tak sepatutnya yang satu menipu yang lainnya, tidak menghina siapa pun di mana juga;
tak selayaknya karena marah dan benci mengharap yang lain celaka."
Kesenian Reyog Ponorogo merupakan salah satu seni pertunjukan tari dengan sebuah alur yang lebih menyerupai sendratari. Sendratari menurut KBBI (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), merupakan drama atau cerita yang disajikan dalam bentuk tarian tanpa adanya dialog, biasanya diiringi oleh musik (gamelan). Merujuk pada lema yang terdapat dapat KBBI, maka pertunjukan Reyog Ponorogo dapat disandingkan dengan pertunjukan Ramayana di Candi Prambanan juga Kecak di Bali.
Berembusnya kesenian Reyog Ponorogo ke Nusantara merupakan sebuah hasil positif bila ditinjau dari segi pelestarian budaya. Ditinjau dari segi pakem, kesenian Reyog Ponorogo mengalami beberapa pergeseran dari pedoman atas kepentingan beberapa pihak. Kepentingan yang saya maksud di sini tidak melulu berada pada konotasi negatif. Beberapa daerah menyajikan pertunjukkan Reyog Ponorogo yang dibarengi dengan kesenian Jaranan atau Kuda Lumping, bahkan atraksi-atraksi berunsur magis demi memikat daya tarik masyarakat. Sanggar Reyog lain juga menampilkan penari Jathil (sebutan prajurit berkuda wanita dalam seni Reyog; bukan jaranan) dengan tarian yang liuk lampai menggoyangkan dada dan pantat. Saya pribadi lebih memilih menggunakan kalimat demikian demi menghindari asumsi subjektif dengan menggunakan frasa "gerakan erotis" atau "gerakan sensual".Â
Tidak sampai pada titik tersebut, satu hal yang sudah menjadi "salah kaprah" atau kesalahan yang lazim, adalah penulisan ejaan "Reog". Banyak rekan-rekan seniman dan wartawan yang masih menggunakan istilah "Reog", termasuk situs eksiklopedia online bernama Wikipedia. Saya telah mencoba melakukan korespondensi dengan editor Wikipedia namun sepertinya pendapat saya yang didasarkan pakem budaya hanya dianggap sebagai angin lalu. Kesalahan tersebut mungkin terjadi karena ketidaktahuan atau keengganan untuk mencari tahu kebenaran.
Kesalahan ini berawal dari era Bupati Markum Singodimejo (1994 s.d. 2004) yang membuat semboyan Kabupaten Ponorogo menggunakan kata REOG. REOG merupakan kepanjangan dari "Resik, Endah, Omber, Girang-gemirang" yang memiliki arti bersih, indah, makmur, dan bahagia. Bupati yang bukan merupakan putra daerah, karena dilahirkan di Kabupaten Malang pada 16 Agustus 1945 ini mungkin memang tidak mengetahui, tidak mencari tahu, atau sengaja menghilangkan huruf Y pada tulisan Reyog karena setelah saya coba mencari semboyan singkatan dengan huruf Y, memang sulit.Â
Politikus yang kini merupakan anggota DPR RI 2009 s.d. 2014 di Komisi VII yang menangani Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia, serta Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia tersebut bisa saja dipertanyakan apa yang telah dilakukan beliau pada saat menjabat, termasuk alasan menggunakan Reog dan bukan Reyog. Terlepas dari beberapa kasus beliau, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Markum yang telah membangun Ponorogo besar-besaran.Beberapa bukti yang menguatkan bahwa ejaan yang benar adalah Reyog dan bukan Reog, adalah dokumen-dokumen penting yang terbit pada masa pemerintahan Bupati Markum Singodimedjo. Istilah Reyog disebutkan berasal dari kata Riyeg yang berarti "bergetar karena ramai" tercantum dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa. Buku tersebut terbit pada tahun 1993 oleh Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo. Jelas-jelas pada sampul tercetak tulisan "Reyog". Buku tersebut telah didaftarkan hak ciptanya pada tanggal 12 April 1995 di Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek, Departemen Kehakiman Republik Infonesia dengan nomor pendaftaran 013195.Â
Hak Cipta kesenian Reyog Ponorogo juga terdaftar pada 11 Februari 2004, disahkan pada 1 Desember 2004 dengan nomor pendaftaran 026377 dengan nama "Reyog Ponorogo" dan bukan "Reog Ponorogo". Jenis ciptaan seni tari ini diumumkan untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia secara hukum pada 14 Agustus 1994 (di masa Bupati Markum).
Mungkin saja ada beberapa pihak yang tidak mau berbenah menjadi lebih baik karena telah "nyaman" dengan ejaan Reog, saya tidak memaksa karena itu adalah pilihan, dan jelas baik Reyog maupun Reog, rujukan keseniannya tetap sama. Bila tidak mau berbenah karena "dugaan" politik, setidaknya marilah berbenah demi melestarikan budaya ini.
Seseorang yang menyadari ketidaktahuannya dan berubah menjadi lebih baik, maka ia dapat dikatakan sebagai bijaksana.
"Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya,
maka ia dapat dikatakan bijaksana;
tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana,
sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!