Grebeg Suro merupakan rangkaian acara menyambut Satu Suro atau Tahun Baru Hijriyah dalam kalender Islam. Ponorogo, sebuah kabupaten di barat Jawa Timur, 4 jam perjalanan mobil dari Daerah Istimewa Yogyakarta ke arah barat dan 3 jam perjalanan mobil dari Surakarta ke arah tenggara, mengadakan agenda tahunan sejak sekitar satu minggu sebelum malam satu suro. Berdiri sejak 520 tahun yang lalu, oleh Bathara Katong, salah satu putra Brawijaya terakhir serta adik dari Raden Patah, menjadikan Ponorogo sebagai daerah yang tidak lepas dari islam, serta tetap menjaga penduduknya yang bukan Islam. Grebeg Suro pun memang identik dengan Islam, meskipun tidak semua acara semata-mata khusus untuk warga Islam.
Ibaratnya soft opening, pada tanggal 14 September 2016 dilaksanakan Sima’an Al-Qur’an. Tanggal 17 September dilaksanakan Grand Final Pemilihan Duta Wisata Kakang Senduk Ponorogo 2016. Acara ini cukup memberikan warna yang berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, acara dilaksanakan di depan Paseban Alun-alun Ponorogo dengan patung tujuh ekor macan di depan kompleks Pendopo Agung sebagai background seolah-olah sebagai wujud penjaga Ponorogo. Tahun ini, dilaksanakan di panggung utama Ponorogo dengan background berupa dekorasi teras Istana Merdeka di Jakarta.
Gelaran pameran seni rupa, hasil fotografi, lomba karawitan, serta konser “Rock in Reyog Land” dilaksanakan pada tanggal 24 September 2016. Esok hari, pada tanggal 25 September 2016 berlangsung pameran bonsai, pameran industri kecil dan produk unggulan, pameran kerajinan batu akik, lomba burung perkutut, serta Grand OpeningGrebeg Suro 2016. Gebrakan yang sangat dahsyat adalah dengan launching aplikasi Grebeg Suro 2016 yang dapat diunduh di playstore, berisi berbagai jadwal acara, serta juga ada layanan streaming sehingga bagi yang tidak bisa ke Ponorogo, masih bisa melihat dari jauh. Awalnya beberapa pihak menyayangkan hal ini karena hal tersebut justru dapat mengurangi kunjungan wisatawan ke Ponorogo, namun ada juga yang mendukung karena streamingtidak dilakukan secara live real time, dan berselang sekitar dua jam.
Tanggal 26 September dilaksanakan juga Bumi Reyog Bersholawat bersama Habib Syech di Stadion Bathoro Katong. Ada pula pameran pusaka hingga tanggal 1 September 2016, juga Festival Nasional Reyog Ponorogo XXIII (keduapuluhtiga) hingga tanggal 30 September 2016. Tanggal 27 September diadakan lomba Macapat dan lomba Keagamaan, serta pada tanggal 30 September digelar juga pagelaran Ketoprak dan konser musik “Jazztilan”. Pada malam jam 24:00 dilaksanakan prosesi Bedol Pusaka, yaitu pemindahan tiga pusaka milik Bathara Katong yang disimpan di Pringgitan (rumah dinas Bupati) diarak berjalan ke Makam Bathara Katong untuk upacara besok hari, dengan laku bisu.
Pagi hari pada tanggal 1 Oktober, diadakan Ziarah Makam Bathara Katong, dan sore hari menjelang malam satu suro, diadakan Kirab Pusaka, diikuti jajaran Muspida, rombongan Lintas Sejarah, dan Pesona Wisata Ponorogo, berjalan dari Kota Lama, kawasan Makam Bathara Katong hingga Kota Baru, di depan Paseban Ponorogo, untuk upacara penjamasan pusaka dan prosesi Tumpeng Purak. Malam harinya, terdapat empat titik penyelenggaran konser musik band Indie, serta pagelaran Wayang Kulit di dua titik, yaitu di Kota Baru dan Kota Lama. Acara utama adalah Closing Ceremony Grebeg Suro 2016 serta pengumuman penyaji terbaik Festival Nasional Reyog Ponorogo XXIII.
Tanggal 1 Suro yang jatuh pada 2 Oktober 2016, dilaksanakan prosesi Larungan di Telaga Ngebel, dengan melarung makanan makanan yang sekiranya tidak mubazir dan dapat dimakan oleh ikan-ikan di sana. Tanggal 4 Oktober dilaksanakan konser Iwan Fals di Panggung Utama Alun-alun Ponorogo dan ditutup dengan Ruwatan Bumi Reyog pada tanggal 6 Oktober 2016.
Satu agenda yang melibatkan banyak orang dan ditunggu-tunggu adalah Festival Nasional Reyog Ponorogo yang dilaksanakan di Alun-alun Ponorogo. Banyak masyarakat yang menyayangkan karena sebelumnya alun-alun menjadi pasar malam, tahun ini alun-alun hanya sebagai tempat bazar puluhan vendor saja. Sudah tidak ada lagi kora-kora, komedi putar, kuda-kudaan, helikopter, bianglala, pedagan pakaian murah, hingga pedagang mainan seperti perahu othok-othokyang bunyinya sampai membuat anak tetangga ikut-ikutan ingin membeli. Terlepas dari hal itu, alun-alun menjadi lebih bersih untuk mereka yang suka, dan menjadi sepi untuk mereka yang suka konsep lama, sebab memang tidak semua orang turun ke alun-alun dari pelosok hanya untuk menonton Reyog.
Yuan, salah seorang warga menuturkan, “Dulu itu banyak warga dari Ngrayun, Ngebel, Bungkal, turun ke Alun-alun naik mobil bak terbuka, untuk ke pasar malam, belanja-belanja murah, nggak cuma buat liat Reyog aja. Tapi sekarang malah menurut saya kok sepi, kurang dapet auranya Grebeg Suro.”
Ada juga masyakarat yang mengeluhkan tentang pemasangan spanduk di kanan kiri pagar penonton FNRP XXIII yang menutupi layar tayangan di sisi kanan dan kiri panggung. Tidak salah memang ibu X (tidak bisa disebut namanya, dari akun instagram infoponorogo) ini sebagai customer untuk mengkritik, sebab pelanggan adalah raja, sedangkan dari perspektif lain, pada akhirnya terbentur pada vendor yang memang meminta spanduknya dipasang di sana sehingga pasti akan mengganggu penonton yang membayar, dan penonton di luar area yang tidak membayar justru bisa melihat sajian di layar tersebut tanpa gangguan spanduk.
Seluruh karyawan menyayangkan penyediaan spot fotografer yang hanya diberi tempat 1x3 meter tepat di depan panggung. Letak itu pun harus dibagi untuk seluruh jurnalis yang meliput. Dilansir dari beritajatim.com, Sony Misdananto, kontributor NET TV mengeluhkan tempat yang tidak memenuhi karena jurnalis sangat butuh video, dan berpendapat bahwa acara Grebeg Suro tahun ini paling kacau. Sony juga diusir oleh EO penyelenggara, yang berarti IPro. Kontributor Metro TV, Fajar Wijanarko juga diusir karena terlambat.
Memang, Grebeg Suro dan FNRP XXIII pasti memiliki peliput utama, yaitu vendor yang dibayar untuk merekam seluruh prosesi guna dokumentasi, juga streaming liputan, sehingga bagaimana pun, pihak lain bukanlah prioritas utama.