Mohon tunggu...
Evander Nathanael Ginting
Evander Nathanael Ginting Mohon Tunggu... Pengacara - Gadjah Mada University

Rationalist

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konflik Lahan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau: Memahami Hak Tanah, Investasi, dan Hak Asasi Manusia

12 September 2023   22:38 Diperbarui: 12 September 2023   22:58 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan 
Konflik lahan yang tengah mengguncang Pulau Rempang dan Gedung BP Batam di Kota Batam, Kepulauan Riau, telah menarik perhatian nasional karena melibatkan kompleksitas isu-isu hak tanah, investasi, dan hak asasi manusia.
 
Saya sebagai salah satu warga Kota Batam yang sudah hampir dua dekade tinggal di kota ini akan menguraikan dan membahas berbagai aspek konflik ini dengan merujuk pada sumber informasi terbaru yang ada.
 
Latar Belakang Konflik 
Konflik lahan di Pulau Rempang telah mencapai titik kulminasi dalam bentrokan antara warga lokal dan aparat keamanan. Konflik ini berawal dari rencana penggusuran pemukiman warga untuk mendukung proyek pembangunan yang dikenal sebagai Rempang Eco City. Agar memahami konflik ini lebih dalam, kita perlu memahami beberapa aspek kunci yang menjadi latar belakangnya.
 
Penting untuk dicatat bahwa tanah yang menjadi pusat konflik adalah tanah adat, yang merujuk pada wilayah yang telah lama ditempati dan dikelola oleh masyarakat adat. Tanah adat memiliki nilai budaya, historis, dan spiritual yang sangat penting. Dasar hukumnya adalah Pasal 18B UUD 1945 tentang Hak Ulayat.
 
Selain tanah adat, ada juga masyarakat adat. Masyarakat adat adalah individu yang secara turun-temurun mendiami dan mengelola tanah adat, dengan ikatan emosional dan budaya yang kuat dengan tanah tersebut, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam konteks ini, komunitas masyarakat yang mendiami lahan di Pulau Rempang termasuk dalam masyarakat adat.
 
Di satu sisi, di wilayah Batam-Rempang-Galang (disingkat "Barelang"), hak atas tanahnya terbatas karena sistem kepemilikan tanah yang lebih menekankan hak negara, dikenal sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL). HPL adalah izin yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha atau entitas tertentu untuk mengelola wilayah tanah tertentu tanpa hak milik, dengan BP Batam bertanggung jawab atasnya.

BP Batam memiliki tanggung jawab atas pembangunan infrastruktur di Kota Batam dengan dana yang disediakan oleh pemerintah pusat. Mereka bertanggung jawab atas pembangunan jalan, jembatan, rumah sakit pemerintah, dan bahkan bendungan atau waduk. Setelah lebih dari lima dekade berlalu sejak pendirian BP Batam, Batam telah berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan, pariwisata, dan alih kapal yang signifikan.
 
Potensi Kota Batam
Saya perlu menjelaskan bahwa Kota Batam memiliki lokasi yang sangat strategis, terletak di sebelah selatan Singapura dan berdekatan dengan Malaysia. Hal ini menjadikannya pintu utama untuk perdagangan internasional dan investasi di wilayah Asia Tenggara.

Selain itu, Kota Batam juga termasuk dalam daerah yang diangkat sebagai Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia. Ini artinya, ada insentif khusus yang tersedia untuk investasi di sini, seperti pembebasan pajak yang lebih rendah, infrastruktur yang berkualitas, dan proses perizinan usaha yang lebih mudah.

Kota Batam juga memiliki beragam sektor industri, termasuk manufaktur, elektronik, perkapalan, logistik, dan pariwisata. Ini membuka peluang investasi yang beragam di berbagai sektor tersebut. 

Investasi di Batam dan Pengembangan Pulau Rempang
Pengembangan Pulau Rempang menjadi sorotan karena proyek strategis nasional yang dikenal sebagai Rempang Eco-City. Proyek ini memiliki nilai investasi yang besar dan dikembangkan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan dari Grup Artha Graha yang dimiliki oleh Tomy Winata.
 
Proyek ini bertujuan menciptakan kawasan pengembangan terintegrasi yang mencakup berbagai sektor seperti industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan terbarukan (EBT).
 
Implikasi Konflik Lahan
Konflik ini telah menciptakan ketegangan dan bentrokan di Pulau Rempang, mengancam perdamaian dan kesejahteraan masyarakat setempat.  Dalam konteks konflik ini, penting untuk mengakui bahwa hak asasi manusia warga adat harus dihormati dan dilindungi, sambil tetap mempertimbangkan kepentingan investasi ekonomi dan pembangunan wilayah.
 
Solusi dan Penyelesaian
Penyelesaian konflik lahan di Pulau Rempang tentu perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengembang, dan masyarakat adat. Penting untuk memastikan transparansi dalam rencana pengembangan wilayah dan memberikan kompensasi yang adil kepada warga yang terkena dampak pembebasan lahan.  Penyelesaian konflik ini juga harus mencerminkan kebijakan perlindungan hak asasi manusia dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
 
Kesimpulan
Konflik lahan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, merupakan gambaran dari tantangan kompleks yang sering dihadapi di seluruh Indonesia. Menyelaraskan hak tanah, investasi, dan hak asasi manusia dalam kerangka hukum yang berkelanjutan adalah hal yang sangat penting untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan dalam konflik semacam ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun