Film besutan sutradara muda hollywood berbakat Conor Allyn, yang bertajuk Java Heat sedang ramai di bicarakan oleh para pecinta film Indonesia. Beberapa aktor sengaja di datangkan dari Amerika yang sengaja disandingkan beradu peran dengan para aktor dan aktris berbakat Indonesia. Selain itu sang sutradara juga lahir dan besar dari industri media Amerika serikat. Jadi tak heran film action Indonesia ini memiliki cita rasa Hollywood. Walaupun demikian, film ini mengangkat cerita budaya Indonesia khususnya budaya Jawa dan pariwisata Indonesia yang diwakili oleh Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dibalik keindahan setting cerita yang digambarkan melalui kehidupan keraton Daerah Istimewa Yogyakarta, film ini mengangkat sebuah kasus terorisme yang dilakukan oleh sekelompok orang jihadis yang memboikot kepada orang Amerika. Entah apa yang menjadi alasan dalam film ini, citra terorisme digambarkan dengan “islam”, baik peran dengan penokohan yang santri dan segala atribut berbau muslim, lokasi yang digunakan, serta yang paling frontal adalah kalimat “Allahu Akbar” yang diteriakan oleh seseorang pelaku ledakan bom di salah satu acara pertemuan tamu-tamu keraton. Sehingga seakan cerita film ini mendiskreditkan bahwa islam adalah teroris.
Selain itu, film ini menceritakan bagaimana kasus tersebut diungkap oleh seorang tokoh utama yang berprofesi sebagai polisi Indonesia yang menjadi anggota dari Detasemen khusus 88 atau yang sering disebut Densus 88. Tokoh yang diberi nama Letnan Hashim ini menjadi jagoan utama di film ini. Lengkap dengan atribut polisinya, keberanian dan kecerdasannya. Namun, ada beberapa hal yang menggelitik pada bagian cerita ini. Letnan Hashim menunjukan identitas dirinya sebagai anggota Densus 88, yang digambarkan dengan emblem bertuliskan “Detasemen 88” di lengan kirinya yang menempel di seragam polisi berwarna cokelat yang dikenakannya. Selain itu ia menggunakan mobil polisi berjenis sedan, namun diberi stiker besar di pintunya yang bertuliskan “Detasemen 88”. Sungguh aneh nampaknya, anggota densus 88 dengan terang-terangan menunjukan identitas dirinya dalam keseharian ditengah masyarakat. Selain itu, seragam dan mobil yang digunakan berbeda jauh dari yang sesungguhnya di gunakan oleh para anggota Detasemen khusus 88 dalam menjalankan tugasnya.
Di lain hal, ada beberapa adegan yang juga dirasa cukup menggelitik dimata penonton yang memperhatikan dengan seksama. Salah satunya ketika melihat adegan seorang laki-laki yang berperan sebagai pelaku ledakan bom, lengkap dengan busana adat jawa, berjalan dengan santainya ditengah keramaian dengan menggunakan rompi berisikan bom yang sengaja dibiarkan terbuka tetapi tidak seorang pun yang menyadarinya.
Tak hanya itu, dalam salah satu adegan perjalanan rombongan utusan Laksamana Angkatan Laut AS setelah menjemput Jake yang diperankan oleh pemain asing Kellan Lutz, yang bertujuan akan ke Airport juga mendatangkan tanda tanya. Bagaimana bisa perjalanan ke bandara Adi Sutjipto Yogyakarta melewati jalan kecil persawahan dan terdapat petunjuk arah “Airport” di tepi jalannya? Ya, mungkin itu hanyalah siasat sutradara untuk melancarkan jalan cerita. Namun kurang dirasa tepat jika membayangkan keadaan yang sebenarnya. Disisi lain di dalam adegan yang sama, terlihat sesosok perempuan tak dikenal, berbaju merah dengan rambut panjang berkuncir kuda turun dari motor dan ikut menjadi salah satu tim misterius yang menghadang perjalanan rombongan Angkatan Laut AS beserta Jake. Ia berlagak layaknya jagoan Tomb Raider dengan pistolnya yang ditembakan kearah mobil rombongan tersebut, lalu pergi menghilang begitu saja dan tidak muncul lagi dalam adegan selanjutnya. Tidak diketahui siapakah perempuan itu dan apa maksud dari penggunaan tokoh perempuan dalam adegan maskulin tersebut? Apakah itu salah satu bentuk pendobrakan citra feminis perempuan? Ataukah hanya sebagai “pemanis” buatan yang sengaja disajikan untuk menambah hiburan ditengah-tengah gairah adegan yang mendebarkan?
Keanehan lain juga terlihat pada salah satu adegan ketika tokoh Jake ingin mencari informasi mengenai perempuan bertatto macan ke suatu daerah yang disinyalir adalah tempat prostitusi. Terlihat Jake turun dari sebuah kendaraan beroda tiga berwarna oranye di kerumunan orang yang berlalu lalang. Ya, kendaraan itu adalah bajaj. Penggunaan properti kendaraan dirasa kurang tepat dengan setting lokasi yang diceritakan, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Bajaj yang menjadi kendaraan umum yang identik dengan ikon dari ibu kota Jakarta diperlihatkan seperti menjadi bagian dari angkutan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sungguh sudah jelas, Bajaj bukanlah angkutan kota yang digunakan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan tidak ada sama sekali di DIY.
Dari semua itu, ada hal yang paling penting yang tak luput dari film ini, yaitu bagaimana kehidupan Keraton Yogyakarta dicitrakan. Terlihat di beberapa adegan puncak cerita, para abdi dalem keraton berhasil diboikot oleh tokoh sentral penjahat berkebangsaan Amerika bernama Malik, yang diperankan oleh Mickey Rourke. Persis layaknya adegan dalam film-film Action Hollywood,dengan berpakaian khas jawa bermotif lurik mereka digambarkan bak penjahat kelas kakap. Para abdi dalem itu bersenjatakan canggih merampok aset peninggalan keraton yang disimpan di bank,dengan mengendarai mobil van berwarna hitam ala agen kelas kakap yang dibagian sisi mobilnya terdapat suatu lambang yang mirip seperti lambang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, walaupun warna dan tulisan yang sengaja dibedakan.
Hal ini dirasa mencoreng citra Keraton dan meracuni nilai estetis budaya Jawa yang sarat akan adat istiadat, tradisi, kharismatik religiusitas, serta norma-norma nilai kehidupan manusia yang menjadi panutan masyarakat. Oleh karena itu, penggambaran tindak kriminal dengan gaya modern yang dilakukan para penghuni keraton dalam film ini, seakan melunturkan tradisi luhur yang sudah melekat di dalam Keraton Yogyakarta. Sebagaimana yang kita tahu, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan kehidupan di dalamnya merupakan kiblat budaya jawa dan sebagai representasi dari nilai-nilai sosio kultural bangsa Indonesia.
Sekian yang saya sampaikan dalam tulisan ini. Kiranya, tulisan ini dapat menjadi salah satu kaca mata kritis dari penonton sebagai bentuk apresiasi dan kepedulian bagi perkembangan perfilman Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H