Media sosial kini menjadi kekuatan signifikan dalam membentuk dan mengarahkan dinamika politik di Indonesia. Di era digital ini, platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok memungkinkan masyarakat berpartisipasi langsung dalam diskusi politik, berbagi pandangan, serta mengkritisi kebijakan pemerintah. Informasi dan opini dapat menyebar sangat cepat, memicu reaksi publik yang masif, dan bahkan memengaruhi keputusan politik. Hal ini tampak pada gerakan yang cukup viral pada 2019, di mana isu-isu politik berhasil menyebar luas dan memobilisasi massa melalui media sosial.Â
Seiring waktu, masyarakat semakin aktif di media sosial untuk mengemukakan pendapatnya dan berpartisipasi dalam kegiatan politik secara daring, khususnya generasi muda. Hal ini memberi peluang untuk memperkuat demokrasi melalui keterlibatan publik yang lebih besar. Di sisi lain, media sosial memungkinkan pemimpin atau figur publik berkomunikasi langsung dengan masyarakat, sehingga tidak lagi hanya bergantung pada media konvensional. Platform ini juga mendorong transparansi, mempercepat penyebaran informasi, dan membuka akses lebih luas bagi masyarakat yang selama ini mungkin sulit menjangkau isu politik.
 Namun, dampak media sosial tidak selalu positif. Di balik manfaatnya, muncul tantangan berupa misinformasi dan hoaks yang dapat menyebar tanpa filter. Fenomena ini sering kali mengaburkan fakta, memperuncing perbedaan pendapat, dan memicu polarisasi di tengah masyarakat. Informasi yang tidak benar, jika diterima tanpa verifikasi, dapat memengaruhi opini publik secara negatif. Polarisasi semacam ini semakin terlihat pada isu-isu kontroversial, seperti dalam kampanye politik atau perdebatan tentang kebijakan pemerintah. Dengan begitu, dampak media sosial bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, memperkuat partisipasi publik, namun di sisi lain berpotensi mengganggu kohesi sosial.Â
Di sisi lain, media sosial juga telah memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat untuk bersuara dan mengorganisir gerakan sosial, seperti yang terlihat pada berbagai aksi massa yang digalang melalui tagar dan kampanye online. Dalam konteks ini, media sosial membuka peluang baru untuk mendorong perubahan sosial dan politik. Kini, siapa saja dengan akses internet dapat menyampaikan pandangannya kepada ribuan bahkan jutaan orang, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan pada era media konvensional. Media sosial menghapus batasan geografis dan ekonomi, sehingga suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan kini lebih mudah terdengar.Â
Jika dibandingkan dengan era sebelum media sosial, interaksi antara masyarakat dan politik dahulu lebih banyak dikendalikan oleh media massa tradisional, seperti televisi, radio, dan surat kabar. Saat itu, partisipasi politik masyarakat cenderung terbatas pada forum-forum formal, seperti pemilu atau diskusi yang diadakan oleh kelompok tertentu. Sebagai penerima informasi, masyarakat hampir tidak memiliki kesempatan untuk memberikan tanggapan atau berpartisipasi dalam diskusi publik secara luas. Namun, dengan kehadiran media sosial, peran tersebut berubah drastis. Kini, masyarakat tidak lagi sekadar menjadi konsumen informasi, melainkan juga produsen konten yang berpotensi mempengaruhi opini publik.Â
Contoh peran media sosial dalam politik Indonesia tampak nyata pada Pemilu 2019. Selama masa kampanye, media sosial menjadi arena utama bagi kedua kubu untuk memobilisasi pendukung, menyebarkan informasi tentang program, dan mengkampanyekan pesan politik. Salah satu tagar yang viral adalah #2019GantiPresiden, yang berhasil melahirkan diskusi panas di berbagai platform online. Tagar ini bahkan berhasil mengorganisir aksi-aksi massa di berbagai kota, yang menunjukkan bagaimana dunia maya mampu berdampak langsung pada aksi nyata di lapangan. Fenomena ini menegaskan bahwa media sosial telah menjadi alat yang sangat kuat, mampu menggerakkan opini publik dan merangsang tindakan politik dalam skala besar.Â
Dengan semakin berkembangnya peran media sosial, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk lebih bijaksana dalam menyaring dan mengelola informasi guna menjaga lingkungan politik yang sehat dan demokratis. Media sosial, dengan segala kekuatan dan tantangannya, kini telah mengubah cara masyarakat berpartisipasi dalam politik. Maka, peningkatan literasi digital dan keterampilan verifikasi informasi menjadi kunci agar media sosial dapat berfungsi sebagai sarana demokrasi yang sehat, bukan sebagai penyebab polarisasi yang merugikan persatuan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI