Komentar tentang "Gibran Anak Haram Konstitusi" menunjukkan keragaman dan ketegangan yang ada dalam politik Indonesia saat ini, terutama menjelang Pemilihan Umum 2024. Istilah ini muncul sebagai kritik yang tajam terhadap anak pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Kritik ini tidak hanya berkaitan dengan aspek individu; itu juga mencakup masalah hukum, etika, dan legitimasi demokrasi di Indonesia.Â
Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi perhatian publik setelah MK memberikan izin kepadanya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Usia minimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 untuk calon presiden dan wakil presiden diubah dengan keputusan ini. Menurut keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, Gibran memenuhi syarat sebagai kepala daerah karena pengalamannya.Â
Keputusan ini, bagaimanapun, memicu perdebatan. Proses tersebut dianggap memiliki unsur nepotisme yang kuat, terutama karena paman Gibran, Anwar Usman, adalah Ketua MK pada saat itu. Ini menimbulkan gagasan bahwa keputusan MK tidak sepenuhnya objektif dan dipengaruhi oleh hubungan keluarga. Selain itu, istilah "anak haram konstitusi" menjadi ungkapan ketidakpuasan publik terhadap legitimasi hukum yang dianggap tidak efektif.Â
Kritik Terhadap Legitimasi: Dua Elemen Utama: Nepotisme dan Legitimasi Demokratis. Banyak pengamat hukum dan politik berpendapat bahwa pencalonan Gibran mencerminkan ketidakmampuan sistem demokrasi Indonesia untuk memastikan kesetaraan politik dan keadilan. Mereka mengklaim bahwa keputusan MK untuk mengubah batas usia minimum menunjukkan adanya kecurangan hukum untuk kepentingan pribadi dan keluarga.Â
Ada sumber  yang bahkan menyebut pasangan Prabowo-Gibran sebagai "produk gagal reformasi" dan menyarankan agar Gibran mundur dari pencalonannya untuk menjaga tatanan bernegara2. Penilaian ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin skeptis terhadap integritas lembaga-lembaga negara dan proses politik yang ada.
Istilah "anak haram konstitusi" mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat. Sebagian orang melihat kritik tersebut sebagai keberanian untuk menuntut kejujuran dan tanggung jawab pejabat publik. Sebaliknya, beberapa orang merasa kritik terhadap Gibran terlalu keras dan tidak adil karena dia juga seorang pemuda yang berusaha membantu negara. Salah satunya, Gielbran Muhammad Noor, ketua BEM UGM, dengan tegas menyatakan bahwa Gibran hanya bisa mendapatkan posisinya karena bantuan pamannya, dan dia mengajak generasi muda untuk menuntut perubahan (1). Banyak orang diminta untuk berpikir kritis tentang cara kekuasaan digunakan di Indonesia karena pernyataan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H