[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Hal yang menurut saya privasi ini terpaksa saya publikasikan dengan tujuan siapa pun yang membacanya bisa mengambil manfaat dari pengalaman buruk saya ini, tentunya agar jangan sampai Anda mengalami hal yang saya alami. Di Indonesia kesadaran masyarakat akan kesehatan gigi menurut saya masih rendah, atau mungkin hal ini hanya di masyarakat sekitar saya? Entahlah, tapi pada kenyataannya di Hong Kong saya menemukan betapa masyarakat di sini begitu memperhatikan soal kesehatan gigi. Jadi ceritanya saya memiliki masalah soal gigi, mungkin banyak orang yang takut pergi ke dentist atau dokter gigi, tapi tidak dengan saya, sejak kecil saya terbiasa ke dokter gigi (adik saya juga), bukan karena saya sedang sakit gigi, tapi karena dulu saya harus mencopot gigi lama saya yang disebabkan munculnya gigi baru di depan atau belakang gigi yang belum tanggal, kami biasa menyebutnya  gigi “sundulan“, bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali, saya lupa tepatnya berapa kali. Setelah mulai bekerja, jauh dari rumah saya mulai tidak pernah ke dokter gigi. 2 tahun berlalu, celah antara kedua gigi saya berlubang, ini dikarenakan selesai makan pasti ada makanan tertinggal di sana, lalu dengan masa bodohnya saya akan menggunakan tusuk gigi untuk mengeluarkannya, bahkan dengan cara yang kasar, akhirnya kedua gigi tersebut berlubang dan menghitam, melihat hal itu, mulailah saya mencari dentist lagi. Nah, karena di tempat itu saya tidak tahu alamat dentist, maka saya memilih pergi ke puskesmas. Dari konsultasi, si dokter gigi menyarankan saya untuk menambalnya. Okelah saya menuruti saran si dokter. Ternyata sebelum menambal celah di antara dua gigi tersebut, dokter membersihkannya dengan mengerik atau menipiskan gigi, setelah itu diberi adonan untuk disumpalkan ke lubangnya. Dokter menyuruh saya datang lagi setelah 3 hari kemudian. Dokter akan melepas tambalan itu dan akan menggantinya dengan tambalan permanen. Baru 3 jam berlalu dari tempat si dokter, saat itu saya mulai merasakan tidak nyaman, dan saat itulah saya  pertama kali dalam hidup ini merasakan “SAKIT GIGI“ . Besoknya saya tidak masuk kerja dan ke puskemas lagi, saya meminta si dokter membuang tambalan itu, dan setelah saat itu, saya tidak pernah lagi ke dokter karena kecewa, saya membiarkan gigi saya yang lubangnya tambah besar akibat ulah si dokter, karena saya tidak mengizinkan si dokter menambalnya. Sudah 4 tahun berlalu dari kejadian itu, gigi saya itu pun tidak pernah sakit, tapi karena lubangnya menghitam maka saat saya sudah di Hong Kong saya kembali mencari dentist. Saya melakukan cuci gigi, si dentist juga mengajari saya cara merawat gigi yang baik, membersihkan gigi dengan cara menggunakan benang gigi, tidak boleh menggunakan tusuk gigi. Lalu dia memberi tahu saya, bahwa  gigi saya telah mati, jadi tidak sakit, namun jika dibiarkan dan tidak dilepas, maka lama-kelamaan akan keropos dan tinggal akar gigi. Jika sudah keropos dan tinggal akar gigi, maka saya akan kesulitan membersihkanya karena mulai tertutup daging gusi, banyak kuman bersarang di sana, dan yang paling menakutkan, perlu dilakukan pembedahan untuk melepas si akar gigi yang sudah tertutup daging gusi. Karena terbentur biaya yang diperkirakan sebesar gaji sebulan (HK$4500), saya memilih untuk membiarkannya. Asuransi yang saya miliki hanya mencangkup biaya perawatan jika sakit gigi, sedangkan saat itu saya tidak sedang sakit gigi, maka saya memilih membiarkannya. 3 bulan lalu kebetulan saya pulang ke Indonesia. 2 bulan saya di rumah, pergi ke dokter gigi untuk melepas 2 gigi tersebut. Lega rasanya meskipun kehilangan 2 gigi, tapi biayanya tidak semahal di HK. Jika di HK saya ditarget menghabiskan 6 juta lebih, di INA tidak lebih dari 2 juta. Setelah 3 bulan berlalu, posisi saya sudah berada di Hong Kong lagi, tiba-tiba saya merasakan ada sesuatu yang mengganjal sebesar beras di gusi tempat 1 gigi di antara 2 gigi yang sudah dilepas. Awalnya saya kira itu sisa makanan, lalu iseng saja saya utak atik dan “awwwww my God!“ sakit. Setelah 3 hari berlalu mulai ada rasa cenut-cenut menyapa, saya pikir “ah mungkin itu hanya urat yang keluar“,  entah urat apa, tapi saya mencoba menenangkan diri. Setelah 6 jam cenut-cenut bertambah parah, waktu itu pukul 10 malam, saya memutuskan mengonsumsi obat pereda sakit, ternyata tidak mempan, bahkan sempat terpikir akan menelfon 999, yaa Allah, sakitnya LUAR BIASA! Sebelum akhirnya saya minum obat tidur, karena sudah tidak tahan. Pagi setelah bangun, gusi tersebut tidak sakit, tidak bengkak, tapi bernanah. Bos menyarankan  saya untuk ke dentist, akhirnya saya pergi ke dentist. Setelah saya menceritakan masalahnya, dia memberi saya selembar surat dan menyuruh saya ke laboratorium untuk melakukan rontgen. Hasil rontgen keluar dan saya serahkan ke dokter, dia menerawang lembaran hitam tersebut, dengan ramah si dokter menerangkan maksud gambar itu, bahwa ternyata masih ada satu akar gigi yang masih utuh ada di dalam gusi dan saat ini sedang terinfeksi kuman, sehingga bernanah dan sakit. Dokter akhirnya memberikan saya obat pereda sakit yang hanya diminum jika sakit, obat antibiotik, jika obat sudah habis, maka akan melepas akar gigi itu dengan pembedahan sedikit di gusi. Inilah yang saya sebut “malpraktik“, pertanyaan saya, kenapa dokter di Indonesia kemarin tidak mengatakan ini pada saya? Jika memang ia tak sanggup melepas 2 gigi bersamaan, harusnya dia jujur dan terus terang. Biasanya setiap melepas gigi pasti dokter menyuruh melihat gigi yang sudah lepas, iya. Tapi hal itu tidak dilakukan dokter yang di Indonesia kemarin. Bodohnya saya, saya juga tidak terpikir untuk melihatnya. Seminggu kemudian saya kembali ke dokter untuk melepas akar gigi. Setelah disuntik antirasa, mulailah dentist bekerja. Tak terasa 40 menit sudah berlalu. Akar gigi sangat kuat dan dalam sehingga hanya pecahan-pecahan kecil yang bisa diangkat. Yang ada di dalam masih belum bisa dilepas. Obat mulai tidak bereaksi. Saya merasakan cenut-cenut, akhirnya disuntik lagi, coba dicabut tetap tak bisa, sakit lagi. Dokter mengatakan untuk menyudahi proses ini, saya ngeyel untuk disuntik lagi karena saya tak bisa membayangkan jika sakit seperti seminggu lalu kambuh. Hingga akhirnya obat tak bereaksi dan keringat dingin mulai bercucuran, wajah saya pucat, dokter mengecek kadar oksigen dalam darah dan memutuskan untuk tidak melanjutkan. Setelah 1 jam berlalu, dokter mengatakan walaupun kemarin sudah tidak terasa sakit terrnyata infeksi saya belum sembuh total, sehingga obat antirasa tidak bekerja dengan baik lalu saya merasakan sakit, sangat sakit. Akhirnya ia kembali memberikan obat antibiotik dan penahan sakit, dia mengatakan jika sudah sembuh total baru berani melanjutkan untuk mencabut akar gigi tersebut. Hari ini, seminggu lebih telah berlalu dari kejadian itu, dan akar gigi saya masih ada di dalam, tidak sakit, tapi jujur saja, saya takut, sangat ketakutan jika harus berhadapan dengan pisau yang kemarin digunakan dokter itu, saya masih teringat dengan jelas dengan pisau itu, saya memilih untuk tidak mencabut akar gigi ini sekarang, tapi nanti, setelah ketakutan ini hilang. Bos menyarankan saya ke rumah sakit, agar ketika melepasnya saya disuntik bius supaya tak sadarkan diri, tapi jujur saya masih takut. Pesan saya buat siapa pun yang memiliki masalah gigi, jangan gunakan tusuk gigi, tapi gunakan benang gigi untuk mengambil makanan sisa yang tertinggal di antara celah gigi. Jika mencabut gigi, pastikan Anda melihat gigi yang telah dicabut itu dengan seksama, pastikan bahwa seluruh awak gigi telah berhasil dicabut. Rajinlah pergi ke dentist tanpa menunggu sakit dulu. Jangan lupa, kurangi makanan dan minuman manis yang sebetulnya juga tidak baik bagi kesehatan, gosok gigi sebelum tidur, atau 1 jam selesai makan. Semoga bisa diambil hikmahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H