Peran taksonomi dianggap sebagai salah satu elemen yang paling penting dalam merancang kurikulum dan menyusun hasils serta tujuan pembelajaran. Beberapa pendidik dan akademisi telah menganggap model ini dalam memfasilitasi pencapaian belajar dari perolehan pengetahuan tingkat rendah hingga berpikir tingkat tinggi.Â
Namun, beberapa orang lain telah mengkritik fenomena ini dengan meninjau kembali implikasinya pada segmentasi aplikasi pengetahuan ke dalam model hierarkis, yang dapat membatasi peserta didik, khususnya di lingkungan pendidikan tinggi untuk membatasi perolehan konsep mereka.Â
Selain itu, pembelajaran dan motivasi siswa terhambat saat menjalani penilaian yang intensif dan terstruktur dari hasil belajar tersebut. Â Berbicara mengenai taksonomi terkait dengan tujuan pembelajaran dalam proses pendidikan, kita selalu merujuk pada Taksonomi Bloom, yang dikenal sebagai hirarki dalam menentukan tujuan pembelajaran.Â
Apa itu Taksonomi Bloom? Â Taksonomi Bloom adalah salah satu teori belajar yang paling dikenal di bidang pendidikan. Pendidik sering menggunakan Taksonomi Bloom untuk menciptakan hasil belajar yang menargetkan tidak hanya materi pelajaran tetapi juga kedalaman pembelajaran yang mereka ingin siswa capai, dan kemudian membuat penilaian yang secara akurat melaporkan kemajuan siswa menuju hasil ini (Anderson & Krathwohl, 2001).Â
Taksonomi Bloom biasanya digunakan untuk menetapkan tujuan pembelajaran dalam pendidikan. Setiap mata pelajaran harus mengacu pada Taksonomi Bloom agar memiliki tujuan yang terstandarisasi. Taksonomi Bloom dibagi menjadi beberapa kategori dan masing-masing memiliki definisi dan penjelasan sendiri tentang tujuan pembelajaran. Taksonomi Bloom telah membagi kelas menjadi tiga domain yaitu kognitif, psikomotor dan afektif.Â
Kognitif adalah domain yang berfokus pada operasi mental selama proses belajar. Ranah selanjutnya berfokus pada keterampilan psikomotorik. Selama sesi pembelajaran, siswa harus menggunakan fisik mereka bersama dengan kemampuan mental mereka untuk mempelajari mata pelajaran.Â
Domain terakhir yang merupakan domain afektif bertujuan untuk mengetahui soft skill dan nilai-nilai yang kita peroleh dari pelajaran tersebut. Salah satu cara untuk menantang peserta didik di kelas adalah melalui penggunaan Taksonomi Bloom. Menurut Heather Coffey (2004), Taksonomi Bloom dapat digunakan di seluruh tingkat kelas dan area konten. Dengan menggunakan Taksonomi Bloom di kelas, guru dapat mengevaluasi peserta didik pada beberapa hasil belajar.
Namun apabila dipikir kembali, dengan perkembangan jaman yang modern seperti saat ini, sebagai guru apakah kita harus melulu berorientasi pada Taksonomi Bloom level atas untuk ranah kognitif (C3,C4,C5,C6) ? Jika seperti ini, apa kegunaan level bawah seperti C1 dan C2 ? Atau, pantaskah apabila kita hanya mengimplementasikan level rendah saja seperti C1 dan C2? Bagaimana jawaban yang bijak untuk menjawab pertanyaan ini ?
Kita berbicara tentang ranah kognitif dalam Taksonomi Bloom. Menurut pendapat penulis, apa yang telah diciptakan oleh Bloom sangat membantu guru dalam menentukan tujuan pembelajan. Ketika seorang guru hendak menentukan tujuan suatu pembelajaran, terlebih dahulu harus merumuskan KKO atau kata kerja operasional yang dapat diukur.Â
KKO ini diambil melalui Taksonomi Bloom. Menurut penulis, alangkah baiknya kita tidak boleh mengesampingkan taksonomi bloom level rendah seperti C1 dan C2. Ketika kita hendak memberikan suatu konsep kepada siswa, alangkah baiknya apabila siswa dibimbing mulai dari level yang rendah terlebih dahulu.Â