Mohon tunggu...
Eva Maulidiyah
Eva Maulidiyah Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Penulis cerpen, esai, puisi dan bagian dari penulis muda TTS Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Limbung

23 November 2024   08:49 Diperbarui: 23 November 2024   08:52 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan yang baru saja bulan kemarin dirayakan ulang tahunnya yang ke tiga puluh empat oleh murid-muridnya itu pagi ini sedang terdiam duduk di sebuah kursi tua yang terletak di samping rumahnya. Di dekatnya terdapat meja kecil tempat ia meletakkan secangkir kopi yang sudah hangat-hangat kuku. Sebentar-sebentar ia seruput lalu diletakkannya kembali ke atas meja. Pandangannya kosong dan di dalam kepalanya semua hal terlihat begitu rumit dan amburadul. 

Hari ini sudah tak terhitung berapa kali handphonenya berdering dengan nomor panggilan tanpa nama atau terkadang terdeteksi oleh aplikasi Get Contact dengan nama yang aneh-aneh. Perempuan itu tahu dari mana panggilan yang setiap hari hampir puluhan kali berdering meski tanpa nama. Pinjaman online yang sudah berkali-kali dilakukannya membuatnya sudah bosan menerima teror panggilan yang mengatasnamakan banyak pihak. Terkadang memang asli penipu, atau tak jarang juga memang Debt collector dari aplikasi pinjaman yang dipakainya. Panggilan itu seringkali berdering di tanggal melebihi batas tagihan pembayaran, itulah kenapa ia tak pernah mengangkatnya sama sekali. 

"Mbakyu, ini apa? kenapa ada whatsapp nagih hutang?" Suatu hari ia menerima pesan dari adik laki-lakinya. Ia menanggapinya dengan berpesan agar tak perlu khawatir dan abaikan saja karena biar itu menjadi urusannya, adik laki-lakinya tak perlu ikut campur. 

Ia tak berencana untuk meminta tolong siapapun, bahkan kepada dua saudara laki-lakinya yang menganggur. Ya, anggap saja keduanya pengangguran. Padahal memiliki dua saudara laki-laki seharusnya bisa diandalkan dan ia tinggal hidup tentram berada di antara keduanya sebab ia satu-satunya saudara perempuan yang diapit, tapi kenyataan berkata lain. 

Sepeninggalan kedua orang tuanya mereka bertiga seperti kehilangan arah. Kakak laki-lakinya yang cukup pendiam tak begitu memiliki banyak inisiatif dalam dunia kerja, ia mulai menganggur sejak setoran bulanan ke perusahaan tak bisa dipenuhinya dua tahun lalu. Sebagai penerus pekerjaan bapaknya menjadi agen koran dan majalah yang membutuhkan keahlian marketing dalam menjajakan keduanya, ia tergolong tak lihai sama sekali. Itulah kenapa oplah koran semakin hari semakin menurun dan di tahun kedua setelah kematian bapak ia memutuskan berhenti. 

Adik laki-lakinya mungkin tak sependiam kakaknya, ia mampu berkomunikasi dengan baik dan memiliki kepribadian supel sehingga orang akan terlihat nyaman berada di dekatnya. Sayangnya ia sama sekali tak berminat meneruskan pekerjaan bapaknya, ia lebih senang bekerja serabutan. Beberapa kali ia mengambil pekerjaan borongan bangunan, sesekali diajak menata panggung pengajian, tetapi ia lebih sering mengerjakan sawah milik orang dan sesekali memanen jeruk nipis di kebon. 

Perempuan itu bernama Merida, seorang guru honorer swasta yang bekerja dengan gaji tak seberapa. Terhitung sudah enam tahun lamanya ia berprofesi sebagai guru di salah satu madrasah di desanya, sehari-hari ia pergi mengajar mengendarai sepeda ontel dengan jarak tempuh sekitar tiga kilometer. Sejak usianya menginjak pertengahan dua puluhan hingga kini tiga puluhan awal ia menjalani profesi ini dengan berbagai lika liku drama, ia mencoba bertahan sebisa mungkin meskipun banyak sekali yang dikeluhkan nya.

Profesi guru honorer swasta diambilnya ketika bapak masih ada. Ia yang sebelumnya bekerja di tempat yang jauh dengan gaji yang lumayan memutuskan untuk pulang karena merasa ibah dengan kedua laki-laki di rumahnya. Sepeninggalan ibunya rumah menjadi begitu kosong dan sepi, tinggal bapak dan kakak laki-laki pendiamnya yang menghuni, sedang ia dan adiknya memutuskan untuk keluar. Melihat kondisi itu Merida mendengarkan panggilan hatinya untuk kembali pulang menemani bapak di rumah. 

"Nduk, kamu gak apa-apa kalau mau kerja di luar, bapak ndak nyuruh pulang." Suatu pagi di teras rumah laki-laki berusia kepala enam dengan uban di seluruh rambutnya itu menghampiri putrinya yang tengah menyiram bunga-bunga, seketika Merida menghentikan aktifitasnya dan menatap bapaknya lekat-lekat. 

"Gak apa-apa, pak. Ida memang sudah waktunya untuk pulang." Ada rasa kecewa yang disembunyikan, tetapi ia tak mau bapak mengkhawatirkannya. 

"Wong katanya masih banyak yang ingin kamu raih, nduk. Kok tiba-tiba malah pulang." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun