Mohon tunggu...
eva liberty
eva liberty Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Yeay! I did it!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mozaik Cinta Dalam Diam

30 November 2013   11:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setidaknya aku menemukan beberapa potong kisah di ujung senja yang hendak menjemputpetang ini. Puluhan bangau kulihat siap berpulang kerumah mereka diiringi mega merah menyalah, aku ingat masa-masa sekolah dulu. Tiap soreh aku dan beberapa temanku tak pernah bosan berteriak di ujung bukit tempat kami bermain layang-layang semasa kecil, sekedar untuk melepaskan lelah setelah seharian berkejar-kejaran dan bermain petak umpet. Orang-orang tua yang hendak pulang ke rumah menjadi pemandangan elok ketika kami melihatnya berbaris berjajar di bawah bukit sana. Ada satu kebiasaan yang selalu ku lakukan tiap memandang sesuatu yang menurutku indah untuk dibingkai, sesuatu yang harus diabadikan. Potret! Aku mempertemukan kedua ibu jariku dan menautkan kembali kedua jari telunjuk untuk saling bertemu agar membentuk persegi, agar aku bisa membingkai pemandangan senja hari itu dan hari-hari berikutnya. Dan satu hal yang paling penting, aku dapat membingkai wajah di balik wajahnya. Laki-laki bersahaja yang pernah datang bersama kami ke tebing ini, untuk sekedar melukis desa kami di atas kanvas yang selalu ia bawa kemana-mana.

Sudah lima tahun berjalan sejak kepindahanku dari kampung halaman, banyak yang berubah ketika kembali. Desa semakin terlihat lebih tertata dan rapi. Pepohonan berjajar disepanjang jalan dengan diiringi sawah yang luas membentang dan terlihat kekuningan, beberapa hari lagi padi sudah mulai bisa dipanen, kata pamanku yang sejak tadi menemaniku duduk diatas gubuk, untuk menjaga padi dari burung-burung yang siap mencaploknya kapan saja ketika tidak diawasi. Aku beringsut menebarkan pandangan ke semua arah, untuk sekedar menyembunyikan wajah ku dari kekakuan yang sejak tadi terasa. Dan tentu saja dapat kulihat tebing tempat kenangan yang menjadi saksi sejarah tanpa kata-kata. Ku kulum senyum tiap kali menyebutnya, kenangan itu ku beri nama the silent history, sejarah yang diam tak terucap.

“seharusnya dari dulu nduk kamu utarakan isi hatimu, hari ini sudah terlambat..”.ku kira paman mulai mengerti kemana akan kubawah percakapan soreh itu, ia mulai menghisap rokok disebelahnya yang sudah cukup lama di-anggur-kannya. Aku kikuk,

“tidak semudah itu paman...ayu malu sebagai seorang perempuan” ya, jujur aku malu mengakuinya sejak dulu, perasaan yang tak pernah bisa hilang dari hatiku.

“kenapa malu? Paman dulu bisa jadi sama bibimu juga karena ada kejujuran dan berani melangkah...tidak hanya berdiam diri seperti yang kamu lakukan” satu hisapannya mengeluarkan asap yang cukup banyak membuatku terbatuk-batuk.

“apa abah sama umi mu juga tahu tentang ini?”, nafasku tercekat ditenggorokan, aku menggeleng pelan. Tidak mungkin aku memberitahu abah dan umi, mereka pasti menjadi orang pertama yang tidak menyutujui hubungan itu ada. Dan aku adalah satu-satunya orang yang akan umi ralat habis-habisan untuk menjadi pantas jika bersanding dengan mas wafa. Dan aku tidak suka semua itu.

“yu...pamanmu ini pernah mudah, kalau lah wafa memang benar-benar memiliki tekat yang kuat, dia pasti akan berjuang untuk memperjuangkan hubungan kalian”

Aku tersenyum sekilas memandang wajah laki-laki yang sudah bertahun-tahun menjadi teman bercerita sekaligus musuh bermain. Meski begitu, ia tetap menyenangkan tentu saja karena sikapnya yang dewasa, yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Beda dengan mas faisal, kakak laki-lakiku yang tidak begitu opened denganku.

Percakapanku dengan paman soreh itu membuatku tidak banyak ucap ketika sampai dirumah. Sekedar basa basi kutanyakan pada umi tentang kabar abangku yang sudah duatahun ini pindah ke kota memboyong istrinya. Umi hanya menoleh sebentar kemudian kembali sibuk menyiapkan makan malam untuk abah yang baru akan datang dari kota malam ini.

“yu....dua minggu lagi resepsinya mbak mu, kamu harus pulang. Liburkan dulu pekerjaan mu yang banyak itu”, aku tertunduk tanpa mau menoleh sedikit pun ke arah umi. Tapi kukira umi tidak lebih dari sekedar tahu apa yang kulakukan sekarang. Tanpa melihatku umi meneruskan pembicaraannya.

“satu lagi pesan umi, kalau bisa carilah pekerjaan lain, jangan pekerjaan foto-menfoto itu, kamukan bisa cari pekerjaan lain. Wong sarjana pendidikan kok kerjanya jadi tukang potret...”. pada perempuan ini satu-satunya yang harus kujaga tiap ucap dan kataku, pada beliau juga ku haturkan tiap hormat ku tanpa ada bantahan apapun, kecuali terhadap keinginanku, aku tak ingin diusik sedikitpun. Meski kali ini aku hanya bisa bungkam menahan letupan emosi yang siap meledak kalau saja aku tidak cepat-cepat mengendalikannya.

“umi......ayu ndak ada hari libur ketika hari H, karena ayu sudah ada janji dengan klien dari luar kota, apa tidak bisa mencari yang lainnya?” aku takut-takut mengucapkannya, bukan karena menolak, tapi aku terpaksa berbohong untuk ke-egoisanku yang selama bertahun-tahun kusembunyikan. Untuk sekedar ingin memberitahu umi bahwa anak perempuannya ini sama sekali tak ingin hadir menyaksikan mas wafa didepan pelaminan bersama orang lain, tidak, aku tidak bisa mengatakan orang lain karena ia adalah kakakku sendiri, mbak widya. Tapi nyatanya aku tetap saja tidak bersuara.

“ bicara saja nanti sama abah mu, umi manut saja. Memangnya ndak bisa dibatalkan dulu?atau mungkin di ganti hari” umi memang punya sejuta alasan untuk menahanku agar tetap hadir dalam resepsi pernikahan kakak perempuan pertama ku. Bahkan kalau bisa seperti setahun yang lalu, ketika abangku menikah, abah meminta ku menjadi fotografer nya. Hitung-hitung menunjukkan kebolehan ku katanya, meskipun aku tetap mendapatkan imbalan yang setimpal atau bahkan bisa lebih banyak lagi. tidak ada alasan lain, kecuali karena memang abangku ingin memberikan kompensasi terbaik untuk adik semata wayangnya yang profesinya terlempar jauh dari dunia pendidikan seperti yang kedua orang tua kami inginkan. Dan alasan lainnya tentu saja karena aku berhak menerima imbalan wajar dengan hasil foto yang tak kalah jauh dengan hasil jepretan fotografer lainnya.

Aku sengaja mengabaikan sebentar ucapan umi dengan berjalan ke arah kulkas mengambil minuman, sambil berpikir mencari-cari alasan yang tepat. Telfon rumah tiba-tiba berdering, kudengar umi meneriaki ku dari dapur

“yu...angkat telfonnya nduk, umi repot”

“iya umi......ayu kedengaran kok”. Tanpa berpikir panjang kuangkat ringan gagang telfon rumah. “assalamualaikum....”. suara dari sebrang sana menghentakkan ku, aku bergeming tak menjawab meski berkali-kali suara di sebrang sana mengucapkan salam. Aku mengenal suara itu, suara yang bertahun-tahun kutunggu untuk sekedar menanyakan kabarnya, untuk sekedar basa basi ingin mendengarkan cerita cita-citanya yang dulu pernah ia sampaikan sebelum benar-benar meninggalkan kampung halaman kami. Tapi lima tahun belakangan tak kudengar lagi kabar darinya, bahkan nomer handphone nya pun tak kudapatkan. Mas wafa menghilang begitu saja, entah kenapa empat tahun berikutnya ia muncul dengan membawa kabar yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka. Ia melamar mbak widya, kakak ku.

“dari siapa nduk?” tanpa menjawab aku cepat-cepat memberikan nya pada umi, aku berusaha menata sebaik mungkin ekspresi yang ku punya agar tak kentara. Sebelum aku benar-benar beranjak dari ruang tamu,menuju kamar ku dilantai atas sambil menahan air mata yang sudah sejak tadi akan tumpah ruah.

“widya itu umi rasa sudah cukup pantas buat wafa, umi bangga dengannya bah. Makanya bah ayu itu suruh jadi guru saja”. Samar-samar ku ingat percakapan umi dan abah soreh itu di teras rumah. Abah diam saja tanpa banyak komentar. Sebenarnya itu adalah pendapat sepihak oleh umi, karena abah adalah laki-laki paling demokratis yang pernah kutemui di keluarga ini. Dan aku yang mendengarnya soreh itu seketika beranjak dengan akting berpura-pura tak mendengarkan.

“Tak harus berprofesi jadi guru kan anak abah?”, pertanyaan itu juga pernah sekali kutanyakan pada abah waktu memasuki tahun terakhirku di bangku SMA. jawaban abah membuatku lega untuk mulai mantap melangkah, tapi umi tentu saja tidak serta merta membela perkataan abah, bahkan semalaman penuh aku didiamkannya.

“asal tidak jadi artis sinetron ..abah mendukung-mendukung saja, pertanyaan abah Cuma satu, kenapa harus fotografi yu?“ gelak tawa ku mengiringi ucapan abah seketikatapi kemudian kupasang tampang serius untuk meyakinkan abah.

“memotret itu seperti melukis bah, bedanya melukis dengan tangan kalo memotret dengan lensa tapi sama-sama membingkai sebuah obyek dalam wadah yang berbeda. Berhubung ayu nggak bisa melukis jadi ayu memotret saja..soal bagus atau tidak itu tergantung kesempatan dan kejelihan, dan karena satu alasan lagi ayu mencintai hobby ini bah” ucapku mantap. Abah mengangguk yakin.

Tapi umi tetaplah umi, ketidaksetujuan ini tetap karena alasan akuadalah anak perempuan yang seharusnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjadi seorang pengajar seperti mbak widya, kakak perempuan ku. Karena basic keluarga kami hampir seluruhnya berprofesi pendidik. Abah tidak pernah mempersoalkan profesiku kelak, karena bagi abah apapun pekerjaanku suatu saat, pasti aku juga akan tetap menyandang gelar sebagai ibu rumah tangga, dan seorang wanita tidak akan lupa kewajiban utamanya meski sesibuk apapun dirinya.

Esok paginya ketika keluarga mas wafa datang ke rumah untuk mengantarkan beberapa keperluan resepsi, seluruh keluarga kami berkumpul diruang tamu. Hanya aku yang tidak ada di sana. Sebelumnya tidak ada kata pamit yang ku utarakan pada umi atau abah, karena memang sengaja hendak kutinggal begitu saja. Berkali-kali hp ku meraung-raung, akhirnya kumatikan juga.

Lima tahun belakangan ini aku masih sama seperti sebelumnya. Kendati berbagai kesibukan pindah dari satu kota ke kota lain sering kulakukan dan begitu banyak menyita tenaga dan pikiran, tapi nyatanya perasaan seperti yang pernah kurasakan pada mas wafa yang dulu belum bisa kembali. Hanya laki-laki ini yang bisa merangkai seluruh kisahku dengan baik, mendorongku untuk meraih apa yang kuinginkan tapi bukan karena paksaan terlebih karena kesenangan. Mas wafa lah yang mengajarkan ku bagaimana sebuah hobby bisa menjadi sebuah pekerjaan profesional. Sejak kepulangannya dari kampung kami kukira mas wafa akan meneruskan hoby nya menjadi seorang pelukis. Tetapi nyatanya bukan begitu jalan hidupnya, karena ia anak seorang kiyai besar di desanya. Belakangan aku baru mengetahui bahwa mas wafa adalah putra dari pengasuh pesantren di mana mbak widya belajar setelah hari khitbahnya. Dia bersama keluarga besar memboyong banyak orang untukdatang ke acara khitbah pagi itu.Aku berlari menyusuri sawah yang membentangkan jalan menuju bukit kenanganku. Kemudian tersungkur di atasnya tanpa tahu kapan tubuhku dipindahkan, namun ketika terbangun aku mendapati banyak orang mengitariku yang sedang terbaring.

Aku tak pernah mengatakan hal yang sebenarnya pada siapapun, termasuk mbak widya. Meskipun sejak kondisiku yang tidak sehat dirumah sakit itu membuat banyak orang bertanya-tanya tak terkecuali umi dan abah. Hanya paman yang tahu, namun aku jauh-jauh hari berpesan padanya agar tak sedikitpun menyinggung lagi masalah ini. Aku mulai belajar menerima kehadiran mas wafa di tengah-tengah keluarga kami. Beruntung mbak widya diboyongnya ke pesantren, hanya umi dan abah yang tersisa di rumah dengan putri sulungnya yang sibuk berkeliling kota bahkan ke luar negeri dan hanya setahun sekali berkesempatan pulang. Tapi bukan berarti mas wafa tak lagi ambil bagian dari kisahku, terakhir ia mengirimku paket dengan menyelipkan sepucuk surat didalamnya setelah sebulan aku tiba di ontario dengan kehidupan baruku, -suami serta buah hatiku- untuk melakukan jornaey photograpy sekaligus hadia pemenang pertama lomba nature photograpy. Sepanjang pagi aku menggamit surat itu kemana-mana, ekspresi sedih, haru, bahagia, dan bangga menyelinap di tiap pikiranku.

Untuk perempuan jenaka nan hebat di belahan dunia amerika,

Semoga semua harapan dan keinginanmu selalu didengar oleh yang kuasa. Kamu perempuan hebat yang pernah mas wafa temui yu. Hebat karena berani mewujudkan impian yang tak bisa dibeli semua orang. Dan berani memilih menentukan jalan berbeda di keluarga kita, dan yang terpenting kamu sudah berani mengambil keputusan hebat untuk kisah yang tak pernah terungkap hingga akhirnya kamu bisa merajut kembali dan mendapatkan yang lebih baik. Salam dari mas wafa untuk yang tak pernah lelah ada disampingmu, hamdan. Serta jagoan cilik mu, arizona.

Salam hangat dari keluarga di indonesia

Tertanda

Hasbi Wakafa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun