Mohon tunggu...
Eva Nujhi
Eva Nujhi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan

Eva is a Politics and Government student at Universitas Gadjah Mada (UGM) with a passion for leadership and community development. She actively participates in various organizations and projects aimed at promoting education and culture in Indonesia. Her determination and organizational skills have been recognized through multiple awards and leadership roles.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Pemerintah Terhadap Agama: Studi Kasus Perda Syariah di Aceh

4 Desember 2024   21:25 Diperbarui: 6 Desember 2024   11:05 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam buku An Introduction to Religion & Politics: Theory & Practice yang ditulis oleh Jonathan Fox (2018), bacaan ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang keterkaitan hubungan yang kompleks antara agama dengan politik, baik dari perspektif teori maupun praktiknya. Pada bab 10, buku ini menekankan pembahasan terkait kebijakan pemerintah terhadap agama, khususnya tentang bagaimana pemerintah mendukung agama dan menetapkan kebijakan resmi mengenai hubungan antara negara dan agama (Fox, 2018). Seperti yang dijelaskan Fox, bahwa semua pemerintahan tentu memiliki kebijakan yang kompleks tentang agama, yang mana pemerintah perlu memilih antara mendukung, mengatur, membatasi agama, atau bahkan netral terhadap agama. Fox menyoroti bahwa kebijakan pemerintah terkait agama tidak selamanya mendukung atau menekan, tetapi sebaliknya, banyak negara yang menggunakan pendekatan campuran. Meskipun hal ini menggambarkan realitas yang sangat kompleks, analisis Fox cenderung kurang memberikan penjelasan lebih mendalam terkait bagaimana pendekatan campuran ini dapat berdampak pada dinamika sosial di masyarakat.

Bab ini juga membahas tentang mayoritas negara di dunia yang mendukung satu atau bahkan beberapa agama dan hanya sebagian kecil yang netral. Namun, analisis fox kurang kritis dalam menghadapi permasalahan ini, misalnya peran pemerintah ketika agama minoritas termarginalkan dalam konteks tertentu. Selanjutnya, Jonathan Fox membagi kebijakan pemerintah terhadap agama ke dalam empat area utama, yakni official policy, supporting religion, regulating, restricting, or controlling all religion, dan restricting minority religion. Salah satu poin penting yang akan dibahas lebih lanjut adalah supporting religion, di mana negara secara aktif mendukung agama dengan menjadikan dogma agama atau ajaran agama sebagai aturan legislative/peraturan yang resmi, yang sering disebut dengan legislating religious precepts. Pada Bab 5 yang berjudul “Religious Legitimacy”, Fox menekankan bahwa aktor politik seringkali menggunakan legitimasi agama untuk mendukung keputusan publik (hukum dan politik), yang akan berdampak pada tata kelola negara dan dinamika sosial. Dapat dikatakan bahwa legitimasi religious memainkan peran sentral dalam legitimasi politik.

Dalam hal ini, penerapan Peraturan Daerah (Perda) syariah di Aceh menjadi contoh kasus yang relevan dengan konsep legislating religious precepts. Provinsi Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yakni keagamaan, peradatan, dan pendidikan. Lalu, terbentuklah UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mengatur tentang penyelenggaraan keistimewaan aceh. Munculnya UU ini sebagai bentuk untuk menyelesaikan konflik GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan TNI. Satu tahun setelah terbentuknya undang-undang, nyatanya konflik bersenjata tetap meningkat, sehingga pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh mungkin akan tertunda selama dua tahun setelah penerbitan UU. Namun, pada akhirnya konflik ini diselesaikan dengan perjanjian damai Helsinki pada 5 Agustus 2005 di Finlandia (Putri Fatmasari, 2016). Kemudian pemerintah Aceh menerbitkan Perda pertama di tahun 2000 yang berisi tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Adanya UU N0. 44 Tahun 1999 yang telah dibentuk, Perda ini dikeluarkan untuk merealisasikan kewenangan tersebut (Arfiansyah, 2015).

Kemudian lahir UU Nomor 18 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh yang juga mengatur tentang berbagai hal khusus Aceh, dari bidang pemerintahan, keuangan, hingga pembentukan suatu peradilan yang hanya ada di Nanggroe Aceh Darussalam, yakni “Peradilan Syariat Islam” yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah”(Drs H. Armia Ibrahim, n.d.). Singkatnya, Undang-undang sebelumnya diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dapat dikatakan, Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang diberikan hak khusus untuk menerapkan Syari’at Islam dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana mestinya, bahwa dalam mengamalkan ajaran islam di kehidupan sehari-hari, baik dalam bidang ibadah, aqidah, mu’amalah, munakahat, maupun jinayah dapat dijalankan sesuai Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama. Namun, untuk penerapan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia, ajaran Islam perlu diatur melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti halnya di Aceh melalui Qanun-qanun.

Dalam hal ini, Fox menjelaskan supporting religion sebagai kebijakan pemerintah yang secara aktif mendukung agama, salah satunya melalui legislating religious precepts. Legislasi ini melibatkan prinsip agama sebagai dasar hukum dalam peraturan undang-undangan. Seringkali, legitimasi politik dari pemerintah didukung oleh penerapan ajaran agama yang formal dalam undang-undang, terutama di daerah yang memiliki penduduk dengan mayoritas agama sama. Kebijakan ini sangat terlihat di negara-negara ataupun daerah dengan struktur sosial yang terhubung dengan agama dan ajaran agama tersebut menjadi landasan moral yang kuat bagi masyarakat. Namun, Fox juga memberikan pemahaman bahwa bentuk kebijakan ini dapat menimbulkan potensi resiko yang mungkin terjadi, terutama terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia, pembatasan kebebasan individu, dan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas.

Di Aceh, Perda Syariah merupakan bukti perwujudan dari supporting religion dalam bentuk legislasi agama dengan menjadikan ajaran islam sebagai dasar hukum yang berlaku secara formal di masyarakat. Ini sesuai dengan apa yang Fox sebut sebagai “prinsip agama yang di legislasikan”, di mana ajaran agama yang ada, dijadikan aturan untuk mengatur perilaku masyarakat baik secara pribadi maupun publik. Dalam hal ini, legitimasi politik di Aceh merupakan hasil dari penerapan syariah islam sebagai hukum yang melengkapi peraturan hukum dan diterima oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Perda Aceh sebagai contoh dari penerapan legislating religious precepts, yang mana Pemerintah Aceh menggunakan dogma-dogma ajaran agama islam sebagai hukum formal melalui sejumlah peraturan daerah yang ada.

Adanya peraturan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang penggunaan berpakaian yang diwajibkan bagi semua masyarakat muslim Aceh. Ketika terdapat seseorang yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi berupa sanksi ta’zir. Sanksi ini dapat berupa cambuk, denda, penjara, hingga perampasan barang-barang, dan sebagainya. Tidak hanya itu, terdapat peraturan tentang Jilbab dalam Pasal 13 Ayat 1 Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam, yang secara tidak langsung mewajibkan perempuan muslim mengenakan jilbab (Hilmi et al., 2018). Ini menjadi bentuk kontrol sosial melalui legislasi agama, di mana ajaran agama tentang cara berpakaian dijadikan aturan resmi. Penerapan hukuman cambuk untuk pelanggaran zina ataupun perjudian yang tertuang pada Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat juga menjadi bentuk religious control yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (Rosida & Hariri, 2023). Hingga hukum cambuk di Aceh tentang Larangan Minuman Khamar dan Sejenisnya pada Pasal 31-35 Qanun No. 12 Tahun 2003, mencerminkan legislasi berdasar agama dapat mengatur moralitas publik dengan memasukkan ajaran islam ke dalam peraturan hukum negara (HukumkuAdminMA, n.d.).

Selanjutnya, Fox menjelaskan bahwa supporting religion melalui legislasi agama ini dapat memperkuat identitas keagamaan di sebuah masyarakat. Hal ini terjadi karena mereka mencerminkan nilai-nilai agama mayoritas dalam kehidupannya. Sebagaimana mestinya, penerapan perda ini bertujuan untuk mempertahankan kebudayaan lokal di suatu wilayah, sama halnya dengan Aceh perda hukum syariah dianggap sebagai cara untuk memperkuat identitas Islam dan memulihkan otoritas moral masyarakat yang diatur oleh hukum agama. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa legislating religious precepts dapat menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas  atau orang-orang yang memiliki pandangan agama berbeda. Masyarakat aceh non-muslim bisa saja memiliki pandangan berbeda terhadap Islam, di mana mereka merasa terpinggirkan. Sebagaimana Fox menjelaskan bahwa penerapan hukum syariah dalam hal moralitas publik dapat mengakibatkan kontrol sosial yang ketat. Seperti halnya, berita yang sempat viral, yakni warga nonmuslim dari keluarga keturunan Tionghoa yang sedang bertamasya di Aceh ditegur untuk menggunakan penutup kepala oleh oknum petugas lembaga pengawasan pelaksanaan Syariat Islam.

Secara keseluruhan, buku Jonathan Fox memberikan pemahaman yang baik terkait hubungan antara agama dan politik, terutama tentang supporting religion melalui legislating religious precepst. Namun, beberapa pendekatan fox dalam konteks ini memiliki kelemahan, seperti kurangnya perhatian pada konflik intra-agama dan kurangnya eksplorasi mengenai dampak sosial dari kebijakan agama. Perlu adanya analisis lebih mendalam untuk menggambarkan kompleksitas hubungan agama dan politik dari berbagai konteks.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun