Pada tanggal 12 Juni 2010, ratusan petani tebu di Lumajang menggelar aksi demo menolak Surat Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan yang mengatur profit sharing gula petani. Pemaksaan juga dilakukan pihak Direksi PTPN XI melalui kemitraan dinilai merupakan intervensi terhadap hak-hak petani. Aksi demo ratusan petani asal Lumajang di lakukan di Pabrik Gula Pajarakan, Probolinggo. Mereka menuntut tidak ada lagi profit sharing yang selama ini dipaksakan oleh pihak Direksi dan investor selaku penjamin atas harga gula. Selama ini para petani tebu yang tergabung dalam APTRI merasa jadi sapi perahan.
Selain di Probolinggo, aksi demo petani tebu juga dilakukan di Jember pada tanggal 10 Juni 2010. Isu dan tuntutannya menolak keras pembagian keuntungan penjualan gula di PTPN XI. Petani memandang itu semua permainan dan konspirasi yang menguntungkan pedagang besar dan pengurus APTRI-PTPN XI. Menurut mereka PTPN XI adalah bagian oligarki pemburu keuntungan. Petani tebu dipaksa menandatangani kesepakatan dengan Pabrik GulaPTPN XI. Jika tidak menandatangani, tebu petani tidak akan di giling. Menurut mereka ini bagian dari permainan pedagang besar. Menurut mereka, Pemerintah sudah memutuskan dana talangan sebesar Rp. 5.350/Kg. Bila ternyata harga jual gula di pasaran di atas dana talangan, maka sesuai kesepakatan, selisih lebihnya dibagikan 80% untuk petani dan 20% untuk penyandang dana talangan (investor). Logikanya, seharusnya petani tebu tidak akan menolak konsep dana talangan ini karena sangat menguntungan petani tebu. Lalu mengapa petani tebu menolak profit sharing ini?
Pada tahun 2009, rata-rata harga lelang gula paling rendah Rp. 7.350. Berarti ada selisih keuntungan sebesar Rp. 2.000 (Rp. 7.350 – Rp. 5.350). Sementara itu tingkat produksi gula PTPN XI pada tahun 2009 sebesar 358.931.000 Kg/tahun. Jadi keuntungan yang diperoleh petani tebu dan investor sebesar Rp. 717.862.000.000. Dengan adanya aturan pembagian keuntungan 80% untuk petani dan 20% untuk investor maka, keuntungan yang diperoleh petani tebu dalam lingkungan produksi PTPN XI sebesar Rp. 574.289.600.000. Kalau jumlah petani sebanyak 5000 orang, maka setiap petani memperoleh keuntungan Rp. 114.857.920/tahun dan kalau misalnya jumlah petani 10.000 orang maka setiap petani memperoleh keuntungan sebesar Rp. 57.428.960/tahun.
Apakah mungkin petani tebu menolak keuntungan Rp. 57.428.960/tahun? Kalau petani menolakkeuntungan seperti ini, maka tidaklah mungkin. Kalau memang menolak, berarti ada yang tidak beres tata niaga gula yang ada di lingkungan PTPN XI. Dari pengamatan dan wawancara kami, para petani tidak pernah menerima keuntungan sebesar ini. Berarti ada yang tidak beres pula soal distribusi keuntungan yang menjadi hak petani tebu? Keuntungan petani tebu di lingkungan PTPN XI ada yang menggelapkan.
Oleh karena itu, Lembaga Swadaya Masyarakat Among Petani Tebu Indonesia (AMATI) pada tanggal 19 Januari 2010 melaporkan dugaan penggelapan uang keuntungan petani tebu ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dan pihak terlapor adalah PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia.Dan praktek-praktek penggelapan keuntungan petani tebu ini mulai terjadi sejak dikeluarkannnya SK Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 527 Tahun 2004 tentang Ketentuan impor gula. Dalam SK tersebut, importif terdaftar yang terdiri dari PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI dan PPI harus memberikan Dana Talangan ke petani untuk menjaga harga gula yang diterima petani.
Namun dalam perjalanannya, perusahaan tersebut menyatakan tidak cukup memiliki dana dan akhirnya menggandeng investor swasta. PTPN XI menggandeng investor yang umumnya berasal dri PEDAGANG GULA BESAR. Pertanyaannya, mengapa tidak menggandeng pihak perbankan? Padahal PTPN XI adalah perusahaan besar dan perbankan tidak mungkin menolak? Disamping bunga lebih ringan dan petani tidak harus membagi laba mereka. Selain itu, halini memininalisir ketergantungan petani ke investor swasta. Padahal, menggandeng Pedagang Gula Besar akan banyak memberikan peluang terjadinya monopoli pasar dan terbentuknya kartel-kartel perdagangan gula di Indonesia. Namun PTPN XI mempunyai pandangan lain, seperti yang diucapkan oleh Secretary Corporate PTPN XI, Adig Suwandi, "Tidak ada bank yang mau merugi dan mereka jelas tidak mau mengambil resiko ini. Mana ada bank yang mau membeli gula dengan resiko harga bisa jatuh sewaktu giling. Sementara investor mau," (www.kabarbisnis.com, 9/2/2010).
Lalu, mengapa PTPN X melakukan pembentukan Dana Talangan berupa kredit untuk sekitar 10.000 petani tebu di sekitar 11 pabrik gula milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X ? PTPN X mengucurkan kredit kepada 10.000 petani tebu di lingkungan PTPN X sebesar Rp. 347 miliar. Dana tersebut di himpun dari sebelas BUMN, yaitu PT Pertamina, PGN (Perusahaan Gas Negara), Aneka Tambang, BTN (Bank Tabungan Negara), Jasa Marga, Jasa Raharja, LPEI, PTBA (PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk), Pelindo II, Taspen, dan ASEI (Asuransi Ekspor Indonesia). Dana tersebut sudah terserap 40% hingga 2010.
Dengan demikian, ada dugaan berupa ketidakberesan tata niaga gula di lingkungan PTPN XI yang dikemas dalam program Dana Talangan. Mengapa? Karena PTPN XI menggandeng swasta/investor (merupakan modifikasi dari penerapan peraturan menteri perdagangan) terkait pengamanan Harga Dasar Gula (sekarang namanya Harga Pokok Penyanggaan) yang harus diamankan oleh pihak importir terdaftar. Bentuknya, investor memberikan uang muka gula kepada petani tebu setelah tebunya digiling di pabrik. Sebagian pendapatan petani dinikmati oleh investor (profit sharing) dana talangan karena dalam waktu 2 minggu saja sudah bisa menikmati hasil, sedangkan petani harus bekerja dan menunggu 14-16 bulan. Investor swasta Dana Talangan, pedagang pemenang lelang gula petani dan PTPN XI, importir Gula Impor ternyata semuanya satu bendera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H