Aku boneka sex, dan ketika mereka menemukanku, mereka memanggilku bidadari. Aku masih ingat dua wajah keriput yang terkejut melihat penampakanku. Si nenek segera berlari ke arahku yang berbaring di pinggir pantai, membuka selendangnya, menyuruh si kakek untuk membuka baju sekaligus celananya, dan si nenek segera memakaikan pakaian tersebut kepadaku. Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku tahu bagaimana rasanya menggunakan pakaian. Hangat, dan perasaan terlindungi yang aneh merasuk ke dalam diriku saat mengenakannya.
“Nek, kakek pergi ke desa dulu untuk memberitahu kepala desa. Nenek temani dia.” si kakek dengan hanya memakai celana dalam berlari kencang menuju ke arah selatan.
Si nenek mengangguk pelan, kemudian memalingkan wajahnya ke arahku.
“Duh gusti. Cantik sekali kamu nak. Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat perempuan secantik kamu. Kulitmu putih, lembut, dan halus. Wajahmu tidak seperti perempuan di kampungku, bahkan tidak juga seperti perempuan kota yang aku lihat di televisi. Bersinar, putih, dan lembut, layaknya rembulan yang aku yakin meneduhkan hati setiap orang yang memandangmu. Seakan kamu adalah bidadari yang secara tidak sengaja terjatuh dari surga yang melayang di langit. Jujur saja, meski tidak ada niat apapun di dalam hatiku, aku merasa iri padamu nak. Tapi, kenapa kamu tidak berpakaian. Apa yang terjadi padamu?. Apa ada orang bejat yang merenggut kesucianmu?.”
Tentu saja, aku tidak bisa menjawabnya walaupun aku ingin. Tapi, bukan berarti aku tidak tahu apa jawabannya. Untuk pertanyaan pertama, wajah dan kulitku seperti ini karena teknologi nek. Nenek tidak perlu tahu seperti apa teknologinya, karena akupun tidak begitu mengerti. Yang jelas, tujuan mereka menciptakanku adalah untuk memuaskan hasrat pria-pria kesepian yang tidak bisa membuat perempuan yang terbuat dari daging dan tulang itu jatuh cinta, dan berhubungan seks dengan mereka. Tentu mereka kadang-kadang menyewa pelacur. Tapi, bayaran pelacur itu tidak bisa untuk dipakai sepuasnya seumur hidup sepertiku. Jadi, demi hasrat yang tidak bisa mereka tahan, mereka membeli aku dengan harga yang amat mahal. Jarang sekali ada yang menganggap hargaku murah.
Karena kamu tahu nek, manusia-manusia berduit itu tidak akan pernah kesusahan menemukan pelampiasan yang bisa bergerak dan melakukan fantasi apapun yang mereka mau kapanpun. Hanya laki-laki miskin saja yang bersusah payah untuk mendapatkanku. Mereka bekerja keras, menabung, kemudian setelah bertahun-tahun berpuasa tiga kali seminggu, mereka berhasil membeliku. Menyedihkan memang, dengan kemauan seperti itu, seharusnya mereka bisa mendapatkan perempuan normal untuk mereka nikahi.
Tidak hanya untuk kebutuhan biologis, tapi juga bisa menepis kesepian yang seringkali mereka ratapi. Tapi, begitulah manusia nek, terkadang mereka benar-benar bodoh yang bahkan boneka seks sepertiku pun tahu hal itu. Hanya, orang-orang bodoh itu yang tidak sadar kebodohan mereka. Tentu saja, kalau mereka pintar, setidaknya mereka pasti sadar akan kebodohan mereka dan segera berubah.
Pemilikku adalah seorang pelaut yang bekerja di sebuah kapal pesiar. Dan, alasan aku berada di sini karena pemilikku ketahuan sedang memakaiku oleh rekan-rekan pelautnya. Karena malu, dia segera membuangku ke tengah laut yang dingin, gelap, dan tanpa pakaian satu helaipun. Tentu saja, mana mungkin aku berpakaian, karena yang diinginkan oleh laki-laki yang membeliku adalah ketelanjangan setiap waktu, siap sedia menemani malam-malamnya yang sunyi, dan tidak perlu dibatasi oleh masa menstruasi. Lagipula, aku memang siap menjadi teman seksnya 1 x 24 jam tanpa henti dan tanpa lelah. Yah, memang untuk inilah aku diwujudkan.
Begitulah jawabanku, tapi tentu saja, si nenek tidak bisa mengerti dan memahaminya. Dia terus saja bertanya, mengoceh, dan mengagumi kesucianku yang tidak suci ini sepanjang waktu. Berulangkali kata-kata kalau aku bidadari terucap di mulutnya. Aku tidak berharap dia berhenti, justru aku ingin dia terus melanjutkan pujian tersebut. Karena, aku merasakan kalau pujiannya tersebut adalah pujian yang tulus. Berbeda dengan pemilikku dulu yang memujiku dalam rangka menghidupkan imajinasinya yang menyedihkan itu. Di saat si nenek sibuk mengagumi keindahanku, serombongan orang-orang datang. Kebanyakan wajah mereka menunjukkan rasa penasaran yang amat sangat, dan aku tahu mengapa.
***
Suara bisik-bisik ramai mengiringiku yang dibawa dengan sebuah tandu yang ditandu oleh empat orang laki-laki bertulang baja. Suara bisik-bisik tersebut meski samar, terdengar cukup jelas di telingaku. Semuanya mengutarakan hal yang sama, bahwa aku adalah bidadari yang turun dari surga. Para wanita meski tidak jelas mengutarakannya, merasa iri dengan kecantikanku. Laki-lakinya, meski mereka berulangkali mengucapkan nama tuhan, memuji keindahanku, pasti bersusah payah menahan hasrat mereka yang terdalam.