[caption id="attachment_268235" align="alignnone" width="206" caption="Menunggu"][/caption] ASMIRAH hanya boleh menunggu. Ia menjadi manusia yang selalu menunggu. Bukan inginnya, tapi jalan hidupnya. Sejak kecil Asmirah sudah biasa menunggu.
Di usia lima tahun saat ia mulai mengenal caranya bermain, ia tak kuasa memilih apa yang hendak dimainkannya. Ia menunggu. Menunggu Ibu pulang membawa mainan. Ia dan Biyah–pembantu rumah tangga yang telah mengabdi sejak ia lahir akan menunggu di ruang tamu hingga lelap, minimal terkantuk-kantuk. Ibu pulang kerap tengah malam bahkan tak jarang ia pulang pagi. Bukan membawa mainan yang diimpinya. Ibu membawa lelah, membawa kantuk, membawa pekerjaan kantor, tak jarang, ia pun membawa laki-laki.
Di usia 15 Asmirah juga tetap menunggu. Pernah di suatu senja ia menunggu Ibu. Menunggu kabar Ibu. Hari itu Ibu mencarikan sekolah untuknya. Nilai rapornya selalu tak memuaskan, hasil Ujian Nasional pun bernasib sama. Ia tumbuh menjadi gadis rata-rata. Perilakunya rata-rata, seleranya rata-rata. Sayang nilai akademik harus dibawah rata-rata. Mau bagaimana lagi, tugas-tugas sekolah yang ia bawa ke rumah harus absen dari jangkauannya. Ia selalu menunggu Ibu mengajarkan caranya, sedang Ibu membiarkannya selalu menunggu. Asmirah hanya mendapat tunggu.
Di usia 18 Asmirah tetap menunggu. Menunggu hasil Ujian Nasional. Namanya tak tertera dalam lembar besar pengumuman di Sekolah. Kasak-kusuk seluruh murid membiang. Yang tak ada namanya telak tak lulus. Asmirah tetap menunggu, tiga hari tak ada kabar, pun dari Pak Pos. Wali Kelasnya bilang, bila tak ada nama di papan pengumuman, silahkan menunggu di rumah. Siswa/Siswi lulus akan diberikan lembar pemberitahuan yang diantar dengan jasa pos. kadang dalam pengumuman nama itu luput. Tapi jatah menunggu hanya tiga hari, Pak Pos juga tak hadir di halaman rumahnya. Ibu marah, di hari ketiga Wali Kelas memberitahu, Asmirah tak lulus. Ia harus ikut paket C yang segera dilaksanakan. Asmirah kembali menunggu.
***
Lewati usia remaja tak membuat Asmirah henti menunggu. Ibu bilang, anak perempuan harus pintar cari uang. Cari tempat tinggal. Harus mandiri. Jangan menggantungkan diri pada kepala orang. Hidup jangan ditunggu tapi dikejar, apalagi di kota Metropolitan seperti ini.
Asmirah bingung, ia menunggu petuah Ibu. Ia menunggu harapannya lahir. Ia menunggu cara nya hadir.
Diusia 20, Asmirah dikuliahi Ibu di Universitas “ternama”. Namanya populer, banyak perempuan cantik kuliah disana. Sayang itu bukan tempat belajar sebagaimana mestinya. Tak ada mahasiswi yang benar-benar memprioritaskan untuk belajar. Mereka menjaja. Menjaja tubuhnya. Tempat mereka belajar sangat bebas, bebas didatangi pria hidung belang. Bebas disambangi pria kaya yang haus akan hangatnya belaian. Tempat belajar tersebut tak ubahnya hanya tempat tunggu. Menunggu tamu yang datang. Menunggu untuk dipilih lalu dibawa ke ranjang.
***
Di bangku ini Asmirah biasa menunggu. Menunggu teman kencan. Bangku plastik berwarna oranye disudut kantin yang tak seberapa besar. Kata Ibu, ada baiknya ia menunggu disini. Saat makan siang atau sore tiba. Di penghujung minggu, ini menjadi kewajiban. Tamu akan datang lebih banyak.
“Kau tak perlu belajar dengan keras di kampus. Cukup poles wajahmu dengan make up agar terlihat menarik, uang akan datang padamu begitu saja,” ujar Ibu di hari pertama tahun ajaran.
Lakon hidup Asmirah tentu tak susah. Ia hanya perlu menunggu. Dapat teman kencan lalu dibawa jalan. Sampai kamar, ia pun hanya menunggu. Tunggu “Om” buka pintu. Tunggu dibawa ke ranjang. Tunggu dapat peran. Lalu tunggu bayaran.
***
Setahun di kampus, Asmirah sudah bisa sewa Apartment. Tak terlalu mewah, tapi rata-rata. Jerih payahnya habis dibagi-bagi pula untuk kebutuhan Ibu. Aneh memang. Kini Ibunya juga selalu menunggu. Menunggu ia datang. Menunggu ia membawa uang.
“Ibu tunggu jatah belanja dari kamu,” ujarnya.
Hasil tunggu Asmirah kini ditunggu pula oleh Ibunya. Di kampus, tahun ini ia hanya bisa menyelesaikan 17 sks, Ibu tak marah. Tak seperti ketika ia sekolah dulu. Ibu bukan menunggu hasil belajar. Ibu menunggu curahan rekening tabungan darinya. Ibu juga menunggu buah tangan. Tas-tas mahal, dan sepatu dengan harga menjulang.
“Jangan lupa tambahin koleksi Ibu,” itu pesan disetiap bulannya.
Asmirah selalu menunggu pesan Ibu.
***
Kini usia Asmirah 30. Asmirah tak punya jodoh. Jodohnya datang dan pergi. Bukan, bukan jodoh. Mereka hanya tamu Asmirah. Tamu Cuma-Cuma. Yang mengucap cinta tapi tak mau menikahinya. Dengan mengucap cinta, mereka tak perlu bayar tarif yang dipasang Asmirah.
Ibu marah, baginya ini bukan yang pertama. Penghasilan Asmirah berkurang hanya karena tamunya membayar hanya dengan mengucap cinta, bukan dengan digit-digit yang membuat bengkak rekeningnya.
“Kau bodoh kalau menunggu cinta,” hardik Ibu.
Asmirah menunggu. Menunggu amarah Ibu.
***
Kini Asmirah bosan, bosan menjaja tubuh. Ralat. Bukan bosan. Ia tengah berbadan dua. Tak ada yang meliriknya lagi. Ia pasrah. Pasrah menunggu.
Konon janinnya adalah janin akibat ketidakhati-hatian. Itu kata Ibu.
“Asmirah bodoh!,” umpat Ibu berkali-kali sepanjang tahun ini.
Asmirah tak menjaja lagi, bagus uang tabungan hasil tunggu masih cukup untuk biaya hidupnya. Sayangnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan Ibu. Ibu mudah marah karena koleksi tak bertambah, tabungan pun tak bertambah.
Setelah si janin lahir, Asmirah terpaksa keluar dari Apartment. Tabungan tak cukup untuk sewa, 80% sudah ludes disetorkan pada administrasi Rumah Sakit. Kini ia sewa rumah kontrakan biasa bersama Ibunya. Menunggu anaknya bisa ditinggal.
***
Di Rumah baru, Ibu mudah sakit kepala. Asmirah suka membangkang. Ia tak mau lagi menjaja. Ia hanya sibuk memberi susu pada bayinya. Hari-hari Asmirah dihabiskannya dikamar dengan memakai daster. Badannya bau susu. Ibu kesal, baginya tak akan ada laki-laki yang selera mencium aroma tubuh Asmirah. Bagi Asmirah kini urusannya bukan lagi menunggu tamu, tapi menunggu si bayi lapar lalu kasih susu.
Sakit kepala Ibu mulai mengkhawatirkan. Diusia ke 15 anak Asmirah, Ibu mengalami stroke. Tubuhnya lumpuh, tak hanya itu, pikirannya pun lumpuh. Asmirah bingung, ia bosan menunggu.
Ditahun-tahun berikutnya, koleksi Ibu ia rubah segera menjadi lembaran-lembaran uang. Untuk kebutuhannya, kebutuhan anaknya dan kebutuhan Ibu. Tapi segalanya tak pernah cukup, Asmirah bingung. Ia tak punya keahlian untuk mendatangkan uang. Keahliannya hanya menunggu.
***
Kini Asmirah kembali menunggu.
Disebuah café klasik ia duduk bersama seorang tamu. Tamu itu sudah ditunggunya sejak 30 menit yang lalu. Asmirah tau, orang yang berbincang dengannya kini adalah pejabat di negeri ini. Sebentar berbincang, sebuah amplop pindah tangan dari si Tamu ke genggaman Asmirah dan berlabuh dalam tasnya. Mereka lalu melaju menuju hotel bintang lima. Si tamu mengikuti langkah Asmirah. Dilantai tujuh mereka menuju sebuah kamar. Kamar dengan nomor 715 adalah tempat mereka berdiri saat ini. Asmirah yang memegang kunci. Asmirah membuka pintu. Si Tamu masuk. Disebuah ranjang besar, anaknya menunggu.
Oleh Sri Noviyanti
Gambar adalah buatan pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H