Dear diari,
Hari itu mama Sandra tiba-tiba menemuiku seusai jam sekolah, mukanya sembab seperti habis menangis. "Miss, saya sudah tidak kuat lagi. Semua aset saya sudah dialihkan papa Sandra ke perempuan itu." Matanya berkaca-kaca menahan sakit. Wajahnya semakin tirus dan tubuhnya semakin kurus menyimpan kepahitan. Kasihan sekali kehidupan seorang wanita yang terlalu melekat pada orang dan benda miliknya. Saat orang dan benda yang disayanginya itu tiba-tiba hilang, dia hanya bisa meratap menderita.
Trenyuh hatiku melihat penderitaan mama Sandra. Ingin merangkulnya dan ikut menangis merasakan sakitnya, tapi profesiku saat itu mengingatkanku untuk tidak terlibat hubungan emosional dengan orang tua murid. Sebagai guru, aku harus menjaga jarak dan membatasi diri untuk terlibat hanya sebatas itu menyangkut perkembangan murid. "Sabar ya bu." Hanya itu ucapan yang keluar dari bibirku sebagai bentuk simpati.
Mama Sandra dari awal memang sudah menceritakan masalah rumah tangganya padaku yang aku duga merupakan penyebab putrinya tumbuh menjadi anak pembangkang di rumah dan di sekolah. Suaminya yang pengusaha selingkuh dengan karyawannya yang usianya jauh lebih muda hingga mereka menikah dan memiliki anak. Aku pernah bertemu muka dengan wanita selingkuhannya itu saat dia menemani papa Sandra mengambil raport. Masih sangat muda. Tidak terlalu cantik tapi terlihat manja dan berusaha tampil menarik. Tipikal wanita penggoda.
Sembari mengambil raport, mereka berdua mengadukan kejelekan mama Sandra dalam mengasuh putrinya. Aku makin kasihan pada mama Sandra, miris menyaksikan sendiri di depan mataku ada wanita yang tega berbahagia di atas penderitaan wanita lain tanpa merasa bersalah sedikitpun. Meskipun demikian, sebagai sesama wanita, aku mencoba bersikap adil dan menempatkan diriku di posisi wanita itu. Mencoba memahami alasannya merebut suami orang.
- Alasan cinta. Cinta? Cinta seperti apa? Setahu saya cinta itu menginginkan orang lain bahagia, tidak menyakiti apalagi merusak. Sedang cinta yang menyakiti itu terbelenggu oleh ego dan nafsu, menginginkan orang lain untuk membuatnya bahagia. Dalam ego dan nafsu yang ada hanya ada kepalsuan, tidak ada cinta dan kebahagiaan sejati.
- Alasan materi. Materi? Wanita yang punya harga diri tidak menggantungkan hidupnya dengan meminta materi dari suami orang. Kalaupun memang materi dianggap bisa memberinya kebahagiaan, mengapa tidak mencari itu dari pria lajang yang mapan? Mengapa harus merebut matahari milik wanita lain?
Sayang untuk kasus satu ini empatiku gagal. Tidak ada satupun alasan yang bisa membenarkan perbuatan wanita itu. Wanita yang tega merebut suami orang adalah wanita yang tidak bisa mengontrol ego dan nafsu keinginannya untuk menang merebut milik wanita lain, persis seperti anak kecil yang kegirangan merebut mainan temannya meskipun sebenarnya dia tidak benar-benar suka atau butuh mainan itu.
Hati manusia itu memang rumit apalagi hati wanita. Dan hati yang terbelenggu oleh ego dan nafsu itu terkadang lebih menakutkan dari setan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI