Sudah bukan hal asing mendengar istilah "wartawan amplop" di kalangan pewarta, baik yang bernaung di media cetak, elektronik, maupun online. Para penerima 'uang saku' Â seolah-olah menganggap ini adalah hal yang wajar di kalangan wartawan, bila instansi tempat dia menggali berita itu memberi 'tanda terima kasih' kepada mereka yang meliput sebuah peristiwa di instansi tersebut.
Wartawan idealis itu saat ini bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Lha, media sekarang ini juga rata-rata dimiliki oleh sebuah grup yang di kepalai oleh seorang politisi partai. Pastilah, sang pemilik memiliki agenda setting sendiri dalam mengatur reporter atau wartawannya dalam meliput kampanye partai yang dimiliki oleh Si Bos. Objektivitas para jurnalis pun menjadi kabur. Mereka seperti sudah di arahkan untuk berbuat sesuai kepentingan si pemilik.
Lalu, dimanakah media yang netral itu? Saya rasa hampir semua itu punya kepentingan masing-masing. Tetapi, terlepas dari semua itu  pewarta idealis saya yakin mereka ada. Mereka pasti diarahkan terlebih dahulu dan mendapat tugas dari sang redaktur atau manajer desk dalam mencari berita atau melakukan wawancara. Namun, yang membedakan adalah KOMITMEN dan INTEGRITAS nya dalam hal menolak pemberian 'uang saku' dari sang narasumber.
Mengapa ini penting? Saya mendapat begitu banyak cerita dan pengalaman dari dosen saya, saat mereka masih bertugas di ranah peliputan berita. Realita orang awam adalah, wartawan seperti hanya menjalankan tugasnya. Meliput, melaporkan lewat tulisan atau siaran, kembali ke kantor, pulang. Â Tetapi, fakta yang sebenarnya itu jauh lebih keras dari yang kita bayangkan. Beberapa dosen saya memberi banyak gambaran bahwa diluar sana, sering kali instansi dimana wartawan ditempatkan, itu memberikan 'hadiah terselubung'. Bisa berupa goodie bag yang ternyata ada amplopnya, mengisi daftar hadir wartawan yang berujung pada pemberian amplop, dan berbagai macam cara jitu lainnya agar hadiah dari instansi bisa sampai ke tangan wartawan. Seringkali, mereka tidak bisa mengelak pemberian itu, dan terjebak oleh nominal dibalik kertas putih panjang yang diterimanya. Nah, disinilah KOMITMEN dan INTEGRITAS wartawan itu...diuji.
Mungkin kita merasa, pemberian itu hal yang lumrah. NO!
Saat wartawan menerima amplop dari instansi (bisa instansi swasta dan pemerintah), maka wartawan itu diharapkan oleh instansi untuk membuat berita yang 'baik' tentang peristiwa yang terjadi. Para pewarta mungkin sudah memilih angle berita yang akan di angkat, tetapi.. karena rasa sungkan atas 'bingkisan' yang diterima nya, maka pewarta terpaksa atau bahkan ikhlas untuk memoles dan mempercantik fakta dari apa yang diliputnya.
Diantara ratusan bahkan ribuan pekerja media massa di Indonesia, saya yakin masih ada yang memiliki jiwa idealisme dalam mengabarkan fakta. Bagi kalian para pewarta yang mempertahankan idealismenya dalam menolak pemberian apapun dari narasumber, berbanggalah. Pewarta yang demikian pantas disebut sebagai pahlawan karena berani membela kebenaran fakta. Jangan takut terhadap sumber penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan. Akan ada jalan Tuhan sendiri yang mengatur, apalagi jika kita berlaku jujur
Saya bersyukur, bahwa dosen-dosen saya memilih untuk mempertahankan idealisme, komitmen dan integritasnya dalam membuat karya jurnalistik hingga saat ini. Semangat itu mereka tularkan kepada kami, calon-calon pewarta yang masih menggali pengetahuan & pengalaman, agar menjadi pewarta yang berkualitas dan menolak keras pemberian 'amplop' demi menjaga objektivitas karya kami.
oleh: EIS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H