Siang berselimut mendung. Hawa dingin berpadu dengan keringat. Badan tetap hangat, meski udara seperti es yang membungkus raga. Jalanan mendaki dan menurun. Jalur berupa semen yang diselingi tangga berundak. Itulah jalan ke pancuran 3, yang merupakan bagian dari lokawisata Baturaden, Purwokerto.
Menelusuri sekelumit bagian Gunung Slamet membuat saya kian mengagumi gunung terbesar di Jawa ini. Kali ini, hasrat terbesar adalah menikmati liku perjalanan menuju dua pancuran air panas yang terletak di wilayah Baturraden, yaitu pancuran 3 dan pancuran 7. Kedua lokasi itu dihubungkan oleh jalanan hutan yang banyak ditumbuhi pohon damar (Agathis damara), pinus (Pinus mercusii), pakis (Nephrolepis) mengisi strata tengah dari tajuk hutan.
Sepi, saya berjalan ditemani nyanyian serangga. Namun keheningan alam justru mampu menghantar jiwa pada kesejukan nan murni. Lepas dari bising, mengasah kembali kepekaan indera pada bisikan semesta. Berharap mampu temukan rahasia yang tersembunyi di relung kalbu. Agar keutuhan diri yang baru pun teraih, raga bugar, rasa pun segar.
[caption id="attachment_118747" align="alignnone" width="492" caption="Pancuran 3 difoto dari jalan menuju pancuran 7"][/caption]
Pancuran tiga berupa kolam berisi air berwarna kekuningan. Ada tiga pancuran yang mengisi kolam tersebut. Itu sebabnya lokasi ini disebut Pancuran tiga. Warna kuning itu disebabkan oleh adanya kandungan belerang. Airnya hangat. Mandi atau berendam dalam kolam itu membuat badan segar. Bahkan, banyak orang yang meyakini bahwa khasiat belerang dalam air itu bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit.
Pakde saya yang menderita penyakit gatal merupakan salah satu orang yang berhasil membuktikan khasiat air tersebut. Dari tempat tinggalnya di Jakarta, ia sengaja minta diantar untuk berendam di kolam pancuran tiga. Ia juga mencoba jasa pijat belerang yang banyak tersedia di lokasi tersebut. Konon, pijat dengan lulur belerang berkhasiat untuk menghaluskan kulit. Jika mau pijat refleksi kaki selama kira-kira 20 menit, bayarannya Rp. 20.000. Selain itu, ada juga yang menawarkan pijat lulur seluruh badan (punggung, kaki, tangan) selama 30 menit dengan harga Rp. 25.000.
Saya tak ingin pijat, hanyamerendam kaki di kolam dan membasuh wajah di tiga pancuran. Jika hanya ingin membasuh wajah tanpa menceburkan diri ke kolam, ada pancuran tersendiri di bawah kolam mata air. Suhunya hangat, tapi jika ingin berendam, cukup 15 menit. Usai membasahi wajah, saya melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak hutan menuju pancuran tujuh.
Sunyi, tak ada manusia lain yang melewati jalan ini. Seorang diri menelusuri hutan, seperti menapaki moment retret diri. Sejenak mundur dari rutinitas keseharian, meski waktu terus melaju. Hanya berbincang dengan diri, menemukan jejak-jejak yang sempat terekam namun tak sempat dinikmati keindahannya. Kini ketika lembaran itu kembali dibuka di tengah keheningan semesta, saya temukan betapa telah terukir indah lukisan Sang Penyelenggara Hidup.
Saya teringat, sekitar 8 tahun lalu saya pernah menelusuri jalan ini, dengan arah yang berbeda. Waktu itu berjalan dari pancuran 7 ke pancuran 3. Usai camping, jalanan ini saya nikmati bersama teman-teman. Kala itu masih mahasiswa. Belum banyak kepenatan yang terasa. Dunia terasa penuh harapan. Cita begitu indah terajut dalam rangkaian kebersamaan nan hangat. Waktu itu, saya begitu lincah menapaki tangga, beriring canda yang membuat kalbu begitu ceria. Sendiri ataupun bersama, semuanya dapat dinikmati dengan kegembiraan. Asalkan punya prinsip hidup mesti dijalani dengan setia dan gembira.
Di tengah perjalanan ada warung kecil. Seorang bapak tua menjajakan minuman dan makanan kecil. Cukup beberapa menit melepas lelah. Duduk sambil menatap jalanan di depan yang berupa ratusan anak tangga yang meliuk. Perjalanan tak boleh berhenti di situ, karena tujuan akhir belum dicapai.
[caption id="attachment_118748" align="alignnone" width="492" caption="Warung kecil ini bisa jadi tempat beristirahat sejenak, siap naik tangga yang meliuk itu"]
Akhirnya, gerbang pancuran 7 tampak. Tapi itu bukan perhentian terakhir. Masih ada jalan setapak yang menurun sejauh 300 m. Mendung kian menggayut. Saya mempercepat langkah. Tak mau hujan menerpa sebelum saya mencapai tujuan. Setengah berlari menelusuri jalan itu, hingga akhirnya tampak tujuh pancuran.
Terletak di bawah rerimbunan pohon, air yang mengucur meninggalkan jejak kekuningan. Suhunya lebih panas daripada pancuran tiga. Suasana juga lebih sepi. Lokasinya lebih tinggi. Banyak orang lebih suka mencapai tempat ini dengan naik kendaraan bermotor melalui lokasi Bumi Perkemahan. Hanya sedikit orang yang mau treking melewati jalan hutan seperti saya.
[caption id="attachment_118750" align="alignnone" width="492" caption="Tujuh pancuran yang seolah tersembunyi ternaungi dedaunan"]
Sayang, hujan tumpah saat saya mencapai gerbang tiket. Bapak penjaga gerbang mengijinkan saya berteduh di pos dekat gerbang tersebut. Sembari menunggu hujan reda, kami berbincang. Saya bertanya tentang goa sarabadak yang pernah jadi tempat mandi saya waktu camping dulu. Dia berkata bahwa gua tersebut sudah ditutup. Hanya seorang juru kunci yang mengijinkan orang untuk masuk ke situ. Pasalnya, lokasi itu sudah sering longsor.
Saat hujan berganti gerimis, saya ditawari untuk membonceng seorang pemuda pencari rumput yang hendak pulang ke rumah. Lokasi rumahnya dekat gerbang lokawisata. Itu berarti saya tak perlu kembali menelusuri jalan hutan. Cukup ngojek dengan pemuda tersebut supaya bisa sampai gerbang lokawisata, tempat motor saya diparkir.
Saya pun pulang membawa segenggam rindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H