Mohon tunggu...
Eulalia Adventi
Eulalia Adventi Mohon Tunggu... -

Saya dari Purwokerto, tapi berhubung kata "Purwokerto" belum ada dalam daftar kota, maka saya tulis asal kota dari Tegal, yang paling dekat dengan Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Puisi

CINCIN KAWIN

8 Juli 2011   09:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="300" caption="Foto cincin dari Geo Sintang"][/caption]

Mulut Marni komat kamit. Jemarinya menelusuri butiran Rosario. Untaian doa Salam Maria didaraskannya dengan mata terpejam. Jemari tangan kirinya menggenggam telapak tangan putrinya. Ia berharap ada mujizat. Badan anaknya panas sekali. Hanya sesekali Marni membuka mata. Bila terdengar erangan atau suara putrinya mengigau, ia baru melihat wajah kuyu putri kecilnya. Ia tak tega menatap wajah yang kesakitan itu. Tampaknya badan Lintang, putrinya itu, berusaha keras melawan panas yang hinggap di sekujur tubuh.

Sayup-sayup terdengar pintu diketuk. Lalu ada percakapan antara suaminya dengan seorang laki-laki. Marni mencoba berkonsentrasi saat mulai mendaraskan Salam Maria pada peristiwa sedih yang ke empat. Yesus memanggul salibnya menuju Golgota. “Seperti apa ketegaran Maria menemani jalan salib puteranya ?” gumam Marni. Ia makin erat menggenggam tangan putrinya.

Seharusnya Marni membawa anak itu ke dokter. Tapi tak ada uang sepeser pun yang dimilikinya. Suaminya di-PHK sejak enam bulan lalu. Belum ada pekerjaan pengganti untuk menghidupi mereka sekeluarga. Uang pesangon sudah ludes. Kalung, anting, dan gelang emas juga sudah dijual untuk biaya hidup sehari-hari. Mau cari hutang ke mana ia juga tak tahu. Ke koperasi wanita katolik, kas simpan pinjam RT, dan lingkungan, semuanya masih ada tanggungan hutang yang belum lunas.

“Ibu…” suara lirih putrinya menyadarkan lamunannya.

“Iya sayang ?” katanya lembut, sambil mengusap pipi putrinya. Di kening gadis kecil itu ada handuk kecil yang basah, untuk kompres. Sayangnya, suhu badan si kecil tak jua turun.

“Haus…” kata Lintang lirih.

“Tunggu sebentar ya, Ibu ambilkan minum,” Marni beranjak menuju dapur.

Marni kembali membawa segelas air putih. Lalu ia membantu Lintang meminumnya. Tak lama kemudian, Lintang kembali memejamkan mata. Marni mengambil handuk kecil dari kening Lintang, memasukkannya kembali ke air di baskom, memerasnya, lalu meletakkan kembali di kening si kecil. Ia kembali menelusuri butiran Rosario itu hingga selesai.

“Bu…”terdengar suara Aira, putri ke duanya.

Marni menengok ke ranjang sebelah tempat Aira terbaring. “Ada apa Nak ?” tanya Marni lembut.

“Bapak dimana ?” tanya Aira.

Seperti mendengar pertanyaan putrinya, Joko, suami Marni masuk ke kamar.

“Bapak di sini, ada apa Nak ?” tanya Joko menatap Aira. Putri ke duanya ini memang lebih lekat padanya.

“Pengen digendong bapak,” kata si kecil manja. Joko segera mengangkat badan Aira dan menggendongnya.

“Aira bobo ya. Nanti bapak sama ibu mau bawa Mbak Lintang ke klinik,” kata Joko.

“Mbak Lintang sakit apa pak ?” tanya Aira.

“Belum tahu, nanti bapak mau tanya sama bu dokternya,” ujar Joko tersenyum.

Aira diam saja. Kepalanya bersandar di bahu sang ayah.

“Bu, kita harus membawa Lintang ke rumah sakit malam ini. Tidak boleh terlambat,” kata Joko serius. Sambil menggendong Aira, ia duduk di samping istrinya. Tegang dan lelah, gambaran itu yang terpancar dari wajah Marni.

Marni bimbang. “Bagaimana membayar dokter ?” tanya Marni. Joko terdiam.

Suara jengkerik menemani kebisuan mereka. Tangan Joko menepuk-nepuk punggung Aira dengan lembut, hingga gadis kecil itu kembali terlelap. Marni kembali mengganti kompres di dahi Lintang. Ada gambar Maria di dinding kamar itu. Perempuan dalam balutan kain biru dan putih. Seorang anak dalam gendongannya. Di sebelahnya ada laki-laki berjubah merah, berdiri sambil membawa tongkat. Marni melirik sekilas gambar itu, lalu kembali menekuri wajah Lintang. Ia menghela napas. Joko kembali membaringkan Aira di ranjang setelah memastikan gadis kecil itu sudah terlelap. Ia kembali duduk di samping Marni, di tepi ranjang.

“Bu, kita masih punya ini,” kata Joko sambil mengacungkan jari manisnya. Sebuah cincin melingkar di jari itu. Marni terkesiap. Joko melepaskan cincin itu dari jari manisnya. Ia meraih tangan Marni dan meletakkan cincin itu di genggaman Marni. Marni memandangi cincin itu, juga cincin yang masih melekat di jari manisnya. Matanya berkaca.

“Pak, hari ini, sepuluh tahun lalu cincin ini diberkati,” kata Marni lirih, menahan isak. Ia menelan ludah dan menghela napas. Inikah mujizat yang tadi dimintanya dalam doa Rosario ?

“Bu, cincin ini hanya simbol. Tak ada cincin tak akan melunturkan ikatan cinta kita,” Joko berusaha meyakinkan Marni. Andai saja tak ada PHK. Sebenarnya, ia juga merasa berat melepas benda pengikat perkawinan itu. Ah, tapi bukankah pengikat perkawinan adalah sakramen. Ia menatap wajah istrinya, mata yang memancarkan ketegaran itulah yang pernah memikat hatinya. Joko menatap Marni yang menunduk, perlahan melepas cincin dari jari manisnya.

“Besok mau dijual ?” tanya Marni.

“Sebaiknya simpan dulu. Yang penting sekarang kita ke klinik ya,” ajak Joko.

“Bapak titipin Aira dulu ke mas Hardo, aku siap-siap,” kata Marni bergegas.

Joko kembali mengangkat tubuh Aira lalu membawanya ke rumah kakak iparnya. Lalu, mereka bergegas membawa Lintang ke klinik. Demam berdarah, begitu diagnose dokter yang memeriksa Lintang. Dokter meminta Lintang menjalani rawat inap sambil menunggu hasil tes darah.

*********

Penampilan Joko dan Marni hari itu tampak berbeda. Marni mengenakan kebaya berwarna kuning dan kain batik cokelat. Rambutnya disanggul rapi. Joko mengenakan jas dan celana panjang hitam. Jas itulah yang dulu dikenakannya saat menikahi Marni. Badan Joko memang tak banyak berubah, sehingga jas itu masih pantas melekat di tubuhnya. Hanya keriput di dahi dan pipi. Kerasnya jalan hidup yang dilalui terpahat dari kerut dan legam wajahnya. Marni pun demikian. Kosmetik yang dioleskan di wajah tak mampu menyembunyikan wajah keriputnya.

Namun, rona kegembiraan menyamarkan kerutan itu. Sesungging senyum mempercantik paras Marni. Binar mata dan keriput di wajah Joko merupakan paduan sempurna yang memancarkan kebijaksanaan hidup yang tersimpan dalam batin. Hari ini, mereka menghantar putri tercinta mereka ke pelaminan.

“Veronika Lintang Putri, kenakanlah cincin ini pada jari suamimu sebagai lambang cinta dan kesetiaan,” perkataan Pastor itu terdengar merdu.

Marni tersenyum, teringat kenangan serupa saat ia bersanding di depan altar, 30 tahun lalu. Ia mengelus-elus jari manisnya sendiri. Halus. Tak ada cincin melekat. Joko melirik, mengulurkan tangan, lalu menggenggam tangan Marni. Marni menoleh. “Gadis kecil kita sudah besar, Pak,” desis Marni. Joko mengangguk, tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun