Lembaga Pendidikan anak usia dini dipandang sangat penting sebagai fondasi. Pada kenyataannya pada sektor Pendidikan anak usia dini masih banyak yang kurang memperhatikan secara serius dalam pengembangannya termasuk dalam bidang tenaga pendidik dan kependidikan. Apabila kita lihat keberhasilan Pendidikan anak usia dini diperlukan sosok laki-laki baik sebagai pemimpin maupun sebagai pengasuh dan pendidik. Akan tetapi kenyataannya dalam pengasuhan di bebankan pada satu gender yaitu Perempuan. Wacana gender tradisional menganggap semua pengasuhan adalah suatu kewajiban bagi Perempuan seperti yang dikatakan Direktor Seameo Ceccep Prof. Vina Adriany, M.Ed., PhD. Keadaaan yang problematik karena dapat mengikat dalam kesejahteraan seorang pendidik PAUD yang dianggap hanya sebatas kewajiban bahkan anggapan untuk mendapatkan balasan di akhirat. Anggapan sementara Perempuan yang di anggap sebagai pengasuh dan pendidik tidak akan meminta tuntutan lebih dengan kata lain Ikhlas. Keadaan tersebut salah satu alasan yang membuat tidak menarik perhatian laki-laki untuk memilih menjadi pendidik PAUD.
Pusat Data statistik Pendidikan dan kebudayaan tahun 2017 menunjukkan perbandingan yang cukup mencolok antara pengajar PAUD laki-laki dan Perempuan, yaitu 1:30 (Mukhlis Ahmad: 2019). Artinya hanya satu orang Guru PAUD laki-laki diantara 30 Guru PAUD Perempuan, sedangkan seorang anak sangat butuh model dan peran laki-laki dalam perkembangannya agar tidak terjadi fatherless. Figur seorang Guru PAUD laki-laki untuk anak usia dini dalam memberikan nasehat lebih tegas dan cenderung ke arah tindakan. Maka dibutuhkan persfektif baru untuk banyak melibatkan laki-laki dalam Pendidikan anak usia dini. Guru PAUD laki-laki dibutuhkan tidak hanya sebagai model akan tetapi memberikan identitas diri bagi anak dimasa depan.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat diperlukan dan pengaruhnya sangat besar bagi tumbuh kembang seorang anak. Lembaga PAUD yang berkualitas akan menghasilkan produktivitas seorang anak di masa yang akan datang termasuk mengurangi tingkat kemiskinan. Maka dari itu pemerintah harus lebih memikirkan bagaimana bisa mereduksi anggapan PAUD Pendidikan baik non formal atau formal hanya sebatas mengajarkan bernyanyi, mewarnai, dan menebalkan huruf. Penyelenggaraan PAUD bisa terwujud apabila ada kerjasama antara berbagai pihak diantaranya keluarga, sekolah termasuk didalamnya Guru PAUD laki-laki dan Perempuan, masyarakat serta stakeholder. Langkah pertama di mulai dari menanamkan paradigma pemikiran bahwa PAUD adalah fondasi Pendidikan suatu negara yang harus melibatkan semua unsur tanpa menyudutkan salah satu gender. Kesejahteraan untuk pendidik dan tenaga kependidikan harus diperhatikan yang nantinya akan berimbas pada penyelenggaraan PAUD yang berkualitas. Apabila PAUD sudah dijadikan hal yang vital akan berdampak pula pada penjaminan mutu suatu Lembaga.
Isu tentang feminisasi pendidik PAUD akan terus berkembang apabila tidak ada perhatian khusus dari pemerintah. Usulan terhadap jenjang karir yang jelas bagi pendidik PAUD adalah salah satu faktor yang menjadi ketertarikan gender laki-laki, karena salah satu kewajiban seorang ayah atau laki-laki yaitu mencari nafkah. Di beberapa sekolah tinggi dengan program studi Pendidikan anak usia dini baik sarjana atau pascasarjana sangat sepi peminat untuk gender laki-laki. Sumber data dari Pauddikdasmen PAUD TK Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari jumlah Guru Laki-laki 13 orang dan Guru PAUD Perempuan 944 orang. Melalui tulisan ini penulis berharap tentang menciptakan PAUD berkualitas bisa dengan memberikan kesempatan yang sama dengan jenjang lain diatasnya untuk mendapat status ASN tanpa memandang lembaga negeri dan swasta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H