Bel tanda mulai jam pelajaran pertama hampir 10 menit telah berlalu. Namun para siswa masih nampak beredar di luar kelas pertanda belum ada sosok guru di dalamnya. Hanya beberapa guru yang sudah berada di kelas termasuk guru muda yang pendiam dan berpenampilan sederhana itu. Sebelum Ia beranjak dari tempat duduknya tadi, sekilas sempat tersenyum dan mengangguk hormat padaku.
Hampir semua guru memuji Aceng, nama kecil guru muda itu, yang 16 tahun lalu kami didik di sekolah ini. Setiap hari Ia masuk kelas tepat waktu, tidak seperti kami guru-guru senior yang lebih sering telat masuk kelas (meskipun beberapa menit) karena keasyikan mengobrol atau mengerjakan pekerjaan lain terlebih dahulu.
Semasa sekolah dulu Aceng memang menjadi siswa kesayangan kami, terutama aku sebagai guru matematikanya. Ia sering memenangkan lomba olimpiade matematika bahkan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun bak cerita klise, kendala ekonomi keluarga hampir saja mengubur cita-cita dan bakat emasnya.
Masa-masa tersulit pernah dialaminya saat kuliah di UPI diantaranya tatkala harus tidur di mesjid atau numpang tidur di tempat kos teman-teman kuliahnya karena ketiadaan biaya untuk membayar uang kost. Saat itu hampir saja Aceng putus kuliah jika saja tak mendapatkan beasiswa.
Rupanya jalan hidup Aceng memang harus dipenuhi dengan perjuangan. Pengalamannya berlanjut dengan perjuangan mengajar di salah satu daerah terpencil di Aceh. Sebagai peserta SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), Aceng harus mengalami perjalanan berjam-jam menentang bahaya di sungai demi untuk sampai di sekolah tempatnya mengabdi. Aceng beruntung dapat selamat kembali ke tanah kelahiran, tak seperti rekannya yang hanya pulang nama karena tertelan ganasnya arus sungai di Aceh.
Pengalaman-pengalaman tersebut rupanya telah menempa diri Aceng. Meskipun pendiam dan pemalu, Ia berhasil membuktikan bahwa semangat baja, usaha, dan doa telah mampu mengatasi rintangan yang menghadang di sepanjang perjalanan menggapai cita-cita. Kini Aceng menjadi junior kami di sekolah. Namun daya juangnya patut kami contoh. Loyalitasnya pada profesi sebagai guru sangat layak untuk kami teladani. Semoga Aceng tetap seperti itu sampai nanti, sampai Ia berhasil menjadi PNS, sampai Ia mulai merasakan segarnya dana sertifikasi.
Bel tanda pelajaran terakhir usai hampir 10 menit berlalu. Ruang guru kembali gaduh oleh celoteh para penghuninya. Beberapa diantaranya telah meluncur di atas kendaraan, bergegas pulang ke rumahnya masing-masing. Namun Aceng masih berjalan di koridor, baru saja keluar dari kelas yang Ia ampu. Aku sendiri masih membereskan tugas-tugas siswa yang belum sempat diperiksa.
“Baru selesai Ceng?”
“Iya Bu, kasihan anak-anak kelas IX tadi masih ada yang belum paham dengan materinya.”
“Ibu salut sama Aceng, luar biasa semangatnya. Tak seperti kami yang selalu lebih dulu keluar kelas daripada Aceng.”
“Aceng kan mencontoh Ibu, dulu juga Ibu begitu.”