Kabut di Desa Wekas, Kabupaten Magelang menegaskan dinginnya. Di desa itu pula bayangan akan kehangatan pasangan suami istri Mbah Cipto menyambut para pendaki Gunung Merbabu.
Mbah Cip sudah meninggal dunia, itu yang terakhir saya dengar dari seorang teman. Rumah sederhana tempat bernaung calon pendaki Gunung Merbabu itu kini dihuni putri Mbah Cip, yang juga sudah mulai menua. Memang tidak ada lagi senyum sambutan Mbah Cip kepada siapapun yang mengucap “Permisi” atau “Kula nuwun” di depan pintu rumah beliau. Namun, suara Mbah Cip putri tetap terngiang lembut setiap kali teringat jalur pendakian Merbabu.
“Nanti lapor ke sini ya kalau sudah turun,” begitu pesan Mbah Cip putri kepada kami, ketika siap mendaki gunung Merbabu. Mbah Cip, demikian para pendaki menyebut seorang perempuan dan lelaki berusia di atas 50 tahun. Mbah Cip lelaki biasa dipanggil Mbah Cip kakung, yang perempuan kami sebut Mbah Cip putri. Keduanya tinggal di sebuah hunian sederhana di Desa Wekas, rumah terakhir sebelum jalan berbelok menuju Pos I Merbabu.
Malam pada pertengahan Juni 2005, saya dan tujuh orang teman menurunkan semua beban kami di samping dapur Mbah Cip. Tidak banyak yang berubah dari rumah pasangan itu. Puluhan foto masih menempel pada dinding beranyamkan bambu. Jumlahnya bahkan bertambah. Dari foto-foto itu tampak senyum para pendaki. Beberapa di antaranya berdiri di puncak Gunung Merbabu. Yang lain tampak bahagia di antara pohon edelweiss.
Sebuah dipan selama bertahun-tahun bertahan sebagai tempat bercengkerama para pendaki. Di situ pula kami duduk-duduk dan sesekali merebahkan diri. Saya melihat Mbah Cip putri sibuk di dapur. Sementara beberapa teman bermain catur sambil tertawa-tawa. Ada pula satu pasangan yang sedang menikmati makan malam.
Saya dekati Mbah Cip putri yang sedang menyusun kayu bakar di bawah luweng*. Beliau sedang memasak sambal goreng kentang untuk kami. Dalam percakapan yang tidak terlalu panjang itu, ada pertanyaan-pertanyaan seperti “Kapan rencana mau turun?”, atau “Tadi dari gerbang (desa) naik apa?”. Sesekali pula Mbah Cip putri menyelipkan pertanyaan dalam bahasa Jawa, seperti “Ora kademen, Nduk?” (“Tidak kedinginan, Nak?” – dalam bahasa Indonesia). Kalimat-kalimat perhatian seperti itu.
Sambal goreng kentang, tempe goreng dan nasi yang masih mengepul. Menu sederhana itu justru yang memperkuat langkah kami hingga Pos II Merbabu. Dari menu-menu semacam itu pula, pasangan suami-istri Mbah Cip bertahan hidup.
Mbah Cip tidak pernah meminta pelawat Gunung Merbabu membayar makanan yang diolah dengan tangan beliau. Para pendaki secara sukarela menyisihkan uang saku ke dalam sebuah kotak di ruang tamu, saat itu. Di rumah Mbah Cip, kami, orang-orang yang ingin menyusuri tepian jurang-jurang dan tanjakan-tanjakan di kaki Merbabu berkenalan serta bertukar cerita. Di rumah itu pula Mbah Cip menuturkan nasihat-nasihat, supaya kami tidak lengah ketika melewati jalur sempit sebelum sampai taman edelweiss.
Orang-orang mungkin begitu meresapi jalur pendakian Merbabu. Ada banyak cerita tentang setiap perjalanan pendakian. Mereka berkisah bagaimana perkenalan tercipta di antara jalur-jalur terjalnya. Mereka mengungkapkan perasaan masing-masing ketika harus bertahan di atas Tanjakan Setan.
Di sela-sela pengutaraan kisah itu, hadir pengulangan bahwa kehangatan masih terus menyelimuti Merbabu. Kehangatan itu bercampur dengan hawa-hawa positif lain dalam rumah terakhir di Desa Wekas, sebelum berbelok menuju Pos I Merbabu. Rumah Mbah Cip.
________________________________
Catatan:
*Luweng adalah alat memasak berbahan bakar kayu yang terbuat dari tanah liat. Di atasnya dibuat satu atau dua lubang untuk meletakkan panci atau wajan untuk memasak. Di bawah luweng terdapat ruang untuk menyusun tumpukan kayu. Istilah luweng biasa digunakan penduduk di sejumlah kawasan di Jawa Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H