Indonesia merupakan negara yang menganut ideologi Pancasila, dengan sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Karena hal ini, tentunya mayoritas penduduk di Indonesia merupakan pemeluk suatu agama atau aliran kepercayaan tertentu. Cukup jarang ditemukan individu yang memilih untuk tidak menjadi religius atau dengan kata lain, menjadi agnostik dan ateis. Ada banyak faktor dari terjadinya hal ini, salah satu yang terbesar ialah karena melekatnya doktrin agama dan budaya spiritual dalam keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Sejak dini, anak-anak Indonesia telah diperkenalkan dengan agama dan konsep ketuhanan, sehingga mereka tumbuh dengan ajaran tersebut. Karena hal ini, beragama menjadi sesuatu yang dilihat sebagai kewajiban oleh masyarakat Indonesia. Menjadi agnostik atau ateis, atau kasarnya "tidak bertuhan" merupakan anomali dan seringkali menuai stigma buruk dari masyarakat.
Stigma tersebut menyebabkan munculnya diskriminasi terhadap kaum agnostik dan ateis, seakan-akan paham yang mereka anut merupakan sesuatu yang patut dipersalahkan. Padahal, agama maupun aliran kepercayaan merupakan suatu pilihan yang kebebasan memilihnya diberikan sepenuhnya kepada setiap individu. Di Indonesia sendiri, tidak ada paksaan untuk memilih satu agama tertentu, maupun larangan untuk sama sekali tidak memilih. Sehingga, adanya stigma tersebut sepenuhnya merugikan pihak-pihak tak bersalah.
Jika ditelusuri lagi, pada hakikatnya, agama merupakan sistem kepercayaan yang berisi ajaran serta pedoman yang mengatur sendi-sendi kehidupan manusia. Agama berfungsi sebagai tuntunan dan kompas moral bagi manusia dalam hal bertingkah laku, membuat keputusan, dan menjalani hidup secara keseluruhan. Namun, tidak semua individu setuju dengan konsep tersebut dan bersedia untuk menganut pahamnya. Banyak orang yang merasa lebih nyaman menjalani hidup mereka tanpa terikat kepada suatu kepercayaan tertentu. Banyak juga yang tidak merasa membutuhkan agama beserta seluruh ajarannya sebagai tuntunan bagi kehidupan mereka. Pemikiran-pemikiran tersebut tidak dapat dipersalahkan karena setiap individu memiliki hak prerogatif untuk menentukan pilihan hidupnya, apalagi dalam hal yang sangat vital seperti kepercayaan.
Bagi orang-orang yang menganut aliran agnostisisme, eksistensi Tuhan merupakan sesuatu yang tidak secara mutlak mereka tentang, namun juga tidak sepenuhnya mereka percayai. Ada beberapa di antara mereka yang tidak peduli terhadap ada atau tidaknya Tuhan di dunia ini, ada yang mengakui eksistensi-Nya namun memilih untuk tidak menganut kepercayaan, serta ada yang merasa bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan secara konkrit sehingga menganut suatu kepercayaan terhadap-Nya merupakan sesuatu yang sia-sia.
Sedangkan, orang-orang yang menganut aliran ateisme merupakan orang-orang yang sepenuhnya menentang ataupun menolak kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan. Ada penganut ateisme yang memilih untuk menjadi seorang ateis karena mereka telah dapat membuktikan bahwa keberadaan Tuhan hanyalah fiktif belaka, serta ada juga yang belum dapat melakukan pembuktiannya namun tetap memilih untuk menolak keyakinan akan keberadaan-Nya. Kebanyakan dari penganut ateisme merupakan orang-orang yang lebih mengedepankan logika serta memercayai sesuatu yang telah terbukti secara empiris, seperti ilmu pengetahuan. Bagi mereka, hal itu lebih masuk akal dan dapat diterima daripada kepercayaan terhadap suatu sosok serta kuasa besar yang wujudnya tak kasat mata dan belum terbukti.
Persamaan dari kedua paham ini ialah bahwa keduanya sama-sama tidak ingin mengikatkan diri kepada agama atau aliran kepercayaan tertentu serta seluruh ajaran yang ada di dalamnya. Faktor lain selain dari tidak setuju, tidak peduli, atau tidak dapat membuktikan eksistensi dari Tuhan itu sendiri, adalah bahwa agama atau aliran kepercayaan datang dengan berbagai kaidah norma, larangan, serta perintah untuk ditaati oleh para pengikutnya. Hal ini tentunya lebih mempersempit pergerakan orang-orang yang "bertuhan" dibandingkan dengan orang-orang yang tidak. Mayoritas penganut kedua paham ini merasa bahwa hal ini merupakan sesuatu yang merepotkan dan bahkan merugikan. Banyaknya larangan dan perintah yang tidak boleh dilanggar membuat mereka merasa bahwa mereka tidak dapat menjalani hidup dengan bebas dan malah membuat mereka merasa tertekan dan terkekang. Kebanyakan dari mereka merasa lebih nyaman menjalani hidup dengan aturan dan moral masing-masing, tanpa perlu mengikuti kaidah norma dari suatu ajaran yang bahkan tidak masuk di akal mereka.
Hal ini memang terdengar kontroversial, namun pada akhirnya, agama dan aliran kepercayaan merupakan pilihan. Banyak orang yang menganut suatu agama maupun aliran kepercayaan karena merasa butuh untuk memiliki suatu pegangan dalam hidup, dan pastinya pegangan tersebut berbentuk kepercayaan terhadap eksistensi dan kuasa Tuhan serta segala hal yang menjadi ajaran-Nya. Namun, jika bagi sebagian orang, pegangan tersebut berbentuk hal lain selain dari kepercayaan terhadap Tuhan, maka tidak menjadi masalah juga. Setiap orang memiliki pandangan masing-masing terhadap kehidupan dan cara menjalaninya. Pada akhirnya, yang dikejar manusia dalam hidup adalah kebahagiaan dan kenyamanan, dan sangatlah wajar bila bentuknya berbeda di tiap-tiap orang. Selama hal-hal yang dilakukan oleh setiap orang, baik itu yang beragama maupun yang tidak, itu tidak merugikan sesama makhluk hidup, lantas di manakah masalahnya?
Penghakiman terhadap orang-orang yang memiliki paham berbeda tentunya tidak adil, sehingga haruslah dihentikan. Jika masyarakat Indonesia dapat berpikiran lebih terbuka dan tidak mudah menghakimi, terutama kepada pihak-pihak yang sebetulnya tak bersalah dan hanya sedikit berbeda, tentunya ekosistem bermasyarakat dalam negara yang kita cintai ini dapat menjadi semakin baik, nyaman, dan tentram untuk ditinggali semua individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H