Demokrasi dalam Islam
Jika kita berbicara mengenai demokrasi yang berkembang di Barat, maka tidak lepas dari nilai-nilai ideal yang ada di dalamnya, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, pemerintahan yang representatif. Nilai-nilai ideal demokrasi Barat ini telah memberi kesan bagi beberapa pemikir Muslim untuk mencapai kemerdekaan dan persatuan nasional. Demokrasi tumbuh begitu pesat di peradaban Barat, terutama menjelang masa renaissance. Pada masa itu, muncul istilah sistem demokrasi langsung yang mana posisi pemerintahan dapat ditempati oleh masyarakat secara langsung. Adanya pembagian lembaga kekuasaan (trias politica) agar terjadi check and balances dalam pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif di mana masyarakat dapat berperan ke dalam seluruh aktivitas politik tersebut. Akan tetapi, sistem demokrasi langsung ini banyak ditentang oleh para filsuf besar, sehingga muncullah berbagai filsuf politik lainnya yang berupaya menyempunakan teori demokrasi sendiri, yaitu sistem demokrasi perwakilan. Sistem perwakilan ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam.
Islam mengandung berbagai prinsip dasar yang sangat responsif terhadap berbagai hukum dan moral. Setiap intelektual Muslim berupaya membangun teori modern mengenai demokrasi Islam bermula dengan membandingkan konsep kesetaraan dalam Islam dan pemikiran politik Barat klasik. Dalam pemikiran Barat, setiap manusia dilahirkan setara, namun menjadi tidak setara oleh adanya kebijakan sosial dan politik yang dibentuk oleh lembaga-lembaga buatan manusia. Oleh karena itu, kesetaraan manusia bagi peradaban bangsa Barat adalah kesetaraan yang berdasar pada kewarganegaraan, bukan kelahiran. Berbeda dengan konsep kesetaraan dalam Islam, Alquran mengakui seluruh manusia, terlepas dari apapun kepercayaan dan kedudukan politik, tanpa menyebutkan kata 'warga negara'. Inilah sebabnya Islam menjadi antitesis terhadap ideologi nasionalisme. Nasionalisme telah membedakan seluruh manusia berdasarkan ras, etnis, dan kriteria lainnya, sementara Islam justru telah menyetarakan semua umat manusia. Dalam Islam, satu-satunya yang membedakan seseorang dengan seorang lainnya hanya diliat dari ketaqwaannya terhadap Allah, sehingga kedudukan non-Muslim lebih rendah daripada Muslim itu sendiri.
Beberapa prinsip demokrasi dianggap telah sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Alquran mengenai shura sehingga menjadi perdebatan bagi Muslim apakah keberadaaan demokrasi itu benar-benar dibutuhkan dalam masyarakat Muslim. John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Haikiki, 2016) mengklasifikasikan tanggapan para cendekiawan Muslim mengenai demokrasi itu sendiri, yakni: Pertama, kelompok cendekiawan Muslim yang memandang demokrasi dan shura adalah dua hal yang identik tetapi memiliki perbedaan, seperti Imam Khomeini. Beliau beranggapan bahwa Tuhan sebagai penguasa mutlak yang semua perintah-Nya harus diikuti, tetapi tetap diperlukan partisipasi rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Taufiq al-Syawi, cendekiawan Muslim lainnya, juga mengatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk shura versi eropa, namun keduanya tetap tidak sama karena demokrasi tidak berpegang pada dasar syariat Islam.
Kedua, kelompok cendekiawan Muslim yang memandang demokrasi dan shura adalah dua hal yang saling berlawanan dan harus ditolak, seperti Sayyid Qutub, Syaikh Fadhallah Nuri, Abu al-A'la al-Maududi. Mereka beranggapan bahwa demokrasi adalah persamaan semua warga negara sementara hal ini sangatlah tidak mungkin dalam Islam. Menurut mereka, Islam telah menyediakan sistem hukum dan moral yang sudah lengkap, sehingga tidak diperlukan legislasi lainnya, termasuk demokrasi. Demokrasi dinilai hanya lebih menguntungkan Barat daripada negara Islam sendiri. Menurut pandangan Esposito dan Piscatori, penolakan model demokrasi Barat oleh sebagian umat Muslim ini sebenarnya adalah reaksi negatif masyarakat Muslim untuk menolak kolonialisme Eropa secara radikal dan upaya mengurangi ketergantungan umat Islam terhadap negara-negara Barat. Ketiga, sebagian cendekiawan Muslim lainnya justru berpendapat bahwa demokrasi dan shura adalah dua istilah yang serupa. Salah satu tokoh pemikirnya adalah Muhammad Husein Haikal.
Pemikiran Politik Islam Muhammad Husein Haikal
Muhammad Husein Haikal lahir pada tanggal 20 Agustus 1888 di Mesir. Beliau merupakan seorang penulis dalam berbagai bidang, seperti sastra, politik, dan agama. Selama riwayat pendidikannya, Haikal mengenyam pendidikan dasar di sekolah Al-Jamaliah-Kairo, lalu sekolah menengah sampai 1905. Kemudian, Haikal melanjutkan pendidikannya dan memilih belajar ilmu hukum di Perancis. Sepanjang hidupnya, Husein Haikal adalah seorang politikus yang berpendidikan Barat. Ia meninggalkan profesinya sebagai pengacara untuk memasuki kancah politik atas saran gurunya, Luthfi Sayyid.
Dalam pemikiran politiknya mengenai Islam dan demokrasi, Haikal mendefinisikan Islam sebagai agama kebebasan, persaudaraan, persamaan, tasy'ri, dan hukum. Menurut pandangannya, demokrasi pertamakali dicanangkan oleh Islam dikarenakan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh paham demokrasi sekarang sebenarnya juga merupakan kaidah-kaidah Islam. Sistem pemerintahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk demokrasi yang serupa dengan pengertian demokrasi Yunani kuno sebagaimana dunia internasional juga mengakui landasan demokrasi, yaitu kebebasan, persaudaraan, dan persamaan antar bangsa. Sistem pemerintahan dalam berbagai negara demokrasi tentunya berbeda-beda, termasuk sistem pemerintahan Islam. Bagi Haikal, sistem pemerintahan Islam berdasarkan pada permusyawaratan model Islam.
Haikal berpandangan bahwa Islam justru tidak menerangkan secara rinci mengenai pemerintahan dan Alquran hanya menerangkan secara garis besarnya saja. Baginya, tidak ada bentuk pasti dari negara Islam, serta tidak ada sistem pemerintahan yang baku, oleh karena itu umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan apapun selama sistem tersebut dapat menjamin persamaan antar warganya. Sistem pemerintahan di zaman Rasul tidak begitu dipersoalkan karena Rasul membiarkan pemerintahan Arab selama mereka mau memeluk dan menerima ajaran Islam. Haikal sendiri memilih bentuk negara konstitusional sebagai bentuk negara Islam yang berdasar pada hukum Tuhan (syara'). Menurutnya, Islam hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar bagi peradaban manusia untuk mengatur prilaku manusia, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Adapun prinsip-prinsip dasar itu, antara lain:
- Prinsip Iman akan keesaan Tuhan (tauhid). Islam mengajak umat manusia untuk meyakini Islam sebagai dasar kehidupan bersama. Keyakinan dasar ini disebut sebagai tauhid dan dari prinsip ini akan lahir prinsip kebersamaan. Iman, menurut Haikal, menjadi salah satu prinsip dasar pemerintahan Islam karena perbedaan keyakinan akan selalu menyebabkan keresahan dalam suatu masyarakat atau negara.
- Prinsip kepercayaan akan adanya hukum alam. Dalam prinsip ini, Haikal menandaskan bahwa pengelolahan masyarakat atau negara agar memperhatikan watak-watak manusia sesuai dengan fitrah alamiahnya dan tidak memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia itu.Â
- Prinsip persamaan. Dalam prinsip ini, Haikal begitu menekankan persamaan fitrah antara laki-laki dan perempuan. Di mata Tuhan, manusia itu sama derajatnya, sama hak dan kewajibannya, serta harus sama-sama tunduk kepada sunnatullah. Tidak ada perbedaan antara manusia, kecuali ketaqwaannya kepada Tuhan. Di satu sisi, Haikal juga menegaskan bahwa setiap manusia bebas memilih keyakinan mereka sendiri dan Islam tidak akan pernah memaksakan seseorang untuk  masuk agama Allah, terlebih dengan cara-cara kekerasan. Namun, bagi mereka yang tidak mau memeluk Islam wajib membayar jizyah agar mereka berada dalam perlindungan kaum muslimin yang berkuasa untuk menolak serangan musuh dan mempertahankan keberadaan dan kehormatan negara.
Negara Islam menurut Haikal adalah negara yang mempunyai keseimbangan hubungan antara warga negara dengan warga negara dan warga negara dengan penguasa tertinggi alam semesta (Allah). Konsep negara Islam ini berdasarkan pada nilai-nilai tauhid yang mengatur hubungan manusia dengan penguasa alam dan nilai-nilai humanis yang menjaga hubungan antar warga negara. Baginya, penguasa negara hanyalah perwakilan dari Allah yang menjalankan semua perintah dan menjauhi larangannya. Pandangannya ini menjadi pengingat bahwa Allah adalah penguasa yang lebih tinggi dari penguasa negara sehingga penguasa negara tidak boleh bertindak semena-mena terhadap rakyatnya. Jika kita mengartikan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang bertentangan dengan kediktatoran, maka pemikiran Hussein Haikal bahwa demokrasi sejalan dengan Islam, dilihat dari prinsip-prinsip demokrasi yang telah terkandung dalam Islam, tentu membuat Islam menjadi kompatibel dengan demokrasi. Dalam demokrasi, tidak ada tempat bagi seseorang ataupun sekelompok orang untuk menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, sebagaimana Haikal juga menegaskan bahwa dalam pemerintahan Islam, tidak mengenal adanya pemerintahan diktator yang memberikan kekuasaan tanpa batas pada kepala negara. Prinsip pemerintahan representatif yang ada dalam demokrasi juga kompatibel dengan pandangan Haikal bahwa pemerintahan Islam dipimpin oleh seorang kepala negara yang posisinya hanyalah sebagai wakil umat. Kepala negara dipilih secara langsung oleh umat, sehingga umat berhak mengawasi dan meluruskannya jika sang pemimpin menyimpang dari kebenaran.
Haikal juga menekankan hak-hak kaum perempuan yang harus dijunjung tinggi. Menurutnya, perempuan juga memiliki kebebasan untuk berkiprah dalam masyarakat dan wajib dihormati sepanjang tidak mengganggu kepentingan masyarakat lainnya. Pembicaraan mengenai sistem pemerintahan harus menyangkut banyak hal, seperti sistem ekonomi, moral, kemasyarakatan, terutama yang menyangkut keadaan damai dan perang, agama dan ilmu, serta lainnya. Ia menekankan bahwa sebuah pemerintahan Islam harus berdasarkan pada tiga prinsip dasar Negara Islam, yaitu:
- Prinsip persaudaraan sesama manusia. Â Hal ini sejalan dengan nilai-nilai demokrasi mengenai persamaan antar manusia, Islam juga menekankan pentingnya persaudaraan tanpa membeda-bedakan warna kulit, kebangsaan, dan bahasa. Islam tidak mengutamakan orang Arab maupun non Arab. Islam menghapuskan perbedaan-perbedaan antara manusia yang satu dengan lainnya. Baginya, tindakan Nabi secara tidak langsung mrnjadi landasan dasar bagi umat Islam dalam menjalin persaudaraan. Jalinan persaudaraan ini juga berlaku di antara umat Islam dan umat non-Islam sebagaimana Nabi Muhammad telah mencontohkan bagaimana pentingnya menjalin persaudaraan dengan umat non-Islam.
- Prinsip persamaan antarmanusia. Prinsip ini menjadi penting dari negara Islam. Bagi Haikal, setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam aspek kehidupan bernegara, termasuk aspek hukum atau keadilan. Tidak boleh ada perlakuan khusus terhadap seseorang dalam permasalahan hukum, sekalipun orang tersebut adalah seorang pemimpin. Persamaan ini tidak hanya sebatas yang ditetapkan undang-undang saja, tetapi juga mencakup persamaan manusia di hadapan Allah. Islam sama sekali tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan rezeki, ilmu, dan hal-hal duniawi lainnya.
- Prinsip kebebasan. Bagi Haikal, kebebasan adalah sesuatu yang esensial dalam kehidupan manusia. Kebebasan menjadi hak setiap individu, selama hak tersebut tidak merugikan dan mengganggu kebebasan orang lain. Dalam Islam, kebebasan jsutru memiliki makna dan bentuk yang lebih luas. Kebebasan ini mencakup kebebasan beragama, berpikir, menyatakan pendapat, dan kebebasan dari rasa lapar dan takut. Namun, kebebasan dalam Islam bukan tanpa batas, melainkan kebebasan bagi manusia untuk melakukan apa saja selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum syara'.Â
Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaran Islam, prinsip persamaan,prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebbeasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan Syariah. Menurutnya, kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang menjadi prinsip-prinsip demokrasi dewasa ini juga termasuk dalam prinsip-prinsip utama Islam. Baginya, Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia sehingga jika sistem yang tidak berdiri atas prinsip-prinsip demokrasi, maka sistem tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam Islam. Prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma' (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas sertapengendalian nafsu bagi penguasa. Prinsip-prinsip demokrasi yang dicetuskan oleh Haikal merupakan sistem politik yang dipraktikkan Nabi di Madinah.
Faktor yang Melatarbelakangi Pemikiran Husein Haikal
Pemikiran Husein Haikal tentang pemerintahan Islam yang sejalan dengan demokrasi ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman hidupnya selama mengenyam pendidikan di Mesir dan Paris. Gurunya, Sayyid Lutfhi, juga memengaruhinya untuk terjun ke dunia politik melalui partai Liberal. Kepandaian gurunya ini membuat kehidupan politiknya semakin berkembang, terlebih ketika Haikal bersama beberapa temannya mendirikan Partai Demokrasi dan menjadikan asas Nasionalisme Mesir sebagai dasar partai sebagaimana yang telah diajarkan oleh al-Sayyid kepadanya. Selain pengaruh gurunya, pengalaman hidup Husein Haikal yang pernah tinggal di dua wilayah yang memiliki perbedaan budaya memengaruhi pemikirannya. Selama menghabiskan waktu di tanah kelahirannya di Mesir, ia menyaksikan bagaimana pemerintahan yang absolut dan despotik menjadikan Mesir sebagai negara yang terbelakang. Ia sudah biasa melihat perkampungan kumuh, pakaian kumal dan lusuh masyarakat, serta kehidupan masyarakat Mesir yang terabaikan dengan dikebirinya hak-hak mereka sebagai masyarakat.Â
Haikal menyadari bahwa sulitnya perkembangan kegiatan-kegiatan ilmiah di Mesir, bahkan adanya pembatasan bagi perempuan untuk keluar dari rumah, kecuali ada kepentingan yang mendesak. Cara berpakaian perempuan yang amat diatur oleh negara dengan menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.Pemandangan tersebut tentunya berbeda ketika Haikal melanjutkan studinya di Paris. Ia melihat bagaimana tiap individu dijamin kebebasan dan kemerdekaannya, pengetahuan yang tidak dibatasi, serta fungsi negara sebagai pelayan masyarakat begitu jelas. Pada masa itu, hadirnya al-Afghani di Mesir juga memengaruhi pemikiran para intelektual Islam di Mesir. Afghani mendapatkan banyak simpati ketika ia dengan berani mengecam Pemerintah Inggris yang selalu mengintervensi urusan pemerintah Mesir, akan tetapi keberaniannya tersebut justru malah menjerumuskannya ke penjara. Kejadian tersebut mendorong Haikal untuk terus menekankan pentingnya menghargai kebbeasan berpikir. Haikal semakin mengenal liberalisme Barat dan membandingkan kedua peradaban tersebut. Namun, Haikal tidak pernah mau mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang pengikut aliran liberalisme, karena baginya Barat tidaklah lebih baik dari Islam.
Pandangan Kritis Penulis
Jika kita menggunakan frasa Mawdudi mengenai theo-democracy dalam mencocokan Islam dengan prinsip demokrasi, Islam mungkin akan kompatibel dengan demokrasi jika itu bertentangan dengan kediktatoran. Menurutnya, demokrasi Islam yang tetap menjunjung kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat yang saling eksklusif tetap menjadi antitesis dari demokrasi Barat yang sekuler. Theo-democracy tidak hanya sekadar kediktatoran negara, tetapi lebih mencakup kedaulatan bersama semua Muslim, termasuk warga negara biasa.
Dalam tatanan abstrak, salah satu syarat dari demokrasi sendiri adanya aturan hukum (rule of law), begitupun dalam konsep negara Islam yang dicanangkan oleh Haikal, aturan hukum tersebut berasal dari hukum Tuhan. Alquran menjadi manifestasi hukum Tuhan dalam mengatur kehidupan bersosial dan berpolitik manusia. Selain aturan hukum, demokrasi juga mensyaratkan adanya keputusan yang didasarkan atas keinginan bersama. Dalam hal ini, Islam juga menerapkan hal yang serupa mengenai prinsip shura (konsultasi) dan ijma (konsensus). Menurut penulis, meskipun pemikiran Haikal sangatlah idealis dan utopis, tetapi Haikal dapat menarik benang merah di antara nilai-nilai yang ada dalam demokrasi dan Islam.
Sayangnya, Haikal kurang memperhatikan kondisi geopolitik dari daerah Timur Tengah sendiri. Sekalipun pemikirannya mengenai keselasaran Islam dan demokrasi ini sungguh menarik, namun ia melupakan fakta bahwa demokrasi justru sulit berkembang di negara-negara Timur Tengah, terlebih negara-negara Muslim justru terkenal sebagai negara-negara paling tidak demokratis. Jika Haikal memandang ketiadaan aturan bentuk pemerintahan dalam Alquran memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri, tetapi pada kenyataannya justru ketiadaan aturan bentuk pemerintahan dalam Islam ini ini sering kali menghasilkan kegagalan model pemerintahan, terlebih karena seringnya pergeseran jenis rezim yang menyebabkan ketidakstabilan politik di negara-negara Islam. Dalam bukunya yang berjudul Islamic Democratic Discourse: Theory, Debates, and Philosophical Perspectives, M. A. Muqtedar Khan berargumen bahwa dalam dunia Islam terkini justru semakin membanggakan tipe rezim kediktatoran dan demokrasi palsu, seperti di Mesir, Sudan, dan Tunisia.
Beberapa tokoh-tokoh pemikir politik Islam yang menentang demokrasi dalam negara Islam ini karena menilai adanya perbedaaan Islam dengan nilai demokrasi, khususnya pada poin di mana hukum Islam tidak memberikan kesetaraan bagi semua warga negara di bawah hukum tanpa memandang agama dan gender. Islam memang tidak memandang perbedaan antar manusia secara fisik, namun imanlah yang mampu membedakan seseorang dengan seorang lainnya. Bukay, dalam tulisannya yang berjudul Can There be an Islamic Democracy, mengungkapkan bahwa kehendak mayoritas masyarakat Muslim yang besar dapat membentuk negara Islam yang ideal, akan tetapi dalam praktiknya bisa kita lihat dari negara Iran yang membatasi proses demokrasi dan menghancurkan masyarakat sipil. Di negara Arab-Islam lainnya hanya rezim otoriter dan kepemimpinan patrimonial. Dalam tataran teoritis, Islam lebih mudah mengadopsi retorika demokrasi, namun kurang mampu menjalankan prinsip-prinsipnya. Jika Haikal memandang konsep shura sama artinya dengan demokrasi, menurut Taha al-Alwani, shura adalah dewan penasehat, bukan partisipatif yang merupakan warisan kesukuan, bukan kedaulatan.
 Â
Sumber Pustaka:Â
Hakiki, Kiki Muhamad. Islam dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia dalam Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya I, I (Januari,2016).
Parray, Tauseef Ahmad. Democracy in Islam: The Views of Several Modern Muslim Scholars dalam The American Journal of Islamic Social Sciences 27:2.
Enayat. Hamid. 1982. Modern Islamic Political Thought. Macmillam Press LTD: London dan Basingstoke.
Kesuma, Arsyad Sobby. Islam dan Politik Pemerintahan (Pemikiran Politik Muhammad Husein Haikal) dalam Jurnal Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desember 2013.
Zaki, Ahmad. Bab III: Pemikiran Politik Muhammad Husein Haikal. Tersedia di http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004-ahmaddzaki-221-BAB+III+.pdf
Susfita, Nunung. Islam dan Demokrasi (Telaah Pemikiran Politik M. Husein) dalam Jurnal Tasamuh Volume 12, No. 2, Juni 2015.
David Bukay. (2007). Can There Be an Islamic Democracy? dalam Jurnal Middle East Quarterly pp. 71-79. Tersedia di https://www.meforum.org/1680/can-there-be-an-islamic-democracy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H