Mohon tunggu...
Alpha Savitri
Alpha Savitri Mohon Tunggu... -

Istri dan Ibu yang antusias belajar apa pun dari siapa pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Olala, Anak-anak Menjauhi Jajan Tradisional (Dibilang Jajan Jadul)

9 Januari 2014   15:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

" Alma satu-satunya siswa yang suka makan klanting dan nagasari di sekolah. Kalau makan lahap sekali. Teman-teman lain bekalnya dari rumah snack, Bu."

Itu komentar sesama orangtua siswa di playgroup yang selalu mengantar jemput anaknya ke sekolah. Kami pun lantas tertawa berderai. Tapi sejak itu saya terus kepikiran. Benarkah hanya anakku yang membawa jajan tradisional di sekolah? Apa ada yang aneh sampai ada yang harus berkomentar begitu?

Selepas itu, saya coba bertanya pada ibu-ibu di lingkungan rumah seputar bekal anak-anaknya di sekolah. Dan memang, mereka bukan tidak pernah membekali anaknya dengan jajanan tradisional ke sekolah, namun jarang sekali. Umumnya mereka membekali anak-anak mereka dengan biskuit dan snack yang populer di kalangan anak. Bukan lemper, nogosari dan sebangsanya. "Anak saya nggak mau jajanan jadul," kata seorang ibu.

Oalahhhh, pikir saya. Jadi ada istilah jajan jadul dan non jadul... hehehe....

Kunjungan saya ke rumah mertua di Blitar pun memberi pengalaman yang sama. Anak-anak playgroup dan TK di sana bekalnya di sekolah rata-rata makanan dan minuman bikinan pabrik.

Harga snack dan minuman bikinan pabrik memang relatif murah, mulai Rp 500 - Rp 2000 per bungkus. Di desa tempat tinggal saya di Sidoarjo, "jajan jadul" berkisar Rp  1200 - Rp 3000 per buah.

**

Terus terang saya cukup kaget menyadari bahwa jajanan jadul sudah tidak populer di kalangan anak-anak.  La anak saya malah setiap habis subuh malah ke pasar buat beli jajan bersama ayahnya (heran, anak sama ayah kok sama kesukaannya, ke pasar cari jajan hehehe). Dan kami sekeluarga memang suka jajanan tradisional (yang menyehatkan. bukan gorengan yang minyaknya dipakai sampai hitam berkilat atau jajan berwarna menyala yang pakai pewarna tekstil).

Tidak dipungkiri memang, saya juga membelikan jajanan buatan pabrik. Tapi saya benar-benar menyeleksinya dengan ketat. Saya lihat komposisi dalam kemasannya. Saya berusaha seminimal mungkin membelikan anak saya jajanan yang mengandung zat-zat yang potensial membahayakan kesehatan. Sebuah biskuit abon yang jadi favorit akhir-akhir ini, dalam komposisinya tertera MSG. Meski anak saya masih berusia 3 tahun, saya terus berusaha memberi pengertian kepadanya sesuai usianya, makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh dimakannya.

Saya lebih condong memberikan jajanan tradisional kepada anak saya ketimbang jajanan pabrik. Termasuk mie instan sama sekali belum saya perkenalkan pada anak saya. Bukan berarti semua jajanan tradisional sehat, banyak kok yang tidak sehat, baik bahan maupun proses. Namun sejauh yang saya tahu, jajanan tradisional di pasar dekat tempat saya bermukim rata-rata diproses  secara sehat dengan bahan yang sehat pula. Sedangkan jajanan pabrik, tmelihat komposisinya, seringkali ditambah penguat rasalah, MSG-lah, atau apalah, yang ditengarai berbahaya untuk kesehatan dalam jangka panjang.

Jadi, biar saja aku ditertawakan perkara  bekal "jajan jadul" untuk anakku. Karena tentu saja, aku ingin dia sehat. Dan semoga anakku tetap gemar "jajan jadul". Kalau anak-anak sudah tidak gemar "jajan jadul", nggak ada lagi yang mau jualan. Lantas,  apa kata dunia........

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun