Saya menutup hidung rapat-rapat tiap kali melewati makam di belakang komplek. Menahan napas saja tak cukup agar bau menyengat itu tak tercium. Bukan bau menyengat dari mayat yang dikubur melainkan bau menyengat dari tumpukan sampah yang menggunung dan berserakkan.
Tanah di samping makam memang jadi tempat pembuangan sampah sementara (TPS) warga komplek. Sebelum secara periodik, sampah itu akan diangkut menggunakan truk ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Yang mengganggu, meskipun sampah itu secara rutin diangkut ke TPA, namun lokasi TPS tak pernah benar-benar bersih dari sampah organik maupun anorganik.Â
Alhasil, bau busuk yang menyengat hidung dan sampah yang berserakan itu setia di sana. Lama kelamaan sampah pun mencari jalan pergi sendiri. Air hujan membawanya ke sungai yang letaknya persis di samping makam. Pemandangan sungai penuh sampah tak terelakkan lagi.
Persoalan sampah memang menjadi momok di mana-mana. Termasuk di daerah tempat tinggal saya. Tak hanya menyebabkan polusi, keberadaan sampah juga kerap menimbulkan konflik.Â
Contohnya lokasi TPA kerap mendapat penolakan warga sekitar. Hal ini terjadi dibanyak tempat. Penolakan warga Bekasi terhadap TPA Bantargebang adalah satu konflik yang sempat terjadi.
Siapa sih yang sudi hidup berdampingan dengan sampah. Bau menyengat, lalat-lalat beterbangan kesana kemari. Ancaman nyata terhadap kesehatan masyarakat maupun lingkungan.
Padahal tiap hari, produksi sampah terus terjadi. Pernahkah, kita menghitung berapa banyak sampah dihasilkan setiap hari?
Di wilayah Kabupaten Karanganyar, tempat tinggal saya, produksi sampah perhari mencapai 160 ton, demikian dituturkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar, Edy Yusworo.