Katanya, jadi ibu itu gak boleh sakit. Meski lelah dan badan pegal, tugas negara mah harus jalan karena nasib keluarga bergantung pada ibu. Belum lagi, tuntutan tetap tampil fresh untuk suami. Ini juga urusan penting agar kasih sayang tetap buat saya seorang, tsaah. Apalagi jika harus bertemu dengan banyak orang. Mood jadi hal utama saya, untuk bisa tampil fresh meskipun didera lelah dan pegal-pegal.
FYI, saya seorang ibu rumahtangga. Seperti ibu rumahtangga pada umumnya, pekerjaan sehari-harinya kurang lebih sama. Terlihat sepele memang, pekerjaan yang biasa saya lakukan, memasak, mencuci baju, mencuci piring, beberes rumah, dan setrika baju. Tapi, pernahkan kalian berpikir? Bahwa tugas sepele tadi butuh mood yang baik agar bisa tunai?
Beberapa hari lalu, saya membaca tulisan seorang Ayah, yang mengatakan bahwa alangkah beratnya ketika harus stay seharian di rumah mengurus anak-anak dan pekerjaan rumahtangga. Well, jujur, saya merasa sedikit lega, ternyata ada sebuah pengakuan bahwa menjadi ibu, bukan pekerjaan ringan. Dulu, saat anak-anak saya masih balita, begitulah yang saya rasakan. Tiap hari tenaga terkuras untuk mengurus mereka dan juga mengurus rumah. Untuk sekarang ini, pekerjaan rumah saya lebih ringan.Â
Saya tinggal di rumah yang kecil, jadi untuk sekadar menyapu dan mengepel tak butuh tenaga banyak. Begitupun dengan mencuci perabotan. Paling lama butuh waktu 15 menit kalau habis memasak. Di luar itu, ada piring kotor satu, biasanya langsung saya cuci.
Untuk urusan mencuci baju, saya dibantu mesin untuk menunaikan tugas ini. Nggak memerlukan tenaga besar bukan? Asal sehabis baju kering langsung disetrika, tak akan ada tumpukan baju bersih tapi kusut karena belum disetrika.
Apalagi anak-anak saya sudah bisa mandiri untuk kebutuhan dirinya seperti mandi, cebok, mengambil makan bahkan sesekali mereka membantu pekerjaan saya. Jadi, beban saya memang jauh berkurang ketimbang saat anak-anak masih balita.
Sekarang, saya justru bermasalah ketika harus berdamai dengan jenuh. Pekerjaan yang itu-itu saja tiap harinya, kerap membuat saya berada di titik jenuh. Kalau sudah begini biasanya saya males ngapa-ngapain. Kalau nggak ingat, bahwa saya hanya bisa mengandalkan diri sendiri, saya tentu lebih memilih tidur-tiduran dan mengabaikan semua tugas saya.
Akhirnya, demi stabilitas keluarga, semua itu tetap saya kerjakan tapi dengan berat hati karena mood rusak oleh rasa jenuh. Dan hal seperti ini nggak enak banget. Hasilnya juga nggak maksimal, kadang masakan rasanya jadi nggak keruan karena memasaknya tak sepenuh hati. Belum lagi, kalau keterusan bad mood nya, bisa uring-uringan. Duh, ini bahaya kan! Suami dan anak-anak bisa kena imbasnya. Kasihan mereka!
Sebetulnya, untuk mood buster saya suka sekali dengan udara segar di pagi hari. Dengan menghirupnya tiap pagi, saya seperti mendapat energi untuk beraktifitas. Hanya saja, sehari itu panjang bok! Kadang ada sesuatu tak terduga terjadi dan merusak mood saya. Contohnya, saat cucian piring masih belum selesai, eh tiba-tiba air berhenti mengalir. Padahal saya tidak punya penampungan air yang besar. Air yang ada, tentu lebih baik digunakan untuk sesuatu yang lebih mendesak, seperti untuk mandi, BAK maupun BAB. Kalau sudah begini suka bete, dengan perabotan kotor yang menumpuk.
Saya sadar, bete saya harus segera diakhiri agar hari saya nggak tambah kacau. Andai saja, udara segar itu ada sepanjang hari tentu saya tak perlu cari cara lain untuk mengembalikan mood saya. Sayangnya, udara segar makin mahal karena polusi. Ditambah lagi badan suka masuk angin maupun batuk. Harus gerak cepat untuk mengatasinya, agar sakitnya tak terlanjur parah. Kalau sudah begini, tubuh saya membutuhkan sesuatu yang bisa menghangatkan badan sekaligus memperbaiki mood saya.