Matahari belum lagi muncul. Angkot yang saya tumpangi melaju lurus di jalan semi protokol. Terkadang berhenti jika ada penumpang yang ingin naik. Tapi terkadang tancap gas ketika ada teman yang sekaligus lawannya. Pemandangan itu hampir tiap hari saya jumpai di jalan pinggir kota Jakarta. Acara saya hari ini bukan untuk kopdar atau memenuhi undangan launching produk, tapi ingin menjenguk Bapak yang habis menjalani operasi katarak. Ini adalah kali kedua Bapak operasi katarak, pertama kalinya sudah setahun lalu. Dan enam bulan yang lalu, Bapak merasa matanya ( saya lupa sebelah mana ) pandangannya mulai kabur. Sayapun menyuruh Bapak untuk berobat ke Puskesmas. Dari Puskesmas Bapak dirujuk untuk berobat ke rumah sakit.
Setelah diperiksa ke rumah sakit, ternyata mata Bapak kena katarak. Dan dokter memutuskan untuk dioperasi. Sayangnya Bapak tidak bisa langsung dioperasi, tapi diminta untuk menunggu alias antri sampai 4 bulan ke depan. Setelah empat bulan berlalu, Bapak kembali menanyakan pada pihak rumah sakit kapan jadwal operasi kataraknya. Informasi yang didapat jadwalnya diundur dua bulan lagi. Dengan sabar Bapak menunggu untuk jangka waktu dua bulan. Waktu saya tanya sama Bapak tentang alasannya kenapa ditunda, Bapak juga nggak tau.
Melihat kondisi Bapak yang sudah berusia 70 tahun, iba rasanya membiarkan orang setua itu harus menunggu operasi katarak begitu lama. Emang sih, mata Bapak tidak sakit hanya penglihatnnya saja yang semakin buram. Saya lalu mengumpulkan adik-adik untuk berembug, gimana kalau Bapak dioperasi di klinik mata saja. Rembugan ini juga membicarakan masalah biaya yang harus dikeluarkan, dan itu akan kita tanggung bersama. Kisaran biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi katarak di rumah sakit swasta atau klinik sekitar 7 – 10 juta, bahkan ada yang lebih dari itu. Saya khawatir jadwal operasi katarak Bapak diundur lagi, kalau begitu bisa-bisa kataraknya semakin parah. Untuk menghindari hal itu makanya saya berencana untuk mengoperasi katarak Bapak di klinik mata swasta saja.
Keputusannya kami sepakat untuk mengoperasi katarak Bapak di rumah sakit lain, sayangnya Bapak menolak. Alasannya, mata Bapak masih bisa melihat meski buram. Jadi Bapak lebih memilih operasi di rumah sakit sebelumnya ketimbang bayar mahal. Bapak bersikukuh ingin menggunakan Kartu BPJS nya. Alasan lainnya Bapak tidak mau merepotkan anak-anaknya. Ah, ada-ada saja Bapakku ini, sungguh mulia hatinya.
Bapak adalah pensiunan PNS, dulu sebelum memiliki BPJS jaminan kesehatan Bapak bernaung di bawah PT. ASKES. Setelah ada peraturan baru dari Kementrian Kesehatan pada tangal 1 Januari 2014, PT. ASKES melebur ke dalam BPJS.
Mengapa Harus BPJS Kesehatan ?
Terus terang saya sangat miris melihat pelayanan pasien BPJS Kesehatan, termasuk kepada Bapak. Bayangkan, Bapak yang sudah diputuskan operasi masih harus menunggu lama. Nggak tanggung-tanggung lagi 6 bulan lamanya. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan dalam hati, apa sih sebenarnya yang terjadi ? Mengapa prosedurnya seperti itu ? Bukankah yang dilayani itu orang sakit bahkan ada yang sekarat pula ? Mengapa pelayanannya begitu lambat ? Pertanyaan-pertanyaan saya tersebut belum cukup. Masih banyak lagi yang ingin saya tanyakan tentang Kartu BPJS ini. Kartu sakti yang digadang-gadang bisa membantu rakyat kecil bebas dari biaya pengobatan.
Saya ingat tujuh tahun yang lalu, jauh sebelum BPJS Kesehatan lahir, Bapak juga pernah menjalani operasi Hernia. Pada saat itu Bapak masih menggunakan ASKES untuk jaminan kesehatannya. Sehabis pemeriksaan Bapak langsung disuruh operasi. Tanpa harus menunggu lama, bahkan tidak sampai berbulan-bulan Bapak sudah dioperasi. Mengapa setelah berganti menjadi BPJS Kesehatan prosedurnya malah semakin rumit. Sejatinya orang sakit itu harus segera mendapat pengobatan dan bukannya diulur-ulur. Kalau dibilang yang sakit banyak, dari dulu sampai sekarang orang sakit bertambah demikian pula dengan tenaga medis alias dokternya juga pasti bertambah. Pucuk dicinta ulam tiba, saat begitu banyak pertanyaan BPJS Kesehatan melakukan sosialisasi bekerjasama dengan Kompasiana. Dan dari situlah saya banyak mendapatkan pencerahan tentang data dan fakta BPJS Kesehatan yang belum terakomodir di masyarakat Indonesia.
Kembali pada sub tulisan ini, Mengapa harus BPJS Kesehatan ? Berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2011, tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 14 : Kepesertaannya wajib bagi seluruh penduduk Indonesia dan WNA yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, maka sebenarnya BPJS Kesehatan ini adalah sebuah program unggulan dari Pemerintah untuk menyehatkan masyarakatnya secara menyeluruh. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya UU yang menyangkut tentang jaminan kesehatan. Sampai batas ini, saya masih juga bertanya, kalau ini program dari Pemerintah kenapa harus bayar ? Bukankah seharusnya dijamin seluruhnya oleh Pemerintah ?
Pertanyaan saya ini memang agak menggelitik, mengingat selama ini sebagai masyarakat saya terlalu terlena oleh sifat individualism sesaat. Pasalnya saya lupa bahwa masyarakat Indonesia memiliki tiga kasta, bawah, menengah dan atas. Dari ke tiga kasta tersebut, kasta bawahlah yang paling banyak. Mungkin dari sini jugalah timbul pemikiran bahwa BPJS Kesehatan dibuat berdasarkan ke tiga kasta tersebut. Dengan begitu lahirlah peserta jaminan kesehatan yang meliputi :
1. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan ( PBI ), mereka yang termasuk di sini adalah : fakir miskin dan orang tidak mampu.