Ada satu hal yang membuat mata saya terbelalak bahwa nyatanya saya tinggal di negara di mana masyarakatnya masih beranggapan kalau nggak punya mobil belum dianggap mapan. Terus kalau sudah punya mobil satu pengen dua dan seterusnya. Pola pikir seperti inilah yang dihindari oleh suami, pola pikir kapitalis. Karena hidup bukan untuk dipertontonkan tapi untuk dijalankan, begitu katanya.
Saya akui, sebagai perempuan saya memang merasa lebih banyak menggunakan otak kiri dalam hal memenuhi keinginan. Banyak maunya, mau yang kerenlah, ngetrenlah, inilah, itulah dan lainnya. Jauh berbeda dengan suami yang lebih melihat pada kebutuhan daripada keinginan. Pernikahan memang bukan menyatukan dua perbedaan tapi menggenapkan kekurangan.
Nah, dari perbedaan inilah saya mengambil sikap untuk menyerahkan perencanaan keuangan pada suami. Saya cukup belajar untuk mengendalikan keinginan, dengan begitu saya akan bisa mengendalikan pengeluaran. Awalnya saya sempet shock juga, karena suami keukeuh memegang prinsip keuangannya.
Life Style Momok Menakutkan
Intinya sebelum saya diajarkan bagaimana mengelola keuangan dengan baik, terlebih dahulu saya digembleng oleh suami dalam hal pola pikir. Beberapa contoh sudah saya utarakan di atas, lalu setelah itu suami langsung menerapkannya pada teori keuangan. Suatu hal yang nggak mungkin jika kita ingin merencanakan keuangan tanpa membuang keburukan. Saya merasakan sendiri keburukan yang kerap menghantui saya adalah keinginan. Kejadian berulang ketika saya membeli sesuatu lebih banyak yang diinginkan dan bukan yang dibutuhkan.
Berkenaan dengan life style, suami mengingatkan dengan tajam bahwa life style bukan tujuan hidup. Life style sama saja dengan gaya kapitalis yang harus dikesampingkan. Percuma saja, ngomong soal perencanaan keuangan jika dalam kepala masih bercokol pola life style. Satu-satunya cara untuk mengesampingkan life style adalah dengan mengurangi biaya hidup dan memasukkannya pada tabungan atau investasi. Pernah suatu hari suami berkata, coba aja kamu tanya isi dompet teman-temanmu, pasti isinya lebih banyak kartu dan struk belanja daripada uang kas. Saya tidak menjawab, akan tetapi membenarkan dalam hati, jangankan dompet orang lain wong dompet saya juga begitu ( Ya, pantang bagi kami untuk mengetahui dompet pasangan ).
Lantas, gimana dong cara mengatasi semua itu ?
Ganti kata “life style” menjadi kata yang lebih ekstrem lagi yaitu “Gaya Kapitalis”. Bukankah kita semua tahu bahwa kapitalis merupakan momok menakutkan dalam bidang ekonomi. Beberapa Negara besar bisa hancur ekonominya hanya karena mengadopsi gaya kapitalis ini. Dahsyat kan keburukannya ? Maksudnya gini, kalau memang Anda sudah tidak sanggup lagi mengendalikan life style maka sudah saatnya Anda mengubah pola pikir. Seperti yang sudah saya bilang bahwa life style bukan sesuatu yang buruk-buruk amat.
Pengubahan pola pikir ini dilakukan jika Anda benar-benar sudah merasa terjerat oleh gaya life style tadi. Karena secara tidak langsung semua perilaku akan berubah. Saya berikan contoh begini, biasanya Anda nongkrong di caffe seminggu sekali atau makan di restoran fastfood. Nah, coba deh mulai mengurangi hal itu dengan makan di food street yang harganya di bawah resto tadi. Meskipun Anda harus berpanas-panas ria karena street food tidak ada AC nya. Cobalah sampai akhirnya Anda berkata, “Ah ternyata nggak masalah makan di street food.”
Lakukan untuk semua hal, hingga perlahan Anda jadi terbiasa. Pelajaran pertama yang saya dapat dari suami adalah “berani berhemat” jadi bukan “harus berhemat”. Setelah itu baru mengubah pola pikir, jika semua sudah dilakukan percaya deh Anda tidak lagi sulit menerapkan teori perencanaan keuangan ala suami saya. Berani mencoba ? HARUS !!!