Mohon tunggu...
Etis Cahyaning Putri S.H
Etis Cahyaning Putri S.H Mohon Tunggu... -

Sedang menempuh Magister Hukum pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kegagalan dalam Implementasi Otonomi Khusus di Papua

16 Juni 2013   11:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:57 5070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan, kegagalan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat itu dikarenakan dalam penerapannya pelaksanaan Otonomi Khusus itu tidak dikelola langsung oleh Pemerintah Daerah Papua sendiri. Pemerintah Daerah Papua tidak menjalankan tugasnya. Sehingga, implementasi dana Otonomi Khusus dalam sektor pendidikan dan kesehatan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Deputi Bidang Koordinasi dan Sinkronisasi Perencanaan dan Pendanaan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) M Ikhwanuddin Mawardi menyebutkan, kegagalan Otonomi Khusus juga disebabkan lemahnya pengendalian dan pengawasan pengelolaan dana Otonomi Khusus oleh pemerintah pusat, baik Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, maupun Bappenas.

Desakan Bangsa Papua Barat untuk keluar dari Negara Indonesia mulai bergema kembali secara terbuka sejak Indonesia memasuki era reformasi tahun 1998. Pemerintah Indonesia memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai jalan tengah atas tuntutan Kemerdekaan bagi Papua Barat. Tujuan pemberian Otonomi Khusus adalah agar pemerintah mempunyai kewenangan khusus untuk mengatur diri sendiri dan melakukan percepatan pembangunan dari ketertinggalan secara nasional. Pemberian Otonomi Khusus terdapat pro dan kontra ditengah kehidupan masyarakat Papua Barat.Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ini tidak representatif bagi rakyat dan terkesan dipaksa untuk menerimanya. Sebab Otonomi Khusus diberikan bukan didasarkan atas kesepakatan bersama antara pimpinan masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Hal ini amat berbeda dengan pemberian Otonomi Khusus bagi Pemerintah Nangro Aceh Darusalam karena diberikan atas kesepakatan kedua belah pihak.

Selain itu, status integrasi politis kedalam NKRI pada dekade 1960an masih menjadi hal yang kontroversial bagi sebagian kalangan di Tanah Papua. Terdapat perbedaan yang mendasar dan tajam antara pemahaman penduduk asli Papua dengan pemahaman Pemerintah Pusat tentang pemberian kesempatan yang adil untuk menentukan nasib sendiri dalam Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang diatur dalam berbagai konvensi internasional. Hal lainnya adalah pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru masih membekas pada benak setiap keluarga di Papua yang anggota keluarganya menjadi korban pada saat operasi militer dan penahanan tanpa pengadilan karena dugaan keterlibatan dengan gerakan-gerakan separatis. Tekanan aparat keamanan TNI dan POLRI yang melahirkan kekerasan dan kejahatan Negara di Tanah Papua. Pendekatan kekerasan dan kejahatan Negara ini mengorbankan nyawa ratusan bahkan ribuan rakyat sipil Papua. Kegagalan Implementasi Otonomi Khusus di Papua tidak terlepas dari peran Pemerintah Pusat. Peran mereka terlihat dalam penetapan yuridis yang bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus, yakni:

a.Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah. Namun perkembangan selanjutnya, Prov Irian Jaya Barat tetap eksis sampai sekarang walaupun ada penolakan dari masyarakat, sementara untuk Irian Jaya Tengah berhasil ditolak. Keberadaan Prov Irian Jaya Barat adalah satu-satunya Provinsi di dunia yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas tetapi secara operasional tetap berjalan baik.

b.PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang larangan Bendera Bintang Kejora dan bendera lain yang dianggap simbol separatis di Indonesia. Pemerintah Pusat menolak secara tegas, Kebijakan Affirmatif Action MRP tentang draf usulan Bendera Bintang Kejora sebagai simbol kultural. Pemerintah pusat juga menolak SK Nomor 14 tentang semua Kepala Daerah di Tanah Papua adalah Orang asli Papua.

Kondisi real di Tanah Papua mengatakan bahwa sebuah Inpres bisa mengalahkan sebuah Undang-Undang, seperti Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang IJB dan IJT bisa mengalahkan UU Otonomi Khusus Papua. Walaupun sebenarnya kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari pada Peraturan Pemerintah, Perpu, dan Inpres. Melihat realitasnya, Otonomi Khusus ini boleh dikatakan gagal. Padahal alokasi dana pembagian berupa dana penerimaan khusus untuk Provinsi Papua terus mengalir. Setiap tahun bahkan terus bertambah. Dari 2002 sebesar Rp 1.382 trilyun, menjadi Rp 1.539 trilyun pada 2003, lalu Rp 1.642 trilyun pada 2004. Secara teoritis, dengan dana sebesar itu, Papua bisa mengejar ketertinggalan dari provinsi lain. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan sungguh berbeda. Di mata Pemerintah Daerah Papua, Otonomi Khusus dilihat semata-mata sebagai program untuk menguncurkan sejumlah uang bagi Provinsi papua. Akibatnya, Otonomi Khusus menjadi ajang rebutan proyek.

Tujuan dari penerbitan Inpres No. 5 Tahun 2007 sebenarnya merupakan langkah yang ditempuh pemerintah sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan UU Otonomi Khusus karena melihat realitas pejabat daerah di Papua melakukan korupsi, baik pejabat eselon I, II, III bahkan honorer punya rumah dan mobil sendiri yang dicurigai sebagai hasil korupsi. Rakyat di Tanah Papua terutama yang jauh dari perkotaan belum ikut mekar, yang mekar hanyalah sebagian pejabat dan birokrat pemegang kekuasaan.

Sejak UU Otonomi Khusus disahkan, sampai sekarang belum ada satu pun peraturan Perdasus yang ditetapkan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Faktor-faktor penghambat implementasi UU Otonomi Khusus di Papua, antara lain:

1.Ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang Otonomi Khusus

Mereka yang memberikan respon positif, melihat status Otonomi Khusus sebagai suatu jalan keluar yang dapat mencegah konflik. Ada pula sebagian masyarakat yang secara tegas menolak status Otonomi Khusus dan menginginkan kemerdekaan penuh dalam arti lepas dari NKRI. Ironisnya, pemahaman yang berbeda ataupun persepsi negatif terhadap Otonomi Khusus tidak hanya terjadi di antara masyarakat Papua, tetapi juga di kalangan pejabat pemerintah dan anggota lembaga legislatif, baik di Pusat maupun di daerah. Padahal, mereka mempunyai tanggungjawab untuk menjelaskan tentang Otonomi Khusus secara benar dan jelas.

2.Adanya sikap saling tidak percaya (distrust)

Pengalaman yang dialami oleh rakyat Papua, pada masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru telah membuat sebagian rakyat Papua sudah tidak percaya terhadap Otonomi Khusus yang ditawarkan Pemerintah Pusat. Di sisi lain, di pihak Pemerintah Pusat ada kalangan tertentu yang khawatir bahwa UU Otonomi Khusus akan lebih mendorong perjuangan rakyat Papua untuk merdeka.

3.Sangat lambannya proses penyusunan peraturan-peraturan pelaksanan (PP, Perdasi, dan Perdasus)

Salah satu penyebab utama dari lambatnya hal tersebut karena Tim Asistensi Otonomi Papua, yang anggotanya terdiri dari para Intelektual Papua tidak dilibatkan secara penuh dan utuh dalam penyusunan draft rancangan peraturan pelaksanaan. Tanpa keterlibatan Tim ini, tidak hanya prosesnya menjadi lambat, tetapi juga dapat terjadi “missing link” antara nilai dan norma dasar yang diatur dalam undang-undang Otonomi Khusus.

4.Penyerahan kewenangan dan sumber daya yang tidak konsisten dan setengah hati oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah

Dalam banyak hal Pemerintah Pusat (dalam hal ini departemen-departemen tertentu) belum siap secara mental untuk menyerahkan semua kewenangan dan sumber daya yang dimilikinya. Bahkan ada kewenangan tertentu yang sudah diserahkan, tetapi kemudian ditarik kembali, sehingga terjadi “tari-ulur” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Contohnya, di sahkannya PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 76 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.

Salah satu esensi dari Otonomi Khusus yang sesungguhnya yaitu tidak saja bagian terbesar kewenangan diserahkan kepada Propinsi Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, tetapi selaras dengan itu, semua potensi untuk memperoleh dana di daerah secara penuh dikelola oleh Pemerintah Propinsi Papua.

5.Kesiapan Pemerintah Daerah untuk menerima dan mengambil aalih kewenangan, sumber daya, tugas, dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat

Kita semua memahami, dalam hal kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan dan manajemen yang dimiliki Pemerintah Daerah belum memadai untuk memikul dan mengemban kewenangan, tugas dan tanggungjawab yang di serahkan Pemerintah Pusat. Sehingga kecenderungan memunculkan matinya inisiatif dan kreativitas Pemerintah Daerah. Masalah lain adalah pengawasan, transparansi dan akuntabilitas yang belum berjalan sebagaimana mestinya, sehingga membuka peluang terjadinya korupsi.

6.Pemekaran Propinsi Papua

Salah satu masalah yang menimbulkan pro dan kontra, baik di pusat maupun daerah adalah keluarnya Inpres No. 1 tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No. 45 tahun 1999 tentang Pemekaran Propinsi Irian Jaya Barat, Tengah, dan Timur serta beberapa Kabupaten yang bertentangan dengan UU Otonomi Khusus, karena dengan adanya Putusan MK No. 18/PUU-I/2003, UU No. 45 tahun 1999 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah Papua harus dapat dilakukan dengan mengubah total semua praktek-praktek pembangunan di masa lalu, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang mengabaikan maupun melanggar HAM rakyat Papua. Penggunaan pendekatan keamanan dan kekuatan militer yang berlebihan dan melanggar HAM di masa lau, yang mengakibatkan banyak rakyat Papua hidup dalam rasa takut, harus dihilangkan di era Otonomi Khusus ini. Rakyat Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum itu berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam suatu sistem yang professional dan bebas dari intervensi pihak manapun, serta para penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001.  UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan, kekerasan Negara, penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua. Setelah Otonomi Khusus dan UP4B dinyatakan gagal, sekarang Pemerintah Indonesia menyatakan Otonomi Khusus Plus.

Solusi yang di tawarkan

Untuk menyelesaikan secara tuntas, adil, dan bermartabat, semua pelanggaran HAM yang pernah terjadi di waktu lalu termasuk sejak 1 Mei 1963 maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi perlu memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban, keluarga korban, atau ahli waris korban pelanggaran HAM di Tanah Papua menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam adat istiadat suku-suku di Papua; danUpaya untuk terus membuka pintu bagi dialog-dialog dalam bentuk persuasif bukan dengan cara konfrontatif yang bertujuan meluruskan sejarah politik Papua di masa lalu merupakan hal penting. Pelurusan sejarah ini perlu dilakukan dalam rangka mencari kebenaran hakiki yang hingga kini terus dipertanyakan banyak pihak di Tanah Papua. Pelaksanaan Otonomi Khusus harus mampu mewadahi proses ini secara damai dan bermartabat, sekaligus mampu membangun kerangka-kerangka dasar penyelesaian berbagai masalah terkait pelurusan sejarah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun