Biasanya jika aku dan kamu sedang bersama, pergi ke taman adalah opsi teratas yang akan dilakukan. Biasanya sepasang kekasih pergi ke taman pagi, sore, atau malam hari, tapi aku dan kamu tidak. Kita pergi siang hari, kala matahari sedang terik-teriknya, kita duduk di salah satu kursi taman, di bawah pohon rindang yang bergoyang-goyang mengikuti arus angin. Mengapa? Mengapa kita lebih menyukai siang hari ketimbang pagi, sore, atau malam? Entahlah, mungkin karena sepi? Atau karena kita bukan sepasang kekasih?
Kita bukan siapa-siapa, tak perlu peristiwa romantis kala bertemu, aku tak perlu marah atau bawel jika rindu. Aku akan terus terang mengatakannya jika hal itu terjadi. Namun, kamu tak pernah membuatku merasa rindu sebab kamu setiap hari ada dihadapanku. Kalau aku sedang ingin sendiri, nyatanya aku tak benar-benar sendiri. Ketika aku ingin sendiri, aku pergi ke taman ini dan selalu menemukanmu di sini. Aku sampai berpikir bahwa kamu juga sedang rindu, tapi ada alasan yang membuatmu tidak menemuiku.
Kalau kita pergi ke taman, kita duduk di kursi besi, menatap sekeliling, tiba-tiba saja topik pembicaraan sudah berbaris rapi menunggu diucap. Ada sebuah motor yang diklakson oleh mobil dibelakangnya karena lambat berjalan. Kita berbeda pendapat, kamu merasa gadis itu sedang latihan motor dan aku merasa gadis itu memang sengaja mengemudi pelan. Seekor kucing tiba-tiba melintas di kaki membuat kita berdebat, kucing itu kabur dari pemiliknya atau ia adalah kucing jalanan. Seorang lelaki paruh baya yang ada diujung taman berjualan minuman, aku dan kamu suka kopinya. Walau sama-sama suka, kami pun membicarakan itu, merundingkan sebab apa yang menjadikan kopi itu enak. Kalau kita sudah ada di jalan buntu, aku dan kamu bertanya pada bapak itu.
“Resepnya apa Pak biar kopinya enak?” Padahal itu hanya kopi sachet yang dibuat dengan tata cara umum yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Namun, kami tetap menyangkal, pasti penjual itu memiliki resep rahasia.
Namun, hari ini aku ada di taman sendiri. Kalau kemarin aku mengatakan tak pernah merindukanmu, sekarang aku rindu kamu. Aku akan mengatakannya langsung padamu kalau aku rindu, tapi kali ini tidak bisa kulakukan. Bukan aku yang membuat tak bisa mengatakannya, tapi keadaan ini yang memaksa untuk aku memendam.
Jam satu siang, hari Minggu, hari favorit aku dan kamu jika menghabiskan waktu di taman. Aku membeli kopi sendiri sampai bapak penjual kopi pun bertanya-tanya, “Mas, nya di mana, Mbak?” Aku menggeleng pelan. Malas menanggapinya karena aku pun tak tahu harus menjawab apa.
Aku duduk di kursi besi panjang yang biasanya kita tempati untuk berbincang. Kali ini, tak ada gadis pengemudi motor yang berjalan lambat, tak ada seekor kucing yang melintas di kaki, hanya ada secangkir kopi.
Kamu di mana? Aku tak lagi bisa bilang rindu kalau kamu memiliki kekasih. Kamu punya kekasih dan kisah ini bakal berubah. Aku tak akan mengatakannya. Aku akan diam, tidak lagi mau membuka obrolan bahkan melalui WhatsApp.
Namun, kapan pesan itu sampai? Kapan bertanya kabarku? Aku dan kamu tiba-tiba merenggang. Dulu kamu pernah berkata, katanya orang yang pertama kali kamu hubungi adalah aku, tapi sekarang sudah tidak, ya?
Pada akhirnya, pukul tiga sore—taman mulai ramai, biasanya aku dan kamu bergegas pergi, tapi sekarang aku tetap di sini dengan secangkir kopi. Keramaian ini tak dapat mengusirku dari bayang-bayang kenangan bersamamu.