Siang yang cerah tanpa awan hanya ada terik matahari yang menyengat, aku dan kakakku sedang duduk di sebuah kafe dipinggiran kota Yogyakarta. Seperti di saat waktu senggang lainnya, kita berdua selalu pergi bersama untuk saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Kakakku, Stella telah menikah dengan seorang pria beberapa waktu yang lalu. Pria yang dikenalnya saat bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Sedangkan aku, adalah seorang wanita yang akan segera menikah. Pria yang aku kenal di sebuah gereja tempatku sering beribadah.
Sambil menunggu pesanan, aku dan Stella sibuk dengan gadget masing-masing. Aku bermain game di gadget baruku, sedang Stella ketagihan bermain social media di gadgetnya. Tak ada menit yang berlalu tanpa memposting hal-hal yang menurut aku sama sekali gak penting. Setelah menunggu sekita 15 menitan, pesanan kita akhirnya datang. Stella memesan tiramisu dan gue memesan strawberry shortcake. Stella memandang bergantian dari aku ke shortcake, "kamu masih aja suka kue itu?" Sebuah pertanyaan sederhana tapi aku tahu maksud kenapa kakakku bertanya seperti itu. strawberry shortcake, awal dan akhir dari kisah cinta gue yang terjadi sebelum aku mengenal tunanganku. Sebuah kisah yang akan sulit aku lupakan. Tujuh tahun yang lalu, di kafe ini aku bertemu dengan Ethan, pacar pertamaku. Saat itu suasana kafe begitu ramai sehingga aku harus berbagi tempat dengan Ethan. Awalnya kami hanya diam saling mengacuhkan. Aku merasa tidak akan ada obrolan di antara kita berdua. Tapi saat pesanan kita diantar oleh pelayan, semuanya berubah. Ternyata pesanan kita berdua sama, strawberry shortcake. "Kamu pesan ini juga?" tanyaku padanya. "Iya, ternyata pesanan kita sama," jawabnya sambil tersenyum. "Tapi, pesanan kita gak seratus persen sama." Aku bingung dengar kata-katanya, sampai aku melihat perbedaan di strawberry shortcake miliknya yang tidak menggunakan hiasan buah strawberry diatasnya. "Aku suka strawberry shortcake tapi entah kenapa aku gak suka makan strawberry," katanya menjelaskan. "Kamu aneh," kataku singkat. "Banyak yang bilang begitu," katanya tertawa sambil melahap sepotong kecil kuenya. Aku memandangnya dengan heran. Tapi entah kenapa saat dia tersenyum dan tertawa membuatku tersenyum geli. Lalu tiba-tiba aku menyodorkan tanganku kearahnya, "kenalin namaku Novi." "Eh," katanya kaget. "Ada apa dengan diriku sie??? kok tiba-tiba ngajak kenalan duluan" pikirku. "Namaku Ethan," katanya setelah berhasil mengatasi kekagetannya. Setelah perkenalan singkat dari aksi agresifku, kita berdua duduk mengobrol cukup lama di kafe itu. Sebuah pertemuan yang akhirnya membuatku mempunyai pacar pertama. Aku dan Ethan menjalani hubungan cukup lama sekitar empat tahun. Saat bersamanya, aku menjadi semakin mengenalnya dengan baik. Ethan, walau orangnya sedikit aneh tapi dia baik dan pengertian sama aku. Tapi, semua berubah setelah tiga tahun kita pacaran. Dia menjadi aneh, mulai dari gampang marah dan menjadi tidak peduli sama aku. Sampai akhirnya aku mengambil keputusan setelah tidak ada perubahan dalam dirinya untuk mengakhiri hubungan kita berdua. Dan untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis dihadapanku. Sempat Ethan memintaku untuk membatalkan putusanku, tapi aku bergeming. Walau hatiku sakit harus mengakhiri hubunganku dengan Ethan tapi semua demi kebaikan kita berdua. Dua tahun kemudian, aku sudah berhasil move on dari Ethan. Aku sendiri sudah memiliki pacar baru yang aku temui di gereja. Saat aku berfikir semuanya akan berjalan baik dan tidak akan terjadi apa-apa, Ethan muncul kembali dalam kehidupanku. Sebenarnya dia tidak berniat muncul kembali di kehidupanku, tapi Tuhan berkata lain. Melalui kakakku, Stella, kita bertemu kembali dalam keadaan yang tidak normal. Terlebih bagi Ethan. Saat-saat pertemuanku dengan Ethan, Stella sebenarnya sudah bertingkah aneh. Dia jarang berada di rumah. Beberapa kali dia pergi ke suatu tempat yang dirahasiakannya. Dia juga sering mendapat telepon dari beberapa orang. Hingga suatu pagi, dia mendapat telepon dari seseorang dan wajahnya langsung terlihat cerah. Siangnya Stella mengajakku pergi ke rumah sakit, saat aku bertanya siapa yang sakit, Stella menolak memberitahuku. Dalam perjalanan ke rumah sakit, kami mampir ke sebuah toko kue untuk membeli sepotong strawberry shortcake. Aku merasa aneh, karena kakakku sebenarnya kurang begitu suka dengan rasa strawberry shortcake. "Buat siapa sie kuenya, kak? Bukannya kita mau jenguk seseorang?" tanyaku penarasan. "Nanti kamu juga tahu. Uda jangan banyak tanya deh kamu," jawab Stella. Sesampainya di rumah sakit, aku begitu kaget. Karena disana sudah banyak orang. Dan hampir semuanya aku kenal. Ada beberapa temanku dan teman Ethan sedang menunggu di depan ruang ICU. Dan aku lebih kaget saat ada dua orang keluar dari ruang ICU yang ternyata adalah orang tua Ethan. "Tante... Om... " Tiba-tiba saja Mama Ethan memelukku dan mengucapkan terima kasih karena aku telah mau datang. "Emang siapa yang sakit tante?" tanyaku bingung. "Kamu tidak tahu, Nov?" Aku menggelengkan kepala. "Ethan, anak tante yang sakit. Sudah dua tahun ini Ethan sakit kanker otak. Dan sudah seminggu ini dia koma. Dan baru tadi pagi dia sadar. Saat sadar Ethan mau ketemu kamu dan makan strawberry shortcake," jelas Mama Ethan. "Kanker otak, tante?" tanyaku tidak percaya. "Tapi... tapi... dua tahun lalu??? Kenapa Ethan tidak bercerita sama aku tante?" "Karena dia tidak mau menyusahkanmu. Kamu tahu karakter Ethan, dia selalu menyembunyikan semuanya sendiri. Tante sudah berusaha membujuk Ethan agar kamu tahu kondisinya, tapi dia menolak keras. Sampai akhirnya kamu memutuskannya, dia masih bersikeras tidak mau memberitahumu. Dia bilang kalau kamu bersamanya hanya kesedihan yang akan kamu rasakan." Mendengar penjelasannya, aku menangis hebat. Aku menyadari ternyata aku yang tidak bisa mengerti Ethan. Selama ini aku mengira dia lah yang tidak bisa mengerti aku. Stella tiba-tiba memelukku dan berkata, "ayo masuk kedalam sambil bawa kuenya." Aku mengusap air mataku dan berjalan menuju ruang ICU tempat Ethan dirawat. Aku berusaha tegar sebelum menemui Ethan. Tapi, aku tidak bisa menahan air mataku lagi saat melihat Ethan terbaring lemah di tempat tidurnya. Badan Ethan lemah dan kurus, wajahnya pucat seperti kekurangan darah. Rambutnya yang lebat sekarang habis karena proses kemoterapi yang dijalaninya. Ethan melihatku dan tersenyum lemah. Stella mendorongku yang berdiri terpaku didepannya. "Kamu sudah baikkan Ethan?" tanya Stella. "Aku dengar kamu sadar tadi pagi dan pengen ketemu Novi." Ethan hanya tersenyum singkat. "Ini aku bawakan kedua permintaanmu," kata Stella sambil mendorong gue maju kehadapannya. "Adikku dan strawberry shortcake pesanannmu. Tapi apa kamu boleh makan kue ini?" "Aku sudah tanya sama dokter. Kalau cuma sepotong kecil tidak masalah." "Kalau begitu aku tinggalkan kalian berdua," kata Stella sambil beranjak pergi. Hanya ada aku dan Ethan diruangan itu. Suasana kaku, mengingat pertemuan terakhir kita berdua. "Bantu aku buat duduk," kata Ethan memecah keheningan. "Maaf, aku lagi-lagi menyusahkanmu. Padahal aku berkeinginan untuk tidak menyusahkanmu tapi sudah bakat alamiku sepertinya buat nyusahin kamu. Tapi aku janji ini yang terakhir kalinya." Aku masih diam tak berkata apa-apa selama beberapa menit. "Suapin donk," kata Ethan manja. Aku menyuapkan sepotong kecil strawberry shortcake ke mulutnya. "Ehm, rasanya tidak akan pernah terlupakan. Suapin aku strawberrinya." "Ha???" tanyaku kaget "Iya, strawberrinya. Aku mau makan strawberrinya. Bukannya aneh suka strawberry shortcake tapi gak suka strawberrinya. "Kenapa?" Air mata jatuh menetes dari kedua mataku. Pertahananku yang kubangun hancur seketika saat melihatnya tergeletak lemah di tempat tidurnya. "Hapus air matamu. Jangan kamu buang air matamu untuk lelaki sepertiku," kata Ethan lemah. "Tapi kenapa kamu tidak cerita kepadaku?" "Kamu sudah tahu jawabannya," jawab Ethan singkat. "Bisa kamu suapkan strawberrinya atau aku yang harus mengambilnya sendiri." Aku lalu mengusap air mataku dan menyuapkanny strawberri yang dimintanya. "Uhm, rasanya asam. Jadi ini rasa asli buahnya," kata Ethan sambil mengunyah strawberri. Ethan lalu menatapku lekat-lekat dan tersenyum. "Terima kasih kamu mau datang, sekarang pulanglah." "Tapi...." "Pulanglah, aku baik-baik saja. Apalagi setelah bertemu denganmu," katanya pelan. Aku menuruti kemauannya karena merasa dia butuh istirahat. Tidak sampai tiga langkah, Ethan memanggilku lagi. "Nov, pegang tanganku sebentar!" pintanya. Entah kenapa aku tidak bisa menolaknya. Aku berjalan mendekat lalu menggenggam erat jemari tanganya. Ingin rasanya aku mencurahkan seluruh perasaanku dalam genggaman tangan itu. Ingin ku sampaikan padanya aku masih mencintainya. Tapi tidak ada yang keluar dari mulutku. Ethan lalu melepas genggamannya perlahan. Tapi aku tidak ingin melepaskan genggamannya, seakan jika aku melepaskannya aku tidak akan bisa menggenggamnya lagi. Sambil melepas genggamannya, Ethan tersenyum persis saat kita pertama kali bertemu. Perasaan sayang yang muncul seketika membuatku mendekat kepadanya dan mencium keningnya. "Aku tahu sejak dulu," kata Ethan. "Tahu apa?" tanyaku. "Pergilah, biarkan aku beristirahat dengan tenang," pintanya tanpa menjawab pertanyaanku. Aku meninggalkannya dengan perasaan yang tidak enak. Sebelum aku keluar dari ruangan ICU aku menoleh kearahnya lama, seakan ini akan menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Aku dan kakakku lalu berpamitan kepada keluarga dan teman-teman Ethan. Mereka berjanji akan selalu memberi kabar kepadaku. Sesampainya dirumah, hatiku tidak tenang seakan ada sesuatu yang salah. Perasaan yang mendorong aku untuk berada didekat Ethan lebih lama lagi. Tapi aku berusaha menyingkirkan perasaan itu. Aku berpikir Ethan akan sembuh jika melihat kondisinya tadi. Aku lalu kembali ke kamarku untuk tidur. Tapi entah kenapa aku selalu kepikiran soal Ethan. Dan hal aneh terjadi pada diriku setelah itu, aku melihat kardus yang berisi barang yang pernah diberikan Ethan padaku ada diatas lemari. Selama ini aku telah melupakannya sehingga tidak memperhatikan kardus itu lagi. Aku buka kardus itu, dari terdapat barang-barang yang pernah diberikan oleh Ethan kepadaku. Beberapa boneka, baju, aksesoris dan sebuah gelas yang bergambar foto kita berdua. Aku ambil gelas yang telah berdebu itu. Aku lalu turun ke dapur untuk mencuci gelas yang kotor itu. Aku tidak berniat memakainya lagi tapi entah kenapa aku mencucinya, aku lalu meletakkan gelas itu dimeja. Saat hendak kembali ke kamarku. Tiba-tiba terdengar suara bendah pecah menghantam lantai. Saat aku melihat apa yang jatuh, ternyata gelas pemberian Ethan lah yang pecah berantakan di lantai. Perasaanku menjadi tidak karuan saat itu. Cepat-cepat aku sapu pecahan gelas itu agar tidak terinjak oleh siapapun. Tak lama, kakakku turun kebawah sambil terengah-engah. "Nov, Ethan sudah gak ada." Butuh waktu lama aku mencerna apa yang dikatakan kakakku. Badanku bergetar, setetes demi setetes air mataku jatuh tidak tertahankan. Kakakku mendekat dan memeluk erat tubuhku yang bergetar hebat. "Kita harus merelakannya, Nov. Aku benar-benar tidak menyangka kalau pertemuan tadi adalah pertemuan terakhir kita dengannya." "Aku mau melihatnya, kak. Aku mau melihatnya!!!" kataku histeris. "Iya... iya... kita akan menemuinya," kata kakakku menenangkan. Aku dan keluargaku segera menuju ke rumah duka tempat Ethan akan dibawa. Disana aku melihat Ethan sudah dimandikan dan dibaringkan di peti mati. Aku mendekat untuk melihatnya. Wajahnya pucat seperti terakhir kali aku melihatnya tapi ada seberkas senyum bahagia diwajahnya. Seakan apa yang diharapkannya telah terwujud. "Novi," panggil seseorang. Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat mama Ethan lah yang memanggilku. Tidak ada air mata diwajahnya tapi kesedihan yang mendalam kehilangan salah seorang anaknya tidak dapat terhapuskan. "Ya, ada apa tante?" "Ethan menitipka ini kepada tante buatmu," kata mama Ethan sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku. "Terima kasih, tante." Kubuka surat itu. Disurat itu hanya tertulis tiga kata yang sanggup dicurahkan Ethan melalui tulisan tangannya.
aku mencintaimu selamanya
Kubekap surat itu dan air mataku jatuh lebih deras daripada sebelumnya. Semakin deras air mataku jatuh saat aku menyadari jauh di dalam lubuk hatiku aku juga mencintai Ethan. "Hoi!!!!!" Aku tersentak bangun dari lamunanku tentang masa laluku. "Kenapa kamu bengong adikku sayang???" tanya kakakku menggoda. "Gak kenapa-napa," jawabku singkat. "Ah, kamu pasti lagi mikirin si Eth.... " Stella tidak melanjutkan kata-katanya lagi karena tidak mau membangunkan lagi ingatan tentang Ethan. "Iya, aku memikirkannya tadi," kataku terus terang. Stella hanya terdiam tidak mau melanjutkan pembicaran mengenai Ethan. Dia mengetahui jika Novi tidak akan pernah bisa melupakan Ethan sampai kapan pun. "Aku tidak akan pernah melupakanmu. Tapi aku juga tidak akan mengingatmu, Ethan," pikirku sambil menyendokkan sesuap strawberry shortcake ke dalam mulutku. "Tapi, aku akan menyimpannya dihati dan pikiranku."
http://bangauberanjakdewasa.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H