Beberapa waktu belakangan ini, beredar berita tak sedap terhadap Joko Widodo atau Jokowi. Sosok Calon Presiden (Capres) yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura ini diduga terlibat dengan kasus korupsi pengadaan dan peremajaan bus TransJakarta. Berita ini muncul setelah mantan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) DKI Jakarta Udar Pristono ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tersebut.
Sontak saja berita itu seakan menjadi amunisi ampuh bagi kubu Prabowo-Hatta (PraHara). Dengan berbagai cara, berita itu kemudian digoreng untuk menjatuhkan popularitas dan elektabilitas pasangan Jokowi-JK. Salah satunya dilakukan saat diskusi di stasiun televisi.
Dalam salah satu tayangan diskusi di televisi, Fahry Hamzah, yang merupakan tim sukses (timses) Pra-Hara, dengan lantang dan bersemangat menyatakan bahwa Jokowi terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan dan peremajaan bus TransJakarta. Bahkan Fahry menyatakan bahwa kasus ini akan sama seperti kasus yang dihadapi oleh Wapres saat ini, Boediono. Maksudnya, jika Jokowi terpilih sebagai Presiden maka bangsa ini harus tersandera selama lima tahun hingga masa jabatan itu berakhir agar kasus tersebut dapat diselesaikan.
Selain melalui pernyataan-pernyataan seperti diatas, kasus itu kemudian dipolitisasi dengan cara melibatkan Eggy Sudjana sebagai penasihat hukum Udar Pristono. Seperti diketahui, Eggy Sudjana merupakan anggota timses pasangan Pra-Hara, lawan yang dihadapi Jokowi-JK pada pilpres kali ini. Tentu akan ada motivasi tersendiri dibalik keterlibatan Eggy sebagai penasihat hukum Udar.
Namun berita tak sedap itu kemudian menjadi mentah kembali ketika Udar Pristono mengaku bahwa dia menyeret nama Gubernur DKI Jakarta Jokowi karena kecewa lantaran dicopot sebagai Kadishub DKI Jakarta.
Pasca mencuatnya kasus bus TransJakarta tersebut, Udar Pristono segera dimutasi oleh Jokowi. Jokowi ingin melaksanakan good governence serta memberikan kesempatan pada Udar Pristono untuk menghadapi kasus yang membelitnya tersebut. Namun rupanya sikap tegas Jokowi itu dilihat dengan sudut pandang lain. Udar Pristono merasa Jokowi sebagai gubernur tidak mengayomi dan membela, malah menurunkan dia dari jabatannya.
Selain itu, alasan lain bahwa Jokowi tidak terlibat kasus dugaan korupsi pengadaan dan peremajaan bus TransJakarta adalah karena Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta telah mengalihkan wewenangnya sebagai Pengguna Anggaran (PA) kepada Udar Pristono sebagai Kadishub Jakarta. Itu berarti tanggung jawab diserahkan sepenuhnya kepada Udar Pristono sebagai Pengguna Anggaran dan tanggung jawab gubernur putus.
Pengalihan wewenang tersebut dituangkan dalam Surat Ketetapan (SK) Gubernur Nomor 28-2 tentang pelimpahan wewenang Gubernur selaku Pengguna Anggaran (PA) kepada Kadishub Jakarta yang menyelenggarakan proyek pengadaan dan peremajaan bus TransJakarta.
Bila dilihat dari SK tersebut, berarti benar bahwa Gubernur tidak terlibat lagi dalam proyek pengadaan dan peremajaan bus TransJakarta. Artinya, tanggung jawab Gubernur putus. Semua sudah diserahkan kepada Udar Pristono sebagai Kadishub.
Jadi, jika kemudian saat dilakukan pemeriksaan oleh Irwasda Jakarta, ataupun pihak berwenang lainnya, ditemukan adanya bus TransJakarta yang berkarat dan tidak memenuhi syarat, semua itu menjadi tanggung jawab Kadishub sebagai Pengguna Anggaran. Udar Pristono sebagai Pengguna Anggaran-lah yang menentukan spesifikasi bus TransJakarta serta perusahaan yang memenangi lelang tersebut.
Ini yang tidak diketahui dan kurang dipahami oleh masyarakat, termasuk juga oleh timses Pra-Hara. Timses tersebut merasa bahwa jika Udar Pristono sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam statusnya sebagai Kadishub Jakarta, maka Gubernur sebagai atasan langsung juga akan ikut terlibat. Dan hal tersebutlah yang kemudian digoreng dan dipolitisasi untuk menjatuhkan integritas Jokowi dihadapan pemilih.
Bahkan kemudian beredar kabar tak sedap lainnya terkait kasus tersebut. Disebutkan bahwa Jokowi telah memerintahkan seorang purnawirawan Jenderal yang sangat berpengaruh untuk menekan Kejaksaan Agung agar tidak memeriksa Jokowi. Bagaimana mungkin seorang sipil seperti Jokowi bisa memerintahkan seorang pensiunan jenderal untuk melakukan hal tersebut?
Semakin mendekati pilpres tanggal 9 Juli nanti, serangan pada Jokowi semakin masif dilancarkan. Semua celah digunakan untuk menghantam dan menghancurkan elektabilitas Jokowi dan JK. Termasuk menyebarkan fitnah dan kabar tak sedap.
Berkaca dari apa yang dialami dan dilakukan oleh Udar Pristono, sakit hati dan perasaan kecewa seringkali membuat manusia tidak dapat berpikir jernih melihat sebuah kejadian ataupun orang lain. Yang ada didalam dirinya adalah ingin menyeret orang lain, yang sebenarnya tidak terlibat, agar merasakan sakit hati dan kekecewaan itu bersama-sama.
Andaikan manusia yang sedang sakit hati dan kecewa itu mau merenung dan berdiam diri sejenak, maka dia akan dapat menentukan langkah apa yang harus dipilih dan diambil. Sehingga orang lain yang tidak terlibat tidak harus mengalami hal sama, seperti yang dialami dirinya.
Salam
24052014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H