5.Perbuatan khusus untuk negara berkembang (Special dan Differential Treatment for developing countries -- S&D).
WTO juga mempunyai pengistimewaan dari prinsip-prinsip dasar. Ini diberlakukan untuk negara anggota ketika menghadapi situasi tertentu. Tujuannya untuk melindungi nilai-nilai dan keutamaan sosial yang dianggap penting. Meskipun demikian, kebijakan ini dianggap berseberangan dengan kedisiplinan yang termaktub dalam GATT 1994. Adapun pengistimewaan dari prinsip dasar WTO yaitu :
- Pengistimewaan dalam Pasal 20 GATT 1994. Pada pasal ini berisi tentang suatu negara diperbolehkan untuk melakukan perlambatan perdagangan dengan tujuan untuk melindungi keselamatan seperti tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan, konservasi hutan, importasi barang yang tidak sesuai dengan moral, dan lainnya.
- Pengistimewaan dalam Pasal 14 GATS. General Agreement on Trade in Services atau perjanjian tentang perdagangan jasa, delegasi WTO diperbolehkan untuk melegitimasikan tindakan yang tidak sesuai dengan kebijakan GATS.
- Pengistimewaan dalam kondisi krisis ekonomi. Emergency Protection adalah tindakan perlindungan terhadap industri domestik saat terjadi situasi ancaman yang berdampak serius pada saat ingin melakukan impor. Tindakan ini sangat berseberangan dengan Pasal 2 dan Pasal 11 GATT 1994, tetapi bisa dilegalkan dengan pasal 19 GATT 1994 yang berisi tentang aksi perlindungan perdagangan yang dapat diterapkan jika tiga persyaratan tersebut telah terpenuhi.
- Pengistimewaan untuk Pembangunan Ekonomi. Nyaris keseluruhan dari perjanjian di WTO berisi tentang perlakuan khusus (Special and Differential Treatment). Namun, ini berlaku bagi delegasi yang berasal dari negara berkembang untuk menyediakan kesempatan agar bisa bersatu dalam sistem perdagangan dunia, sehingga membawa ke arah pembangunan ekonomi.
Apakah WTO telah berlaku adil sesuai tujuan, fungsi, dan prinsipnya????
Fakta yang ada di lapangan justru menunjukkan bahwa pada beberapa kasus, WTO justru semakin memperdalam jurang antara negara maju dan berkembang. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Ini bisa kita lihat dari pendapat Joseph E. Stiglitz Stiglitz, seorang tokoh globalisasi, yang mengatakan bahwa kebijakan yang diambil oleh organisasi ekonomi politik internasional seperti WTO dalam proses globalisasi, dimulai kurang ramah bagi keinginan negara berkembang. Ini berlandaskan pengalamannya ketika berada di Bank Dunia dan Gedung Putih.
Stiglitz berpendapat bahwa, negara maju mewajibkan negara berkembang untuk menghapuskan halangan dalam perdagangan, tetapi yang terjadi sebaliknya. Negara majulah yang mempertahankan hambatan dari perdagangan tersebut. Selain itu, negara maju juga mencegah negara berkembang agar tidak mengekspor hasil pertanian. Ini mengakibatkan berkurangnya pendapatan negara berkembang dari segi ekspor.
Tidak hanya itu, Stiglitz juga mengatakan bahwa negara anggota WTO belum menjalankan perjanjian dengan baik yang membuat perdagangan bebas ini tidak berhasil. Lebih-lebih kesepakatan yang diwujudkan ternyata bukan kesepakatan yang adil dan bebas, melainkan kesepakatan yang tidak seimbang. Hanya negara berkembang yang menyediakan pasarnya bagi arus barang dan jasa dari negara maju, tetapi tidak ada balasan yang seimbang dari kegiatan tersebut. Ini berdampak pada negara berkembang yang mengalami kerugian.
Chakravarti Raghavan, seorang delegasi dari Third World Network memiliki pandangan yang sama dengan Stiglitz. Secara umum, ia melihat dari pandangan negara berkembang, terutama negara miskin, bahwa sistem perdagangan bebas yang berada di bawah WTO lebih berdampak negatif daripada positif. Hal ini disebabkan oleh aturan yang berada di dalam WTO bersifat kurang jelas dan mengikat bagi negara maju, tetapi bagi negara berkembang aturan tersebut bersifat spesifik bahkan sulit untuk dilanggar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H