"Saya menangis untuk negerimu," ucap Steve prihatin, tepat di daun telinga Tia.
"Kamu tahu, saya tidak pernah merasa memiliki suatu negeri. Saya cuma punya paspor, sekedar tanda bahwa saya tinggal di sini, bukan di tempat lain," suara Tia terdengar sedih.
Sambungan telepon kali ini sangat jernih hingga Tia bisa mendengar helaan nafas Steve.
"Look. Saya di sini dan kamu di sana, 12 jam bedanya, ribuan mil jaraknya, tapi kita seperti berada di satu tempat yang sama. Saya bisa duduk di sini dan keliling dunia. Membaca buku-buku tanpa membelinya."
"Ya. Dunia sudah menjadi sebuah kampung global. Bahkan lebih sempit lagi. Ia bisa kita taruh di atas meja, atau di pangkuan kita, atau dalam genggaman." Steve bagai bergumam.
"Sekarang ini juga saya bisa melihat kejadian di Mesir, lalu Korea Utara, atau Jalur Gaza, sambil menyiapkan makan siang."
"Dan saya bisa tahu ada orang membakar gereja di kota kelahiran ayahmu, Tia."
Steve dan Tia terdiam beberapa saat.
"Ada saatnya saya berpikir, untuk apa memilih suatu agama kalau itu berujung malapetaka."
"Ceritakan padaku, Tia. Kamu terdengar putus asa."
"Iman semestinya melembutkan hati. Iman semestinya membebaskan dari kebatilan. Menjadi jembatan yang mengantarkan diri yang hina menuju diri yang sempurna."