Partisipasi politik adalah cerminan Negara demokrasi yang melibatkan masyarakat dalam setiap kebijakan dan keputusan pemerintah dalam mewujudkan good government (Pemerintahan yang baik). Partisipasi politik jika dikaitkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah ikut serta aktif dalam setiap kegiatan politik. Partisipasi politik dibutuhkan dalam mengawal suatu kebijakan ataupun setiap keputusan yang diambil oleh para pemimpin dan pejabat pemerintahan.
Bentuk partisipasi politik merupakan indikator kesadaran sejauh mana sikap dari seseorang untuk ikut berpartisi dalam setiap proses politik. Menurut teori budaya politik Gabriel Almond, bentuk partisipasi politik itu diwujudkan dalam tiga karakteristik yaitu:
- Parochial political culture (Budaya Politik Parokial), yaitu budaya politik dengan tingkat keikutsertaan masyarakat dalam sebuah kegiatan politik seperti pemilihan umum itu sangat rendah bahkan bisa dikatakan acuh (Golput).
- Subject political culture (Budaya politik kaula) yaitu budaya politik dengan tingkat keikutsertaan masyarakat yang masih pasif. Partisipasi politik kaula telah memiliki kesadaran dan pemikiran untuk aktif berpartisipasi dalam politik namun enggan untuk melakukannya, sehingga orientasi mereka hanya melihat suatu kebijakan atau keputusan pemerintah dari sudut pandang subjektifitasnya sehingga hanya menjustifikasi hal itu sebagai suatu keadaan yang baik atau buruk bagi mereka.
- Participant political culture (Budaya politik partisipan ), yaitu budaya poliitik dengan tingkat kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan politik sudah sangat tinggi. Masyarakat sudah menyadari bahwa peran, suara serta kontribusi aktif mereka sangat dibutuhkan dalam setiap kebijakan dan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Budaya politik partisipan inilah yang sangat dibutuhkan dalam mengawal setiap kebijakan dan keputusan dari pemerintah, sehingga opini masyarakat akan menjadi sebuah evaluasi terhadap kinerja pemerintah dan bisa menunjukkan bahwa dalam satu periode kepemimpinan, janji-janji manis apa saja yang telah mereka buktikan setelah mereka memangku jabatan dan permasalahan apa yang ditimbulkan oleh kebijakan yang mereka keluarkan.
Menurut Bolgherini, "Partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa".Tetapi dalam realita kehidupan masyarakat di Indonesia yang masih dikategorikan Negara berkembang, partisipasi politik belum terlihat dalam upaya mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah.Â
Misalkan baru-baru ini kita diramaikan dengan disahkannya Undang-Undang MD3, tetapi apakah masyarakat dapat mengawal dan mempengaruhi secara langsung proses pengesahan Undang-Undang tersebut, karena pada kenyataannya reaksi dan respon mereka muncul setelah Undang-Undang itu disahkan oleh DPR dan hanya orasi-orasi yang tak berujung lah yang mahasiswa dan masyarakat lakukan terkait disahkannya Undang-Undang itu. Hal ini timbul karena belum terbentuknya budaya politik partisipan dari masyarakat dan hal yang paling mempengaruhi adalah para kaum elit politik lah yang menguasai berbagai kepentingan sehingga apapun suara lantang dari masyarakat terkait kebijakan ataupun keputusan pemerintah hanya dianggap angin lalu.
Sebagai rakyat biasa yang tidak memegang jabatan struktural dalam pemerintah ataupun sebagai kader partai politik memang partisipasi politik belum dilakuakan secara maksimal. Apalagi masyarakat berpenghasilan rendah yang keadaan ekonominya sulit, mereka semua dapat dikatakan sebagai kau pinggiran yang dalam kegiatan politik memang tidak diberikan ruang yang banyak dalam partisipasi politik sehingga partisipasi politik mereka rendah. Jangankan untuk ikut berpartisipasi dalam politik menyambung kehidupan pun mereka mengorbankan setengah jiwa mereka.Â
Tingkat partisipasi politik yang rendah juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka paradigmanya akan luas dalam memandang sebuah proses kegiatan poltik, tetapi pada masyarakat pinggiran yang kebanyakan tingkat pendidikannya rendah, paradigma mereka mengenai politik akan sangat rendah, alih-alih mereka akan ikut beropini dan mengkritik mengenai suatu kebijakan tetapi yang terjadi hanya sekedar untuk mengetahui tentang kebijakan pemerintah pun akan menjadi suatu hal yang sulit.
Partipasi politik kaum pinggiran telah menemui banyak rintangan, sehingga mereka sulit untuk berkontribusi aktif dalam kegiatan politik. Rintangan-rintangan yang dialami kaum masyarakat pinggiran seperti di desa adalah mereka lebih mengutamakan aktivitas mereka di ladang dengan menggarap sawah, berkebun dan berternak ataupun hanya sebagai buruh tani.Â
Sedangkan kaum pinggiran di daerah perkotaan aktivitas mereka terbelenggu dengan pekerjaan yang tidak tetap, buruh pabrik bahkan kuli angkut. Dilihat dari dinamika yang terjadi, maka kaum pinggiran akan sulit untuk ikut serta dalam kegiatan politik secara maksimal, bahkan dalam pesta demokrasi seperti pemilihan umum kepala daerah pun yang sebentar lagi akan dilaksanakan, mereka belum tentu dapat berpartisipasi secara maksimal.Â
Suara mereka bahkan akan tergadai oleh politisasi kaum elit karena sasaran kaum elit politik adalah kaum pinggiran, karena dengan kekuasaan dan money power mereka dapat mengendalikan suara dengan keterikatan masa yang cukup besar.Â
Bayangkan jika mayoritas kaum pinggiran ikut memilih calon pemimpin atau wakil rakyat dalam pemilu tetapi hak mereka tersebut dinodai money politic, lantas dimana bentuk partisipasi politik mereka untuk mengawal pemerintahan yang baik. Memang tidak selamanya semua hal tersebut dialami oleh kaum pinggiran tetapi melihat banyak fakta yang terjadi seakan sulit untuk menghapus paradigm tersebut.